Share

02. PERTEMUAN

Sesuai rencana Layla siang ini, dia akan menyambut pertemuannya dengan seorang laki-laki yang dikenalkan Yunda. Tentu saja Layla harus tampil cantik dan menarik, karena prinsipnya dari dulu adalah; selalu ingin terlihat menarik di hadapan seseorang yang pertama kali bertemu. Memberikan kesan terbaik adalah hal yang wajib.

Gadis itu mengenakan kaus lengan pendek warna putih yang dipadu dengan blazer model setengah lengan warna mocca, dia juga mengenakan celana jins dan high-heels senada dengan warna blazer. Tak lupa menyapukan sentuhan make up seperti foundation, eyeliner, blush-on, dan lipstik merah. Tidak lupa juga menyemprotkan parfume ke beberapa bagian inti tubuhnya.

Sebetulnya perasaan Layla deg-degan juga menyambut pertemuannya dengan laki-laki itu. Kalau bukan karena masalah ancaman perjodohan dari Mama, mana mungkin Layla mau berurusan dengan hal seperti ini. Apalagi konteksnya berpura-pura. Buang-buang waktu!

“Mau ke mana nih udah cantik? Tumben. Biasanya kalau libur sukanya maraton drakor.” Papa yang sedang menonton televisi pun menyapanya saat melihat Layla turun dari tangga lantai dua.

Layla menghela napas, manik matanya berputar malas. “Mau pacaran dong.”

“Ceileeehhh ... sejak kapan lu punya pacar setelah dua tahun yang lalu ditinggal nikah?” Lagi-lagi Kevin ikut berkomentar dan mengungkit masa lalu Layla yang kelam dan menyakitkan. Selalu saja begitu, padahal Layla berusaha melupakan rasa sakitnya tapi dengan mudah Kevin selalu mengungkitnya.

Bagaimana Layla lupa kalau selalu begini?

“Diem lu bocah! Lu pikir gue nggak bisa move on apa! Udah ah, bye!”

Layla melengos pergi meninggalkan Papa dan Kevin yang sedang asyik menonton televisi, dia malas juga kalau harus lama-lama menanggapi perkataan Papa apalagi Kevin. Bikin naik angin.

Layla masuk ke dalam mobilnya, memanaskan mesin beberapa menit kemudian melaju pergi meninggalkan rumah.

Hari Minggu, jalanan siang ini lumayan lengang, tidak separah hari-hari kerja sebelumnya. Barangkali orang-orang sedang beristirahat dari segala macam kerumitan duniawi yang berhasil menyita pikiran dan tenaga.

Ponsel Layla berdering, ada chat masuk dari nomor tak dikenal.

08123465×××× :

Hai. Ini Layla, kan? Saya Bara, kebetulan dapat nomor kamu dari Yunda. Saya sudah sampai di kafe The Whistle ya, di meja nomor 12.

Satu poin plus; cowok itu menghargai waktu bahkan tiba lebih awal dari waktu yang ditentukan.

Layla mengangguk-angguk, jari-jemari lentiknya mengetik sesuatu...

Layla :

Oke, sepuluh menit saya sampai.

Layla memacu gas kendaraannya, dia tidak mau membuat Bara lama menunggu. Karena sejujurnya, salah satu kelemahan tinggal di kota Metropolitan adalah harus bersiap-siap berhadapan dengan kemacetan yang tak tahu prediksi kapan akan berakhir. Sebagai warga Metropolitan harus pintar-pintar me-manage waktu dan harus penuh perkiraan dengan cara berangkat lebih awal.

***

Sesuai dugaan, kendaraan Layla berhenti di pelataran kafe dengan waktu yang tepat. Layla membuka seatbelt, merapikan anakan poni serta make-upnya di kaca spion tengah, memastikan kalau dirinya masih cantik dan make-up yang melekat di wajahnya tidak berubah. Dia turun dari mobil dan berjalan masuk ke dalam kafe dengan dagu yang terangkat. Satpam yang berdiri di pintu masuk seakan terkesima beberapa saat, ketika melihat sosok Layla berjalan melewatinya. Dia mengibaskan rambut yang justru semakin menonjolkan pesonanya. Ketukan high-heelsnya menggema bagai menghipnotis atensi pengunjung di sana untuk memusatkan perhatian pada Layla. 

Layla mengitari pandangan, menatap sepenjuru kafe dan mencari nomor meja 12. Tatapannya berhenti tepat di sebuah meja paling pojok dekat jendela, dengan seorang laki-laki bertubuh tegap yang duduk membelakangi.

Gadis itu segera melangkah mendekat dan berhenti tepat di belakang laki-laki itu. “Permisi, dengan Bara?”

Seseorang itu berbalik hingga Layla bisa leluasa menatap penuh wajahnya. Seorang cowok dengan penampilan kasual, mengenakan kaus berwarna putih polos dengan celana panjang chino berwarna mocca dan sneakers berwarna hitam. Kulitnya putih bersih, rambutnya disisir klimis dan tertata rapi, aroma parfume maskulin yang cowok itu pakai juga terasa menyegarkan.

Satu poin penting lagi untuk Layla; sejauh ini cowok itu bersih dan rapi. Karena Layla paling tidak suka dengan laki-laki terlihat lusuh dengan penampilan urakan.

Cowok itu berdiri begitu melihat kemunculan Layla, menyambut kedatangannya.

“Eh ... hai! Iya saya Bara. Fernanda Bara. Kamu Layla, ya? Layla Nadhira?” Suaranya terdengar berat dan itu adalah salah satu suara laki-laki yang Layla sukai.

“Yap, saya Layla Nadhira.”

“Oke, Layla. Silakan duduk.” Bara menarik kursi di hadapannya untuk Layla. “Gimana di jalan? Kejebak macet?” Bara ikut duduk dan tersenyum saat Layla duduk. Senyuman Bara terlihat rupawan sampai berhasil menarik senyum Layla tercetak.

“Ya—lumayan, masih bisa lolos.”

***

Proses penilaian dimulai. Berpengalaman menduduki jabatan sebagai HRD membuat Layla mampu menyaring dan menilai karakter dari seseorang. Seperti laki-laki yang duduk di hadapannya ini. Layla suka saat Bara mengucapkan kata Terima kasih dihiasi dengan senyuman ramah pada waiters yang mengantar makanan, atau saat dia menanggapi perkataan Layla dengan menatap kedua matanya. Poin plus lagi; cowok itu bisa menghargai lawan bicara.

“Jadi, kamu sahabat Yunda? Dari kecil?”

“Ya—bisa dibilang begitu. Kalau kamu?”

Bara terdiam sejenak, sebelum dia akhirnya menjawab. “Kalau saya sebetulnya saudara jauh Yunda. Jadi nenek kita ada ikatan keluarga. Gitu deh pokoknya.”

Layla mengangguk-angguk. “Terus, kamu udah lama kerja jadi Manajer Pemasaran?”

“Lumayan, jalan lima tahun. Btw, saya salut deh sama kamu. Kamu mulai merintis jadi HRD di perusahaan Bellerica dari nol. Kalau nggak salah, dari Supervisor, ya? Itu cita-cita?”

Layla menyunggingkan senyumnya. Dia mengangguk. “Iya, itu cita-cita saya. Bahkan bisa kerja di perusahaan Bellerica aja udah syukur alhamdulillah. Kebetulan Yunda Manajer saya. Tapi saya salut juga sih sama dia, dia nggak pernah mau mencampuradukkan hubungan personal sebagai sahabat sama perusahaan tempat kerja.”

“Iya, dia profesional,” Bara menyesap cangkir kopinya.

“Kalau kamu ... cita-cita dari dulu pengen jadi Manajer Pemasaran?”

“Sebetulnya nggak ada cita-cita sih. Pekerjaan apa pun bakalan saya ambil, yang penting itu halal.”

“Sekalipun pengamen?”

“Apa salahnya sama pengamen? Justru saya salut sama para pengamen di jalan, mereka bertahan hidup dengan cara jual suara. Iya, nggak? Daripada minta belas kasihan orang, itu lebih memalukan menurut saya.”

“Iya nggak ada salahnya sih. Tapi emangnya kamu hidup nggak punya ambisi, ya?”

“Ambisi ada, tapi saya lebih menikmati jalan yang udah diberikan Tuhan sih. Let it flow aja. Karena bukannya nggak mau merealisasikan rencana atau sebuah cita-cita karena ambisi saya, tapi saya nggak mau kalau sampai saya terlalu fokus sama ambisi lalu keinginan itu jadi mendominasi tanpa terkendali, itu bisa bikin saya  jadi terobsesi dan bisa saja jadi lupa diri. Karena ambisi sama obsesi beda, ya?”

Layla terkejut dengan pernyataan Bara. Biasanya seseorang yang punya ambisi kuat untuk mencapai segala tujuan, pasti akan mengorbankan segala sesuatu demi keinginannya tercapai. Dan Layla baru kali ini bertemu dengan orang yang punya pemikiran seperti Bara.

“Kamu berapa bersaudara?” Layla mengalihkan pertanyaan.

“Dua bersaudara, saya anak pertama.”

“Waw! Sama dong! Saya juga anak pertama dan punya adik laki-laki umur 17 tahun. Tapi nyebelin banget, sering berantem. Tapi kayaknya beda kalau punya adik cewek. Bisa diajak curhat dan sharing.” Layla mengulas senyumnya tipis. “Kalau kamu? Adik kamu gimana? Berapa tahun? Cewek cowok?”

“Adik saya cewek. Kalau masih ada mungkin umurnya sepuluh tahun. Dia meninggal waktu umurnya tujuh tahun, korban tabrak lari.”

I'm sorry to hear that.” Layla merasa bersalah dan tidak enak.

Bara tersenyum sumir. “Santai aja, Layla. Oh iya ... jadi, gimana sama tujuan kita ketemu sekarang?”

BERSAMBUNG... 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status