Share

Bab 3

Kiara melanjutkan langkahnya setelah beberapa detik terhenti karena ucapan konyol papanya Cantika.

"Dia pikir aku ini apa? Jadi mamanya Cantika? Heh, yang benar saja!" Batin Kiara terus menggerutu hingga langkahnya terhenti di depan motor matic kesayangannya.

Gadis itu mengambil helm dan memakainya. Saat kunci sudah tertanam di tempatnya, tiba-tiba ada sebuah tangan berotot yang mencabutnya tanpa izin. Spontan Kiara menoleh dan mendapati sosok dengan muka datar itu sudah berdiri di samping motornya dengan memainkan kunci.

"Maaf, Tuan saya harus segera pulang," ucap Kiara masih mencoba untuk menjaga kesopanannya.

"Saya belum selesai bicara, Bu guru. Kenapa Anda pergi begitu saja?" Samudra memasukkan kunci motor Kiara ke dalam saku celana membuat gadis berhijab itu melotot tak suka.

"Apa yang Anda inginkan, Tuan? Kenapa Anda menghalangi saya?" Kali ini intonasi suara Kiara berubah datar tapi penuh penekanan.

Tidak peduli meski pria yang saat ini ada di samping motornya itu adalah papanya Cantika. Orang yang telah memberikan pekerjaan dengan gaji tinggi. Melihat sikap semena-mena lelaki itu saja sudah membuat respect Kiara memudar.

"Apa perkataan saya tadi belum cukup jelas, Bu guru? Jadilah mamanya Kiara agar besok punya alasan untuk izin dari sekolah."

Kiara membuka mulutnya tanda sadar. Mungkin saat ini wajahnya tampak jelek karena hal itu. Belum lagi dengan kedua bola matanya yang ikut melebar. Menambah aneh ekspresi gadis berhijab itu.

"Dia pikir menikah urusan sesimpel memakai baju? Kenapa pria yang tampak cerdas ini bisa berkata demikian?" batin Kiara.

Tiba-tiba Kiara merasakan mulutnya ditutup telapak tangan milik seseorang. Pada saat yang sama sebuah bisikan di telinga membuat tubuhnya menegang.

"Jangan terlalu lebar membuka mulutnya, Bu guru. Kita belum resmi menjadi pasangan suami istri."

Seketika itu juga Kiara ingin menenggelamkan diri ke perut bumi. Wajahnya sudah sangat merah, entah karena malu atau marah.

"Anda jangan bersikap kurang ajar pada saat, Tuan!" tekan Kiara. "Jangan menyentuh saya karena kita bukan mahram."

Bukannya marah, pria itu justru tertawa terbahak-bahak mendengar protes Kiara. Hal itu semakin membuat Kiara kesal. Ternyata pria di hadapannya ini memang tak tahu malu.

"Rupanya Bu guru sudah tidak sabar untuk dijadikan sebagai mahram. Kalau begitu, malam ini juga mari kita menikah!" ucap Samudra dengan santainya.

"What the hell! Apa kata dia tadi, aku sudah tidak sabar? Hello? Bukankah dia yang memaksa saya untuk menikah dengannya? Kenapa dunia begitu tidak berpihak padaku, Tuhan?" batin Kiara memprotes.

Kiara menarik nafas panjang. Meraup udara sebanyak-banyaknya karena mendadak dadanya merasa sesak. Wanita yang memiliki lesung pipi di kiri itu melirik jam di tangannya dan seketika rasa bersalah menjalar ke dalam sanubarinya. Seharusnya ia segera ke rumah sakit karena sejak pagi dia belum menemui ayahnya. Sejak selesai operasi kemarin, Kiara terlalu sibuk memikirkan cara mencari uang tambahan sehingga tidak sempat untuk menengok sang ayah yang katanya sudah siuman.

"Maaf, Tuan saya harus segera pulang. Tolong berikan kunci motor saya!" Kiara menengadahkan tangan kanannya kepada pria yang bergelar ayah itu.

Dengan wajah yang tetap datar, Samudra meraih tangan itu lalu mengecupnya sekilas. "Will you marry me?"

Mendadak otak Kiara buntu. Saraf-saraf di tubuhnya seolah lumpuh karena aksi pria tersebut. Kiara kehilangan reflek berpikir dan geraknya sehingga saat ini dirinya lebih mirip seperti patung.

"Saya akan siapkan pernikahan kita secepatnya. Malam ini kita akan menikah di rumah sakit. Ayahmu sudah siuman, kan?"

Kesadaran Kiara langsung timbul. Kenapa pria ini bisa tahu kalau ayahnya di rumah sakit.

"Anda menyelidiki saya, Tuan?" Kiara menetap pria di sampingnya penuh selidik.

"Tentu saja. Saya tidak akan sembarangan membiarkan putri saya diajar oleh guru yang tidak saya ketahui asal usulnya," ujar Samudra santai.

Tidak heran jika pria itu tahu segalanya tentang Kiara. Sebagai pebisnis sukses dengan kekuasaan yang ia miliki pula, sangat mudah untuk menelusuri kehidupan pribadi seseorang termasuk Kiara.

"Anda benar-benar tidak sopan, Tuan."

"Saya akan membayar semua biaya rumah sakit ayahmu. Dan kamu juga tidak perlu menjual rumahmu."

Seketika tubuh Tiara menjadi kaku. Dia memang membutuhkan banyak uang saat ini demi kesembuhan sang ayah dan juga kelangsungan hidupnya tapi iya dianya harus menerima tawaran pria itu? Bukankah itu sama aja dengan menjual diri?

Gadis itu mulai goyah ketika mendengar penawaran yang sangat menggiurkan. Untuk sesaat otaknya berusaha untuk mencerna apa yang baru saja ia dengar lalu menimbang-nimbang apakah dia akan menerima tawaran itu atau tidak. Jika dia menerimanya maka dia akan menikah dengan pria yang tidak dia cintai sama sekali namun jika ia menolak mungkin kesempatan seperti ini tidak akan datang dua kali.

"Ya Allah beri hamba petunjukmu. Kalau hamba menerima lamaran lelaki ini apakah hamba berdosa karena telah mempermainkan pernikahan demi untuk mendapatkan uang?"

"Bagaimana, Bu guru? Saya tidak akan memberikan penawaran ini dua kali. Putuskan sekarang atau tidak sama sekali. Saya tahu Anda sedang butuh banyak uang, kan?" Merasa kemenangan berada di pihaknya Samudra mencoba untuk menekan Kiara.

Lelaki itu tahu saat ini Kiara sedang goyah maka ia tak ingin menyia-nyiakan kesempatan dengan terus menggunakan kelemahan Kiara sebagai senjatanya. Ya, kelemahan Kiara saat ini adalah keluarganya. Jika sudah menyangkut urusan keluarga maka biar akan menomorsatukan hal itu meski dia sendiri harus berkorban tanpa henti.

Cara menarik nafas panjang dengan memejamkan mata. Bayangan sang ayah yang tergolek lemah di rumah sakit silih berganti dengan raut sendu ibunya.

"Bismillahirohmanirohim. Baiklah kalau begitu," lirih Kiara.

Sudut bibir Samudra tertarik tipis lalu ia berbalik menuju ke teras rumahnya meninggalkan Kiara yang masih mematung di tempat.

Setelah beberapa detik akhirnya Kiara sadar dari keterpakuannya. "Tuan kunci motor saya!" teriaknya sembari berjalan mendekati teras

Samudra memberikan kunci motor Kiara dengan sorot mata tajamnya.

"Bukankah baru saja dia melamarku? Kenapa sikapnya masih saja dingin seperti itu?" batin Kiara bersenandika.

"Ya sudah, pulanglah! Nanti malam kita akan menikah di rumah sakit agar besok kamu bisa mengantar putri saya ke sekolahnya."

Seperti kerbau yang dicucuk hidungnya Kiara mengangguk lalu berjalan menuju motornya kembali dengan membawa sejuta tanya di dalam benaknya.

"Apa sudah benar keputusan yang kuambil ini?"

Saat Kiara sudah hampir menstarter motornya tiba-tiba teriakan dari teras membuat jantungnya berdetak lebih kencang.

"Mama, Cantik tunggu nanti malam, ya!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status