Lizzie menggelengkan kepala sambil menggigit bibir bawahnya, sedikit tergoda dengan ucapan Daxon tapi dia memilih untuk menahannya. “Tidak untuk malam ini, Om. Aku hanya ingin kita berdua bersenang-senang dan menikmatinya.” Daxon merasakan bagian dari dirinya mulai terasa menyakitkan dibalik celana yang dia kenakan. Pria itu menarik Lizzie agar jatuh ke pangkuannya, mengulurkan tangan untuk mengelus bagian yang paling menggoda keimanannya sementara tangan yang lain bergerilya melepaskan kain transparan yang menutupi bagian dada. Kemudian fokus memainkannya dengan sebelah tangan dengan gemas. Lizzie menguatkan dirinya diatas pangkuan Daxon, lengannya sudah gemetar akibat sentuhan yang pria itu buat. Bagian depan celana dalam dari lingerie yang dia kenakan mulai terasa basah tapi Daxon tidak bergerak sama sekali untuk melepaskannya. Ah, bukan. Tapi lebih ke belum mau. Dia menarik Lizzie dari pangkuannya dan mendudukannya di sofa, mengambil dasinya sendiri dan melirik ke arah Lizzie y
Sisa tiga hari sebelum keberangkatan Lizzie, ibunya cukup sibuk menyiapkan banyak hal yang perlu dia bawa. Mulai dari kaos kaki hingga pakaian dalam baru. Tentu saja jenis pakaian dalam yang fungsional dan bukan sesuatu yang berbau estetika macam kesukaan Daxon. Sangat polos sederhana. Ibunya memang tahu betul bahwa Lizzie orangnya cukup simple, dan bukan orang yang akan pilih-pilih karena itu kenyamanan berada pada tingkat teratas dari pemilihan pakaian baru yang ibunya siapkan.Yang berbeda adalah dia mendapatkan sesuatu dari ayahnya pula. Sejujurnya Lizzie agak ragu membukanya, dia yakin bahwa hadiah tersebut mungkin hanyalah satu set obat-obatan sesuai dengan profesinya atau berupa sindiran semata. Namun ketika gadis itu membuka bungkusan yang diberikan oleh ayahnya, Lizzie hanya bisa diam dan menahan air mata.“Terima kasih, Ayah.”Pria itu hanya angkat bahu dan bergumam sebagai balasan. “Jika aku tidak bisa menolongmu dari tindakan membuang waktu demi melakukan hal yang kau sang
Lizzie sudah selesai mengemas seluruh barangnya lebih dulu, dia berpikir akan jauh lebih praktis seperti itu karena akan merepotkan bila melakukannya pada H-1. Setidaknya masih tersisa satu hari sebelum keberangkatan, dan Daxon jauh lebih sibuk dari pada hari-hari sebelumnya. Tetapi di pertemuan terakhir yang singkat pria itu menitipkan kartu kreditnya untuk Lizzie gunakan berbelanja keperluan. Tak ingin egois, akhirnya Lizzie memutuskan pergi ke toko buku hari itu, setidaknya dia membeli sesuatu yang bisa mereka baca atau dengarkan saat berada di pesawat nanti untuk membunuh waktu.Lizzie berkeliling sendiri setelah menemukan banyak barang yang dia butuhkan, dia hanya membeli sebuah buku novel misteri yang barangkali masuk ke dalam selera Daxon. Hal itu tentu saja karena Lizzie kerap melihat koleksi buku pria itu selalu didominasi oleh buku memusingkan, jadi Lizzie berharap buku yang dia beli cukup untuk penerbangan panjang mereka. Tak hanya disitu, Lizzie tiba-tiba saja tergoda deng
Tubuh Lizzie tersentak, gadis itu melihat sekeliling dan menemukan sepupunya. Mina berlari ke arah meja yang sedang diduduki. Dia melambai ke arah Lizzie, dan kemudian gadis itu melirik ke arah Smith sebelum melihat kembali ke temannya.“Jadi, Lizzie senang melihatmu disini,” kata Mina. “Dan siapa dia?”Lizzie tahu alasan mengapa Mina bertanya kepadanya seperti itu. Sepupunya mungkin berpikir bahwa orang yang kini sedang bersamanya adalah ‘sang pacar’ yang sedang dia rahasiakan.“Ah, dia sebenarnya teman pacarku,” kata Lizzie memperkenalkan Smith dengan ogah-ogahan kepada sepupunya karena untuk sesaat dia melihat gelagat aneh dari pria itu. “Jadi kalau kau pikir dia adalah pacarku, maka kau salah, Mina. Kau masih belum bisa bertemu dengannya untuk sekarang.”Mina mengerang dan Smith mulai tertawa.“Masih rahasia?” Smith bertanya.“Ya!” Dengan cepat Mina langsung menjawabnya. “Dia memang selalu begitu, menyimpan segalanya untuk diri sendiri tapi memaksa oranglain untuk terbuka kepadany
“O-om?!”“Ya?”“Kamera loh om, ini kamera!!” Beberapa orang sempat melirik kearah Lizzie yang bicara dengan intonasi agak keras. Tapi meski perhatian sementara terarah padanya, Lizzie tidak peduli dan masih mengangumi benda yang kini ada di genggaman.“Aku pikir kau bisa mengambil gambar sebanyak apa pun yang kau mau disana sebagai referensi untuk lukisanmu. Aku juga sempat mendengar kau masuk kelas fotografi, jadi memberimu kamera adalah sesuatu yang aku pikir bagus untuk menjadi modal studimu.”“Ini sempurna Om! Ini hadiah yang benar-benar sempurna. Terima kasih banyak!” Lizzie menjerit kesenangan sambil memeluk kotak yang telah dia buka dari kertas kado erat-erat. “Aku mau buka kotaknya ya.”“Silahkan, supaya kau bisa mempelajari cara kerjanya sebelum bisa memakainya.”Lizzie tidak membuang waktu dan mulai membuka secara perlahan kotak kamernya hingga terbuka. Dia dengan cepat memasukan kartu memori dan baterai. Tak lama kamera menyala dan Lizzie langsung memainkannya sekadar memer
Perhentian pertama mereka setelah turun dari pesawat dan menuju mobil sewaan adalah hotel, atau setidaknya itulah yang Lizzie pikirkan. Itu bukanlah perjalanan yang memakan banyak waktu dan justru menjadi yang paling singkat. Mereka mulai menurunkan barang bawaan masing-masing, dan Lizzie agak terkesan dengan bangunan yang sedang dia lihat sekaligus fakta bahwa Daxon punya kuncinya.“Ini bukan hotel pribadi kan?” tanya Lizzie terperangah sambil menatap ke sekeliling.“Ya, awalnya aku memang berencana untuk menyewa kamar hotel,” sahut Daxon. “Sebenarnya setiap kali aku berkunjung, aku tinggal bersama teman dan kali ini aku tidak ingin mengganggu privasinya. Tapi aku menyerah karena dia bersikeras sekali agar kita berdua tinggal dirumahnya.”Lizzie menelan ludahnya sendiri tatkala Daxon memberikannya penjelasan demikian. Gadis itu menggenggam kopernya erat-erat. Menyadari kegugupan Lizzie, Daxon hanya tersenyum singkat sebelum memutar kunci.“Tenang saja, dia pergi ke luar negeri untuk
Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulut Lizzie sebelum dia dapat menghentikannya. Dia langsung menyesal dan tidak tahu harus berbuat apa setelah itu. Sejujurnya dia tidak ingin Daxon tahu, karena takut pria itu akan meninggalkannya. Ini terlalu memalukan, dan Lizzie tidak dapat memperlihatkan dirinya sebanyak itu kepada seseorang. Daxon adalah pria matang yang sempurna, dia memiliki segalanya dan Lizzie tahu bahwa dirinya jauh dari kata layak untuk pria itu. Bukan dari ukuran kasih sayang, kebaikan, hadiah dan perhatian. Daxon baginya lebih pantas mendapatkan seseorang yang jauh lebih baik, seseorang yang tidak hancur atau tidak takut hancur.Daxon meraih tangan Lizzie dan mengangkatnya ke bibir. Memberikan kecupan di punggung tangannya. “Aku pun mencintaimu, Lizzie.”Kedua mata Lizzie membelalak, apa itu barusan? Apakah Daxon melakukan apa yang Lizzie tidak harapkan? Rasa mendamba, rasa perhatian, dan bagaimana pria itu melakukannya membuat Lizzie merasa sangat lemah. Apalagi k
Mereka berdua menghabiskan beberapa hari berikutnya dengan berkeliling Paris, menikmati sebanyak mungkin hal yang hanya dapat di dapatkan hanya di Paris. Lizzie memotret semua hal yang dia rasa menarik, mulai dari arsitekturnya yang luar biasa, juga beberapa pemandangan alam dan manusia. Diselingi juga meminta orang lain untuk memotret dirinya dan Daxon bersama. Sejauh ini dia berhasil menyingkirkan pikiran-pikiran buruk yang membayanginya beberapa hari ke belakangan sepanjang hari. Tapi setiap malam tiba, Lizzie tidak tahu mengapa tapi kecemasan itu kembali datang tanpa bisa dicegah.Dia takut akan mengalami mimpi buruk lagi. Khawatir akan terbangun dengan keringat dingin di seluruh tubuh dan membuat Daxon harus bersusah payah menenangkannya hingga dia bisa tidur lelap lagi.Paranoia dari hubungan terakhirnya yang hancur total karena rasa ketidakamanannya sendiri adalah sesuatu yang barangkali telah mengakar dalam diri. Lizzie tahu bahwa gara-gara itu dia juga nyaris akan merebut ke