Tubuh Lizzie tersentak, gadis itu melihat sekeliling dan menemukan sepupunya. Mina berlari ke arah meja yang sedang diduduki. Dia melambai ke arah Lizzie, dan kemudian gadis itu melirik ke arah Smith sebelum melihat kembali ke temannya.“Jadi, Lizzie senang melihatmu disini,” kata Mina. “Dan siapa dia?”Lizzie tahu alasan mengapa Mina bertanya kepadanya seperti itu. Sepupunya mungkin berpikir bahwa orang yang kini sedang bersamanya adalah ‘sang pacar’ yang sedang dia rahasiakan.“Ah, dia sebenarnya teman pacarku,” kata Lizzie memperkenalkan Smith dengan ogah-ogahan kepada sepupunya karena untuk sesaat dia melihat gelagat aneh dari pria itu. “Jadi kalau kau pikir dia adalah pacarku, maka kau salah, Mina. Kau masih belum bisa bertemu dengannya untuk sekarang.”Mina mengerang dan Smith mulai tertawa.“Masih rahasia?” Smith bertanya.“Ya!” Dengan cepat Mina langsung menjawabnya. “Dia memang selalu begitu, menyimpan segalanya untuk diri sendiri tapi memaksa oranglain untuk terbuka kepadany
“O-om?!”“Ya?”“Kamera loh om, ini kamera!!” Beberapa orang sempat melirik kearah Lizzie yang bicara dengan intonasi agak keras. Tapi meski perhatian sementara terarah padanya, Lizzie tidak peduli dan masih mengangumi benda yang kini ada di genggaman.“Aku pikir kau bisa mengambil gambar sebanyak apa pun yang kau mau disana sebagai referensi untuk lukisanmu. Aku juga sempat mendengar kau masuk kelas fotografi, jadi memberimu kamera adalah sesuatu yang aku pikir bagus untuk menjadi modal studimu.”“Ini sempurna Om! Ini hadiah yang benar-benar sempurna. Terima kasih banyak!” Lizzie menjerit kesenangan sambil memeluk kotak yang telah dia buka dari kertas kado erat-erat. “Aku mau buka kotaknya ya.”“Silahkan, supaya kau bisa mempelajari cara kerjanya sebelum bisa memakainya.”Lizzie tidak membuang waktu dan mulai membuka secara perlahan kotak kamernya hingga terbuka. Dia dengan cepat memasukan kartu memori dan baterai. Tak lama kamera menyala dan Lizzie langsung memainkannya sekadar memer
Perhentian pertama mereka setelah turun dari pesawat dan menuju mobil sewaan adalah hotel, atau setidaknya itulah yang Lizzie pikirkan. Itu bukanlah perjalanan yang memakan banyak waktu dan justru menjadi yang paling singkat. Mereka mulai menurunkan barang bawaan masing-masing, dan Lizzie agak terkesan dengan bangunan yang sedang dia lihat sekaligus fakta bahwa Daxon punya kuncinya.“Ini bukan hotel pribadi kan?” tanya Lizzie terperangah sambil menatap ke sekeliling.“Ya, awalnya aku memang berencana untuk menyewa kamar hotel,” sahut Daxon. “Sebenarnya setiap kali aku berkunjung, aku tinggal bersama teman dan kali ini aku tidak ingin mengganggu privasinya. Tapi aku menyerah karena dia bersikeras sekali agar kita berdua tinggal dirumahnya.”Lizzie menelan ludahnya sendiri tatkala Daxon memberikannya penjelasan demikian. Gadis itu menggenggam kopernya erat-erat. Menyadari kegugupan Lizzie, Daxon hanya tersenyum singkat sebelum memutar kunci.“Tenang saja, dia pergi ke luar negeri untuk
Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulut Lizzie sebelum dia dapat menghentikannya. Dia langsung menyesal dan tidak tahu harus berbuat apa setelah itu. Sejujurnya dia tidak ingin Daxon tahu, karena takut pria itu akan meninggalkannya. Ini terlalu memalukan, dan Lizzie tidak dapat memperlihatkan dirinya sebanyak itu kepada seseorang. Daxon adalah pria matang yang sempurna, dia memiliki segalanya dan Lizzie tahu bahwa dirinya jauh dari kata layak untuk pria itu. Bukan dari ukuran kasih sayang, kebaikan, hadiah dan perhatian. Daxon baginya lebih pantas mendapatkan seseorang yang jauh lebih baik, seseorang yang tidak hancur atau tidak takut hancur.Daxon meraih tangan Lizzie dan mengangkatnya ke bibir. Memberikan kecupan di punggung tangannya. “Aku pun mencintaimu, Lizzie.”Kedua mata Lizzie membelalak, apa itu barusan? Apakah Daxon melakukan apa yang Lizzie tidak harapkan? Rasa mendamba, rasa perhatian, dan bagaimana pria itu melakukannya membuat Lizzie merasa sangat lemah. Apalagi k
Mereka berdua menghabiskan beberapa hari berikutnya dengan berkeliling Paris, menikmati sebanyak mungkin hal yang hanya dapat di dapatkan hanya di Paris. Lizzie memotret semua hal yang dia rasa menarik, mulai dari arsitekturnya yang luar biasa, juga beberapa pemandangan alam dan manusia. Diselingi juga meminta orang lain untuk memotret dirinya dan Daxon bersama. Sejauh ini dia berhasil menyingkirkan pikiran-pikiran buruk yang membayanginya beberapa hari ke belakangan sepanjang hari. Tapi setiap malam tiba, Lizzie tidak tahu mengapa tapi kecemasan itu kembali datang tanpa bisa dicegah.Dia takut akan mengalami mimpi buruk lagi. Khawatir akan terbangun dengan keringat dingin di seluruh tubuh dan membuat Daxon harus bersusah payah menenangkannya hingga dia bisa tidur lelap lagi.Paranoia dari hubungan terakhirnya yang hancur total karena rasa ketidakamanannya sendiri adalah sesuatu yang barangkali telah mengakar dalam diri. Lizzie tahu bahwa gara-gara itu dia juga nyaris akan merebut ke
Lizzie menatap Daxon dengan kedua mata yang terbelalak lebar, jantungnya berdebar dengan begitu kencang. Bagaimana kau bisa begitu sangat pemaaf?”“Karena aku tahu kau tidak sempurna, dan aku juga sama saja. Levin tidak sempurna, dan meskipun kau mungkin tidak setuju dengan statement yang aku katakan tapi Marie juga tidaklah sesempurna itu. Kita ini manusia biasa dan terkadang membuat kesalahan serta pilihan yang buruk. Aku bisa saja membencimu tapi buatku itu tidak menghasilkan apa-apa. Kau bisa terus percaya bahwa kau adalah orang yang gagal, tapi seperti yang kau lihat itu tidak sepenuhnya benar. Kau bisa mencapai apa yang kau targetkan, jadi kuatlah, karena aku tahu kau bisa.”Lizzie mulai gemetar, dia ingin menangis, menjerit, dan memeluk Daxon sekaligus. Dia sungguh terharu dengan penerimaan yang pria itu berikan kepadanya dan cara dia memperlakukannya. Dan Daxon sendiri pasti melihat semua itu karena kini pria itu menangkup pipi Lizzie dan mencium keningnya, menahannya untuk te
Sedikit pulih dari kedatangannya sendiri, Lizzie setengah menerjang Daxon. Meski tubuhnya masih terasa lemas lantaran mencapai puncaknya dia fokus untuk membalas apa yang pria itu perbuat kepadanya. Melingkarkan lengannya yang gemetar pada bagian vital sang pria untuk memompa, menggunakan cairan cinta miliknya sebagai pelumas.Daxon meraih seprai tatkala Lizzie bekerja di bawah sana. Merasakan merinding yang luar biasa ketika ibu jari gadis itu menggosok bagian kepala, menyentuh tindikannya, urat nadinya yang mengesankan, dan kebagian yang lainnya. Gadis itu melakukannya secara terbalik ketika dia naik kembali.“Mmm … that’s fucking nice.” Daxon mengerang, alisnya berkerut dalam ketika dia merasakan detik mendekati orgasme.Lizzie menyeringai dan membungkuk sedikit. Menghabisi om-om senangnya dengan memberikan ciuman kecil secara perlahan ke sisi miliknya, dengan sangat hati-hati menggoreskan giginya ke permukaan kulit pria itu. Sejujurnya pergerakan tersebut sudah cukup mengirimkan D
Lizzie mengeluarkan buku sketsanya seraya memandang ke arah Daxon agak lama. “Om?”“Hm?”“Boleh aku menggambarmu?”Daxon mendongak dari korannya, menatap wajah Lizzie yang saat itu tampak menaruh harapan besar. “Apa?”“Aku tahu ini aneh, maksudku anggap saja bahwa ini adalah artblock seorang seniman. Aku ingin membuat pengakuan bahwa aku selalu membuat skesta kasar tentangmu. Tapi sekarang aku merasa ingin menggambarmu secara utuh,” jelas Lizzie dengan sedikit malu-malu dari pada yang dia kira. “Aku ingin menggambarmu.”Ekspresi yang dipenuhi oleh rasa ingin tahu terlihat dari wajah Daxon, dia bisa melihat ada rona tipis merah muda di pipi si gadis dan itu sangat menggemaskan. Hasilnya Daxon meletakan cangkirnya dan memberikan perhatian penuh kepada Lizzie. “Apa kau serius?”“Sangat,” kata Lizzie sambil memegangi buku sketsanya, meski begitu Daxon masih bisa melihat bahwa gadis itu menggigit bibir bawahnya gugup. “Menurutku kau akan menjadi model yang hebat untuk karyaku.”Daxon kemud