Share

2. Setengah Terpaksa

Sudah hari kelima semenjak pesan official itu terkirim dari KRA. Tampaknya, Elea masih kukuh dengan penolakannya dan Emma sudah dari beberapa hari yang lalu menyerah. Alasannya karena Elea tampak baik-baik saja berpisah dengan Jamie. Dan hal itu membuatnya lega, ia tidak perlu memikirkan pelampiasan lain agar Elea bisa move on.

"Kau mau kemana hari ini? Cuaca sedang terik."

Emma menggigit apel merah di tangannya, lalu mengunyahnya dengan lahap. Ia duduk di kursi meja makan, menatap Elea yang sedang mengambil air mineral dingin dari dalam kulkas.

"Kau tahu aku ingin pergi?" Elea bertanya balik. Kepalanya menoleh pada Emma.

"Ya. Jelas. Jika kau memakai riasan, maka kau mau pergi," jawabnya enteng. "Mau kemana? Kau tidak mengajakku?"

"Hm. Aku ingin sendiri." Elea meraih tas selempang yang tadi ia letakkan di atas meja dapur lalu memakainya di bahunya.

"Di luar terik. Kau yakin? Nanti kulitmu terbakar."

"Sudah pakai sunscreen."

"Kau tidak ingin aku ikut?"

"Tidak."

Bahu Emma lemas. Wajahnya tiba-tiba lesu. Mengigit apel pun ia tidak semangat. "Okey, hati-hati. Aku tidak mau mendengar berita 'seorang gadis kira-kira berusia dua puluh lima tahun menjadi korban perampok' di tv. Jadi, jaga diri."

Elea mendengus pelan. "Aku juga punya beberapa teknik beladiri kalau kau lupa."

Emma mengangguk-angguk dengan mulut terus mengunyah. "Iya iya terserah kau saja." Ia kemudian mendongak menatap Elea. "Tapi ngomong-ngomong. Tempat mana yang mau kau kunjungi?"

"Tidak tahu. Mana tempat yang terlihat nyaman, aku ke sana." Elea merapikan rambut hitam bergelombang sepunggungnya di cermin dapur dan tersenyum menatap tampilan dirinya yang begitu rupawan di sana. "Baiklah. Aku pergi dulu. Sampai jumpa!"

Elea tidak memedulikan Emma yang bersungut kesal. Ia hanya ingin menikmati waktunya sendiri sesekali. Cuaca di luar memang cukup terik, tapi anginnya juga banyak. Jadi, tetap sejuk walau matahari bersinar terang.

Berjalan di trotoar yang cukup sepi pejalan kaki membuat Elea merasa tenang. Beberapa pohon yang sengaja ditanam di sepanjang pinggir jalan juga begitu segar dipandang mata, apalagi bunganya sedang merekah.

Elea merogoh isi tasnya, mengambil ponselnya dan mengabadikan momen itu didalam memori ponselnya. Ia kemudian melihat seberapa bagus kualitas gambarnya dan mendesah lesu ketika sadar potret yang ia ambil ternyata membayang. Sama sekali tidak HD.

Elea mencoba lagi, tapi ia gagal terus. Alasannya membayang atau kepala orang yang ikut masuk ke dalam gambar.

Sudah enam kali ia memotret, tapi hanya satu yang kualitasnya bagus dan sayangnya ada kepala orang di sana. Pasti akan bagus jika hanya pemandangan saja, pikirnya. Mau dipotong juga tidak mungkin. Kepala pria ini secara kebetulan sejajar dengan ranting pohon yang terpendek. Jadi kalau dipotong, gambarnya akan lucu. Karenanya, Elea memutuskan untuk mengabaikannya dan tetap menyimpannya didalam galerinya.

Gadis dengan dress sepaha itu kemudian melanjutkan langkahnya. Angin lembut menerpanya, menerbangkan anak rambut yang terurai di sisi wajahnya. Elea benar-benar merasakan ketenangan yang luar biasa didalam hatinya. Sudah terbentuk rencana didalam kepalanya kalau nanti malam ia akan kembali ke jalan ini. Ia juga akan memakai headphone, mendengarkan lagu favoritnya. Astaga, sesederhana seperti ini saja sudah mampu membuat perut Elea merasa tergelitik.

Namun, satu pemandangan yang tertangkap matanya membuat langkahnya melambat sebelum benar-benar berhenti di satu tempat. Elea belum begitu rabun untuk tidak bisa melihat Jamie yang berdiri di sana dengan seorang gadis didalam rangkulannya.

Elea terpaku di tempat begitu sadar jika gadis itu adalah Millie, kenalannya dalam dunia modeling. Bibirnya yang tadi tertarik membentuk senyuman, sekarang surut dan terkatup rapat. Matanya mengedip, berharap dalam sekali kedipan, pemandangan didepannya menghilang. Namun, fakta menohoknya. Apa yang ia lihat bukanlah ilusi.

Satu hal yang paling melukai Elea, yaitu rasa sakit yang menjalari hatinya. Rasa sakit itu tidak asing lagi dan ia tahu apa artinya. Tapi, sulit dipercayanya jika masih ada rasa untuk Jamie. Ia padahal sudah amat yakin jika tak ada rasa tersisa, makanya ia berani untuk memutuskan hubungan mereka. Tapi, sekarang apa? Ia masih merasakan sakitnya.

Puncaknya ketika Jamie mengecup bibir Millie langsung dihadapannya. Sesuatu didalam dadanya yang tadinya retak, sekarang meledak dan hancur berkeping-keping. Sudah tidak diragukan lagi, dari tatapan Jamie ke Millie saja sudah bisa ditebak hubungan apa yang sekarang mereka jalani.

Rasa bahagia dan damai yang tadi Elea rasakan sudah menguap, tidak tersisa setitikpun. Hingga akhirnya ia memutuskan berbalik dan melangkah menjauh dari dua insan yang mungkin sedang mabuk asmara sekarang.

Semakin jauh ia melangkah, semakin terasa sakitnya. Elea sadar hubungan mereka sudah berakhir, seharusnya ia tidak merasa terkhianati. Seharusnya memang begitu. Tapi faktanya tidak seperti yang diharapkan.

Berada didalam apartemen pribadi menuju apartemennya, Elea benar-benar tidak bisa menyembunyikan kesedihannya dan berakhir dengan mata yang berkaca-kaca. Kedua tangan Elea terangkat menutup wajahnya. Ia berpikir ulang apakah keputusannya menyudahi hubungan ini adalah langkah yang salah? Tapi, semua sudah terlanjur, tidak ada kata waktu yang diulang. Begini hasilnya maka Elea harus siap menerima.

Elea tidak menyembunyikan mata merahnya pada Emma ketika ia masuk ke dalam apartemen. Ia sengaja, memang ingin menunjukkan perasaannya karena ia merasa ia tidak bisa menyimpan rasa ini sendirian.

"Elea. Kau kenapa? Kau menangis?" Emma menatapnya heran. "Ayo duduk. Kau harus memberitahuku tentang apa yang terjadi." Emma memapah Elea ke arah sofa dan mendudukkannya di sana.

Elea melirik Emma yang tampak khawatir dan pemandangan itu memicu perasaan tersensitifnya hingga akhirnya ia menangis lagi. Kali ini lebih parah karena air mata Elea bercucuran keluar dari sudut matanya.

"Elea. Apa yang salah, girl? Ada yang menjahatimu di luar sana?" Emma mencercanya dengan banyak pertanyaan. "Kan aku sudah bilang harusnya kau mengajakku, aku pasti menjagamu."

Elea menggeleng dengan mata yang benar-benar merah serta dipenuhi air mata.

"Jadi apa? Beritahu aku sekarang. Aku memaksa."

Jari telunjuk Elea terangkat menyeka air matanya yang masih belum mau berhenti. "Sepertinya aku masih mencintai Jamie," ujarnya memulai. "Tadi aku melihat dia dengan Millie, mereka berciuman, dan aku ... aku merasa sakit hati." Dan air mata itu jatuh kembali.

Emma mendesah pelan dan menegakkan punggungnya. "Jadi, kau ingin kembali padanya?" Emma bertanya langsung ke inti. Menghibur Elea juga tidak ada untungnya saat ini, karena faktanya hubungan mereka berdua memang sudah berakhir, yang artinya sudah bebas berpasangan dengan orang lain.

Elea menekuk lututnya diatas sofa dan melipat tangannya diatas lututnya. "Aku tidak tahu," jawabnya jujur. "Aku tidak ingin kembali, tapi aku juga sakit hati melihatnya bersama gadis lain."

"Kalau begitu kau hanya perlu waktu untuk benar-benar melupakannya." Emma mengusap lembut bahu Elea. "Waktu akan menyembuhkan lukamu. Tidak apa, El. Kau baik-baik saja."

Mata basah Elea bergulir menatap Emma. "Kalau begitu aku ingin melakukan sesuatu agar aku cepat melupakannya," ucapnya dengan mata penuh tekad. "Akan benar-benar melegakan kalau aku bisa move on darinya hanya dalam empat belas hari."

Emma perlu waktu beberapa detik memproses kalimat Elea, sampai akhirnya ia paham dan matanya melebar karena terkejut. "Maksudmu kau ikut ke dalam program itu?!" Ia berseru tidak percaya. Antara kaget dan juga senang.

"Iya. Aku ikut. Masih ada waktu untuk menerima tawarin itu, kan?"

Emma mengangguk kencang, Elea sampai khawatir kepalanya akan lepas. "Tentu! Tentu masih! Kau serius, kan?! Biar aku terima sekarang!" Emma bangkit berdiri, menunggu persetujuan Elea.

"Hm. Aku serius."

Dan dengan secepat kilat, Emma berlari ke arah kamarnya dan menyambar laptopnya. Ia juga mengambil ponselnya dan menghubungi nomor yang tertera disana. Emma begitu bersemangat, sangat berbanding terbalik dengan Elea yang sekarang masih dirundung pilu.

***

Pagi hari di sebuah apartemen yang bernuansa warna cerah, di sebuah kamar, dua orang sedang tidur memejamkan mata dengan posisi masing-masing berada di sisi kiri dan sisi kanan ranjang.  Keduanya sama-sama menyelimuti diri sampai leher, menutupi tubuh tanpa sehelai benang dibaliknya.

Sedetik kemudian, suara alarm dari jam beker terdengar nyaring hingga keduanya terbangun.  Perempuan di sisi kiri, alias Delphi terbangun lebih dulu dari Ethan yang masih memejamkan mata di sisi kanan tempat tidur. Selain mereka sahabatan, pernah terjebak friendzone, mereka berdua juga sebenarnya adalah partner dalam hal s*ks.

“Ethan, sudah jam tujuh. Bangun. Kau bilang hari ini kau ada rapat, kan?” Delphi bersuara serak, memberitahu Ethan setelah jam beker di sebelahnya berhenti berdering.

Ethan perlahan membuka matanya yang terasa berat. Ia melihat ke arah jam raksasa di dinding didepannya dan mengeluh pelan ketika jarum jam menunjukkan pukul tujuh.

“Kau mengharapkan apa hm? Jam bekerku rusak lagi?” Delphi tertawa sembari membalik tubuhnya menjadi terlungkup. “Tidak ada kerusakan lagi. Sekarang benar-benar jam tujuh, bukan jam enam.”

“Oke oke.” Ethan bangkit duduk. Ia mengumpulkan nyawanya satu menit sebelum turun dari tempat tidur dan melangkah santai ke arah kamar mandi, tidak peduli dengan ketelanjangannya.

Delphi meliriknya dan terkekeh pelan. Tubuh Ethan memang seksi. Tidak heran karena pria itu begitu ketat dalam menjaga tubuhnya. Makan makanan dengan pola yang sesuai dan tidak lupa untuk work out beberapa kali dalam satu minggu. Namun meskipun begitu, Delphi rasanya tidak bisa meningkatkan status hubungan mereka ke arah yang lebih serius. Cukup jadi sahabat dan partner dalam segala hal sudah cukup baginya. Berbanding terbalik dengan Ethan yang memang ingin punya hubungan serius dengan seseorang.

Beberapa detik kemudian, tiba-tiba Delphi teringat sesuatu dan ia segera melompat dari tempat tidurnya. Ia bahkan tidak sempat melilitkan selimut di tubuhnya. Ia fokus mencari-cari laptopnya yang entah kemana keberadaannya.

“Astaga dimana barang itu?!” Delphi menggaruk kepalanya tidak sabar. Ia menurunkan pandangannya kemudian, ke arah pakaian yang berserakan di bawah ranjang.

“Apa di sana?” gumamnya sembari berlutut  mencari laptopnya. Seingatnya, tadi malam ia sedang bermain laptop ketika Ethan tiba-tiba datang dan menyerangnya. Jadi, pasti laptopnya ada di sekitaran ranjang.

Delphi masih mencari-cari beberapa menit sampai akhirnya ia menemukan laptopnya tertutup terjepit diantara Kasur dan meja samping tempat tidur.

“Akhirnya!” seru Delphi girang dan naik ke atas tempat tidur. Ia duduk bersila dan menaruh laptopnya di pangkuannya. Ia dengan cepat  mengaktifkan laptopnya dan ada satu email masuk yang berasal dari KRA Official.

Detak jantung Delphi tidak karuan. Jika hanya satu email, berarti antara ia atau Ethan yang terpilih menjadi peserta dalam program mencari pasangan itu.

Ia berdoa didalam hati, memejamkan matanya sebelum menarik napas dan membuka email itu. Ia membacanya dengan cermat dan akhirnya sampailah ia pada halaman dimana ada nama yang tertera di tengah-tengah.

Ethaniel Alex-Alejandro.

Cukup sampai sana. Delphi tahu jika dirinya tidak terpilih. Sedih memang karena ia yang paling berharap masuk. Tapi, tidak buruk juga karena setidaknya dari mereka berdua, salah satunya akan berada didalam program kencan yang dibentuk oleh stasiun televisi paling terkenal.

“Aku rasa kau harus menutup tubuh bagian atasmu jika tidak ingin aku terlambat.”

Ucapan Ethan itu mengejutkan Delphi. Tapi ia tidak fokus hingga tidak menutup tubuh atasnya seperti ucapan Ethan tadi.

“Kau kenapa?” tanya Ethan ketika ia menyadari ada sesuatu yang janggal dari Delphi. “Kau hamil?”

“Enak saja!” Delphi langsung menyanggah, ia bahkan melempar bantal Ke arah Ethan. “Aku baru saja mengecek email tentang program kencan itu, karena kan hari ini pengumumannya dan ternyata aku sudah dapat emailnya.”

“Kau lulus?”

Delphi menggeleng dengan senyum kecil di bibirnya. “Tidak. Tapi kau.”

“Maksudnya?”

“Aku mendaftarkanmu juga waktu itu. Dan ya, kau terpilih,” ujarnya pelan. Namun, ketika melihat ekspresi Ethan yang sepertinya hendak menolak, suaranya menguat seketika. “TIDAK ADA PENOLAKAN! Kau harus ikut, Ethan. Aku tahu pekerjaanmu sedang lengang sekarang. Kalaupun ada, kau bisa mengandalkanku. Aku pasti membantumu.”

“Tidak, terima kasih.”

“Kau menolak? Padahal aku sudah susah payah mendaftarkanmu.” Delphi memasang wajah paling sedihnya. “Aku benar-benar berharap salah satu diantara kita berdua masuk ke sana jika tidak bisa dua-duanya. Dan sekarang kau terpilih, jadi kau harus ke sana.”

Ethan menatap Delphi dengan lekat. “Aku tidak mau.”

“Bukankah kau ingin menjalin hubungan serius dengan seseorang? Kau bisa mendapatkan seseorang yang sama di sana, Ethan. Kau tidak tahu jika tidak mencoba. Percayalah. Hanya empat belas hari, aku yakin kau bisa menemukan seseorang yang tepat. Apalagi perempuan yang hadir di sana tidak sedikit, ada lima orang!” Delphi berujar panjang lebar. “Jadi kau harus ikut!”

Rahang Ethan mengeras. Apa yang dikatakan Delphi memang benar adanya. Ada kemungkinan ia menemukan seseorang yang tepat di sana, tetapi bisa juga tidak. Namun, Ethan tidak akan tahu jika ia tidak mencoba, bukan?

“Baiklah. Atur saja bagaimana kau mau.”

Delphi tersenyum lebar mendengarnya. Ia benar-benar senang. “Oke! Jadi, selamat datang di Sexy Singles, Ethan!”

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status