“Jantungmu berdebar dengan kencang saat dekat denganku. Kau merasa senang tidak karuan sampai lupa melihat hal-hal di sekitarmu.” Semburat merah menghiasi pipi Marvelo, apa yang di katakan Winter sama persis dengan apa yang dia rasakan setiap kali bersama Winter. “Memangnya kenapa?” tanya Marvelo terbata. Winter mengerjap bingung, jiwa Kimberly bertanya-tanya mengapa perasaan Winter Benjamin yang asli harus dia rasakan juga? Apakah Winter Benjamin ingin Marvelo mengetahui perasaannya?. Tapi, perasaan berdebar ini perasaan apa? Apakah persahabatan yang berharga, atau cinta pertama yang berantakan karena tidak bisa di ungkapkan?. Batin Winter bertanya-tanya. Repleks saja Winter menarik sisi seragam Marvelo dan membuat pria itu semakin membungkuk, sekali lagi Winter menariknya dalam satu sentakan, wajah Winter terangkat dan sedikit memiring. Winter meraup bibir Marvelo dan menciumanya. Tubuh Marvelo menegang kaku, pupil matanya melebar kaget merasakan lembut bibir Winter yang kini
“Saya benar-benar tidak tahu dengan apa yang sebenarnya Anda pikirkan, Nona Paula,” Cleo bersedekap, duduk di antara Paula dan Albert, seorang kesiswaan. Paula hanya bisa tertunduk diam seribu bahasa. Seseorang telah melaporkan tindakan Paula kepada Winter, hal itu mendapatkan respon yang begitu cepat dari sekolah karena mereka tidak ingin lagi melakukan kesalahan yang sama dan semakin merugikan sekolah karena telah lalai menjaga keselamatan siswa mereka. Kini kasus perundungan apapun yang terjadi pada sekolah, selalu menjadi sorotan dan prioritas semua orang. Kurang dari dua puluh menit dari kejadian itu, kini akhirnya Paula di seret masuk ke dalam ruangan kesiswaan. Paula di cecar oleh banyak pertanyaan, orang-orang terlihat marah kepadanya karena dia sudah membuat kegaduhan di tengah-tengah masalah yang baru saja mereda. “Anda dan Winter Benjamin di kenal sebagai teman dekat sejak kecil, dan sekolah Anda di biayai oleh keluarga mereka, namun apa ini?” Albert menunjuk-nunjuk t
Paula tertunduk tidak bertenaga, gadis itu melangkah gontai keluar dari ruangan, wajahnya masih begitu pucat pasi karena masih kaget dengan situasi dan masalah baru yang harus dia hadapi sekarang hanya karena tindakannya yang ceroboh. Tanpa sadar Paula menjatuhkan air matanya, gadis itu melihat ke sekitar dan mulai tersadar jika kini beberapa orang melihat dirinya dengan penuh kebencian. Rupanya, apa yang dia lakukan sudah tersebar di antara banyak orang dengan cepat. Orang-orang berbicara, gerak bibir mereka yang memaki dirinya begitu jelas terlihat. Paula menatap dengan pasif, seluruh kulitnya meremang merasakan sebuah ketakutan dengan tatapan intimidasi dan jijik semua orang kepada dirinya. Tiba-tiba Paula tersadar dengan situasinya sekarang, situasi ini biasanya selalu di alami oleh Winter di setiap kali gadis itu terjebak dalam masalah dan rumor yang sering Paula buat untuk menghancurkan mentalnya dan membuat Winter terjatuh dalam jurang depresi yang membuat dia ketakutan den
“Kau sudah dengar kabar Winter?” tanya Yoona, teman less Selina, sekaligus teman sebangku Selina di sekolah. “Ada apa memangnya?” Tanya balik Selina seraya membuka lembaran buku yang di bacanya, setelah selesai ujian hari pertama, Selina di sibuk belajar agar nilainya membaik karena dia tahu konsekuensinya jika dia gagal menaikan nilainya. Yoona menelan salivanya dengan kesulitan, dia terlihat ragu untuk memberitahu namun ini juga gosip yang sangat hangat, lambat laun Seina juga akan mengetahuinya. “Tadi, Paula, siswa dari kelas gedung seni, anak yang sering bersama Winter. Dia merundung Winter, dia menampar dan mengambil uang Winter, dan Marvelo membela Winter, dia membawa Winter dan menggendongnya di depan semua orang,” cerita Yoona. Selina terdiam sejenak, gadis itu segera menutup bukunya dan memasukannya ke dalam tas. Melihat reaksi Selina yang terlampau tenang membuat Yoona sampai melongo karena kaget, biasanya Selina akan memukul meja dan berteriak-teriak marah bila ada ses
Setetes darah terjatuh menodai buku Winter, dengan cepat Winter menyusut hidungnya dengan punggung tangan. Winter segera mengambil beberapa lembar tishu membersihkan hidunganya. Tiga hari terakhir ini Winter belajar gila-gilaan tanpa istirahat, dia menghabiskan waktunya untuk belajar dan berlatih menari demi memberikan pertunjukan yang sempurna di kontes nanti. Meski tidak begitu berambisi dengan kemenangan ratu sekolah, Winter harus memberikan pertunjukan yang terbaik agar semua orang tidak dapat melupakannya, di sisi lain dia harus memperbaiki nilainya dan mendapatkan posisi teratas agar orang-orang dapat membaca namanya dan mengetahui kebenaran bahwa Winter Benjamin bukanlah gadis yang bodoh. Besok adalah hari terakhir ujian, dia harus bertahan untuk malam ini, karena ini pertarungan malam terakhirnya dengan pelajaran. Winter mendesah frustasi, tiba-tiba kepalanya sedikit pusing dan pinggangnya sakit karena terlalu lama duduk. Ternyata tidak mudah menjalani kehidupan anak-anak
Winter sedikit terkejut dengan jawaban Maxim, namun jiwa Kimberly menghargai kejujurannya. “Saya memahami situasinya sekarang,” jawab Winter dengan senyuman, hatinya merasa senang menemukan celah besar kehidupan Paula yang sedang sangat berusaha dia tutupi. “Paula, keadaannya sangat baik. Kini dia dan ibunya tinggal di salah satu rumah dinas yang di sediakan keluarga saya, Anda jangan khawatir dia menjalani kehidupannya dengan serba berkecukupan. Ibunya bekerja di salah satu cabang kantor milik orang tua saya, dan Paula berada di Kirin internasional high school.” “Benarkah?” tanya Maxim dengan bisikan dan sebuah senyuman ironis. Maxim lega puterinya hidup dengan baik dan layak, namun ada sebuah perasaan sakit yang di rasakan hatinya memikirkan betapa tidak adilnya sebuah kehidupan. Maxim hidup dalam derita di penjara, tapi Paula dan Lana masih bisa menikmati kehidupan mereka dengan baik setelah mereka mengkhianati Maxim. Tangan Maxim meremas permukaan tas yang ada di pangkuannya.
Meta yang hendak berbicara segera di seret pergi oleh Nurma seraya membekap mulutnya. Kini tinggal Shony dan Maxim yang masih terlihat kebingungan dan ingin tahu. “Apa Anda tahu Paula?” Tanya Maxim yang semakin di buat penasaran ingin mengetahui apa yang terjadi. Shony mengusap dagunya dan terlihat berpikir keras, “Aku tidak tahu apakah aku boleh menceritakannya atau tidak. Ini bukan cerita yang menyenangkan untuk di dengar.” “Ceritakan saja,” jawab Maxim tidak sabaran. “Begini” Shony menyesap kopinya beberapa kali sebelum melanjutkan ucapannya. “Paula, ingat nama itu baik-baik. Dia salah satu orang yang namanya di blacklist keluarga Benjamin sejak dua minggu yang lalu. Jadi, jika nanti kau sudah bekerja, jangan biarkan orang yang bernama Paula masuk ke rumah ini, jika kau membiarkan dia masuk, tuan Vincent akan memotong tanganmu. Ini serius.” Maxim semakin terbelalak begitu kaget mendengar masalah yang baru dia ketahui. Namun apa masalahnya? Bukankah Paula berteman dengan Winter
Marvelo membuka pintu panthouse dan mempersilahkan Winter masuk, sesuai dengan apa yang mereka bicarakan kamarin siang, malam ini mereka bertemu untuk karena alasan yang penting. “Kau akan lama?” tanya Marvelo mengikuti langkah Winter yang berjalan di depannya. Kepala Winter mendongkak, “Kenapa? Kau ingin aku berlama-lama atau malam ini kau tengah sibuk?” Marvelo membasahi bibirnya sesaat, “Aku ingin mengajakmu makan malam,” ucap Marvelo nyaris tidak terdengar. “Baiklah.” Bibir Marvelo gemetar menahan senyuman menawannya, ada sebuah perasaan senang yang dia rasakan mendengar jawaban sederhana Winter. Tidak sia-sia jika tadi dia sempat pergi ke supermarket membeli banyak bahan makanan, sekarang dia bisa memasak untuk makan malam bersama Winter. “Ikut aku,” ajak Marvelo. Kini giliran Winter yang mengikuti Marvelo menuju kamarnya, Winter duduk di pinggiran ranjang memperhatikan Marvelo yang kini tengah mengambil sebuah handpone dan memberikanya kepada Winter. “Semua buktinya ada