Winter sedikit terkejut dengan jawaban Maxim, namun jiwa Kimberly menghargai kejujurannya. “Saya memahami situasinya sekarang,” jawab Winter dengan senyuman, hatinya merasa senang menemukan celah besar kehidupan Paula yang sedang sangat berusaha dia tutupi. “Paula, keadaannya sangat baik. Kini dia dan ibunya tinggal di salah satu rumah dinas yang di sediakan keluarga saya, Anda jangan khawatir dia menjalani kehidupannya dengan serba berkecukupan. Ibunya bekerja di salah satu cabang kantor milik orang tua saya, dan Paula berada di Kirin internasional high school.” “Benarkah?” tanya Maxim dengan bisikan dan sebuah senyuman ironis. Maxim lega puterinya hidup dengan baik dan layak, namun ada sebuah perasaan sakit yang di rasakan hatinya memikirkan betapa tidak adilnya sebuah kehidupan. Maxim hidup dalam derita di penjara, tapi Paula dan Lana masih bisa menikmati kehidupan mereka dengan baik setelah mereka mengkhianati Maxim. Tangan Maxim meremas permukaan tas yang ada di pangkuannya.
Meta yang hendak berbicara segera di seret pergi oleh Nurma seraya membekap mulutnya. Kini tinggal Shony dan Maxim yang masih terlihat kebingungan dan ingin tahu. “Apa Anda tahu Paula?” Tanya Maxim yang semakin di buat penasaran ingin mengetahui apa yang terjadi. Shony mengusap dagunya dan terlihat berpikir keras, “Aku tidak tahu apakah aku boleh menceritakannya atau tidak. Ini bukan cerita yang menyenangkan untuk di dengar.” “Ceritakan saja,” jawab Maxim tidak sabaran. “Begini” Shony menyesap kopinya beberapa kali sebelum melanjutkan ucapannya. “Paula, ingat nama itu baik-baik. Dia salah satu orang yang namanya di blacklist keluarga Benjamin sejak dua minggu yang lalu. Jadi, jika nanti kau sudah bekerja, jangan biarkan orang yang bernama Paula masuk ke rumah ini, jika kau membiarkan dia masuk, tuan Vincent akan memotong tanganmu. Ini serius.” Maxim semakin terbelalak begitu kaget mendengar masalah yang baru dia ketahui. Namun apa masalahnya? Bukankah Paula berteman dengan Winter
Marvelo membuka pintu panthouse dan mempersilahkan Winter masuk, sesuai dengan apa yang mereka bicarakan kamarin siang, malam ini mereka bertemu untuk karena alasan yang penting. “Kau akan lama?” tanya Marvelo mengikuti langkah Winter yang berjalan di depannya. Kepala Winter mendongkak, “Kenapa? Kau ingin aku berlama-lama atau malam ini kau tengah sibuk?” Marvelo membasahi bibirnya sesaat, “Aku ingin mengajakmu makan malam,” ucap Marvelo nyaris tidak terdengar. “Baiklah.” Bibir Marvelo gemetar menahan senyuman menawannya, ada sebuah perasaan senang yang dia rasakan mendengar jawaban sederhana Winter. Tidak sia-sia jika tadi dia sempat pergi ke supermarket membeli banyak bahan makanan, sekarang dia bisa memasak untuk makan malam bersama Winter. “Ikut aku,” ajak Marvelo. Kini giliran Winter yang mengikuti Marvelo menuju kamarnya, Winter duduk di pinggiran ranjang memperhatikan Marvelo yang kini tengah mengambil sebuah handpone dan memberikanya kepada Winter. “Semua buktinya ada
Flashback Sore itu langit terlihat mendung, angin berhembus sedikit lebih kencang dari biasanya, awan-awan berkumpul terlihat pekat. Keadaan sekolah sudah mulai sepi karena sudah memasuki jam pulang sekolah. Winter berjalan dengan cepat menarik tangan Paula dengan paksa tanpa menghiraukan teriakan dan makian Paula karena tiba-tiba di seret paksa olehnya. Cengkraman Winter semakin kuat, Winter terus menarik Paula, membawanya pergi. Ini untuk pertama kalinya Winter memiliki sebuah keberanian untuk mengambil tindakan dan tidak mendengarkan apapun yang Paula perintahkan kepadanya. Hal itu di dasari oleh ledakan kemarahan yang tidak bisa dia bendung lagi. Winter sangat marah dan kecewa karena di tengah-tengah kegaduhan atas kenekatan Winter yang menembak Hendery, Paula membuat banyak hasutan yang membuat banyak orang membenci Winter dan membuat mereka salah paham kepada Winter. Begitu suah sampai di atap gedung sekolah, dengan kasar Winter melepaskan cengkramannya. Winter menatap taja
“Dasar tidak tahu diri, setelah sekian lama aku menjagamu dan menemanimu hingga mengorbankan waktuku, kau dengan percaya dirinya membutuhkan waktu pribadi untuk bersenang-senang tanpa aku.” Dengan napas tersenggal Winter menangis, gadis itu semakin kuat menggenggam erat sisi roknya. Telinga Winter terasa berdenging, kepalanya terasa sakit karena harus menerima dua kali pukulan Paula. “Kimberly sudah mati tiga tahun lalu, apalagi yang kau ingin cari dan lihat darinya? Setelah dia mati, kau masih saja memburu barang-barang peninggalannya.” “Kau bebas berbicara buruk mengenaiku Paula, namun jangan berbicara buruk tentang indolaku,” isak Winter dengan geraman. Plak Sekali lagi Paula menempeleng kepala Winter hingga Winter terhuyung ke belakang dan terjatuh tersungkur ke lantai. “Memangnya kenapa jika aku berbicara buruk tentang Kimberly? Apa yang kau dapat dari mengindolakan dia Winter?” tanya Paula dengan geraman. “Ah.. sekarang aku tahu, pantas saja kau mengidolakan dia, kau dan d
Tetesan air mata membasahi layar handpone dan tangan Winter, jiwa Kimberly terguncang hebat melihat hal mengerikan yang di lakukan Paula melalui kata-kata beracunnya yang membunuh Winter. Jiwa Kimberly terluka hebat menyaksikan ketidak beradayaan Winter yang merasa kesepian dan tidak mempercayai bahwa dirinya berharga. Hal itu di jadikan senjata oleh Paula. Kata-kata Paula membunuh Winter, gadis itu begitu jahat melebihi pembunuh, dia menyiksa kehidupan Winter, merusak kebahagiaan Winter, merusak pemikirannya dan menginjak-injak derita Winter, betapa bahayanya rasa iri Paula hanya karena dia merasa tidak seberuntung Winter. Tangis sesak jiwa Kimberly tidak terbendung, hati dan tubuh Winter terasa sangat sakit, reaksi tubuh Winter saat ini seakan memberitahu seberapa menderitanya dia selama ada Paula di sisinya. Tangis Winter yang terdengar keras dapat di dengar Marvelo yang saat ini tengah memasak, pria itu tertunduk tampak merasa berasalah. Sudah bisa Marvelo duga akan seberapa h
Paula segera memasuki mobilnya, Paula mengendarainya dan pergi menuju sekolah. Suasana hati Paula semakin tidak baik pagi ini, namun dia tidak bisa diam saja. Paula harus kembali berjuang mendapatkan kembali apa yang sudah dia miliki, salah satunya dengan bertahan di sekolah. Paula sangat berharap bahwa dia akan mendapatkan nilai yang lebih baik dari sebelumnya agar bisa tetap bertahan di sekolah Kirin, sekolah itu adalah satu-satunya hal yang bisa menyelamatkan masa deopan Paula yang saat ini sedang begitu suram. Butuh waktu satu jam bagi Paula berkendara, gadis itu segera memarkirkan mobilnya. Paula terdiam duduk menunggu di dalam mobil, memperhatikan anak-anak sekolah yang kini ramai masuk ke dalam gedung sekolah. Mereka terlihat sangat berantusias karena hari ini adalah pengumuman hasil ujian. Jika Paula keluar dari mobilnya, mungkin tidak ada lagi yang mengenalnya karena kini Paula sudah sangat begitu berubah. Meskipun begitu, dia tetap merasakan ketakutan yang begitu besar.
Selina terduduk lemas setelah selesai melihat nilai hasil ujiannya yang tidak sesuai dengan apa yang di harapkan oleh orang tuanya. Gadis itu duduk termenung di atap gedung sekolah memikirkan apa yang harus dia katakan kepada mereka karena nilainya tidak mencapai target. Selina tidak tahu, tekanan dan hinaan apalagi yang akan dia dengar bila dia sudah mengatakan semuanya kepada orang tuanya. Selina menggenggam erat handponenya yang kini tidak berhenti bergetar, dapat dia lihat nama ayah dan ibunya yang tertera berusaha menelponnya beberapa kali sejak tadi. Dapat Selina tebak, kemungkinan kini mereka sudah tahu kabar mengenai hasil nilainya dari wali kelas. Selina bernapas dengan cepat mengambil pasokan udara, gadis itu sempat menjatuhkan air matanya, namun dia menghapusnya dengan cepat dengan punggung tangan. “Seharusnya aku mencuri kunci jawabannya sejak awal,” bisik Selina penuh sesal. Selina sempat ingin mencuri kunci jawaban karena dia tahu seberapa sulit dan setresnya menghad