“Astaga,” Winter berdecak kagum melihat sebuah restaurant di pinggiran pantai. “Kau mereservasi restaurant?”Marvelo berdeham malu, dia tidak perlu mereservasinya karena restaurant itu bagian dari milik keluarganya. “Besok kita akan pentas, tidak ada salahnya kan jika merayakannya lebih dulu tanpa mempedulikan kemenangan ataupun kekalahan. Kita harus bersenang-senang malam ini, tidak boleh tertekan.”Mata Winter menyipit, jawaban Marvelo tidak meyakinkan dirinya jika alasan Marvelo mereservasi satu restaurant hanya untuk merayakan pentas yang akan di laksanakan besok.“Ku pikir kau melakukannya karena menganggap malam ini akan ada kencan.”“Sudahlah Winter, duduklah.”Tangan Winter terangkat mengisyaratkan Marvelo untuk bergandengan tangan. Gadis itu berdiri dengan anggun seperti seorang tuan puteri yang ingin di perlakukan dengan special.Marvelo menerima uluran tangan Winter dan membawanya pergi masuk ke dalam.“Kau benar-benar tidak menganggap ini makan malam kencan kan?” Tanya Wi
“Kenapa kau melakukannya?” Jenita mengobati tangan Marius yang terluka.“Memangnya kenapa? Haruskah selamanya aku tidak melawan hinaan dan kejahatan orang menjijikan itu?” Tanya balik Marius dengan dengusan kesalnya.Jenita tersenyum, “Ibu tidak melarangnya Marius, namun sekarang bukan saat yang tepat.”“Sampai kapanpun tidak ada waktu yang tepat bila itu berhubungan dengan melakukan kekerasan.”“Marius, saat ini ibu hanya mengharapkan operasi yang akan kau jalani berjalan lancar dan kau bisa kembali bejalan. Jika kau terlibat pertengkaran seperti ini bersama Sean, ibu sangat khawatir Sean membawanya ke jalur hukum dan terlibat masalah. Ibu takut perusahaan Julian Giedon akan mencari orang untuk menggantikanmu.”Kali ini Marius diam tidak mengelak sedikitpun. Marius memahami kekhawatiran ibunya.“Aku mengerti.”Jenita memasukan beberapa obat ke dalam kotak. “Minta maaflah pada Felix. Selama ini dia selalu berada di sampingmu dan melakukan yang terbaik untuk menolongmu.”“Aku mengerti
“Ayah akan pergi malam ini?”“Ya, mungkin sekitar satu minggu ayah akan di sana. Ayah akan menemani Vincent sebentar” Benjamin mengepak beberapa pakaiannya ke dalam koper, keberangkatannya ke Manchester dua jam lagi. “Bagaimana dengan makan malam kamu?”“Lancar.”Benjamin tersenyum puas karena Winter tidak pergi terlalu lama dan pulang tepat pada waktunya. “Ayah menyimpan hadiah untukmu di atas ranjang.”“Nanti aku akan melihatnya,” jawab Winter dengan nada menggantung. “Ayah mau aku antar?”“Tidak perlu Winter, tidurlah dan istirahatlah dengan cukup,” Benjamin tersenyum lebar, dia tahu jika besok Winter akan ikut kontes di babak kedua, Benjamin tidak ingin membuat Winter kelelahan dan kekurangan tidur.Winter menyandarkan bahunya ke sisi pintu, gadis itu terdiam memperhatikan Benjamin yang sudah siap akan pergi.“Ada apa? Apa ada sesuatu?” Tanya Benjamin yang menyadari sesuatu pada puterinya. Tidak seperti biasanya Winter diam dan hanya memperhatikan.Winter berdeham terlihat ragu, “
Paula terbaring di atas ranjang masih tidak berdaya dan harus menerima perawatan usai menerima operasi di bagian sikunya. Dokter sampai mengatakan bahwa tangannya membutuhkan operasi lagi karena ada cedera besar di bagian bahunya yang kini membuat Paula merasa kesakitan jika menggerakan wajahnya, ada masalah dengan pembuluh darah di tangannya, dan ini akan membuat Paula kesulitan untuk menggerakan tangannya di masa depan jika tidak segera melakukan operasi.Wajah Paula membengkak tidak dapat berhenti menangis sepanjang waktu karena kesakitan.Bayangan-bayangan perkataan Winter dan bagaimana gadis itu mematahkan tangannya membuat Paula tidak bisa bernapas dengan tenang. Mulut Paula terkunci rapat tidak dapat membuka suara dan menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.Mata Paula terpejam kuat dengan bibir menekan menahan tangisan putus asa. Paula tidak berani melihat lagi hari esok, Paula mulai menemukan keputus asaan.“Kita harus pulang malam ini, kau di rawat di rumah saja,” suara taj
Penampilan Marvelo cukup fantastic meski pria itu hanya mengenakan kemeja putih dan celana hitam gaya klasik. Ini adalah untuk pertama kalinya Marvelo akan tampil di depan umum. Marvelo terlihat seperti seorang pangeran dalam dongeng, seseorang yang kuat, pandai bertarung dan tampan.Winter bisa merasakan getaran aura bintang di dalam diri Marvelo, dia sangat yakin sepenuhnya jika semua mata gadis-gadis akan terfokus padanya jika nanti berdiri di atas panggung.“Aku terlalu senang” Winter membenarkan.“Rupanya kau sesenang itu akan tampil di panggung.”“Bukan karena itu saja,” jawab Winter seraya membenarkan tatanan rambut Marvelo.“Lalu?”Senyuman Winter kian lebar, dengan penuh semangat akhirnya gadis itu berkata. “Paula di seret pergi ke kantor polisi pagi ini.”Marvelo terpaku kaget, di detik selanjutnya pria itu tersenyum lebar terlihat begitu senang mendengar kabar yang selama ini dia tunggu. “Kau menuntutnya dengan pantas kan?”“Ya, dia akan terkena pasal berlapis.”***Marius
Satu persatu peserta sudah menampilkan apa yang ingin mereka tampilkan, mereka menunjukan pertunjukan yang terbaik untuk memukau banyak orang dengan keterampilan hebat mereka.Sampai akhirnya tiba nama Winter terpanggil.Tubuh Marius menegak, pria itu terfokus melihat ke arah panggung.Lampu di panggung meredup, suara ketukan langkah di panggung terdengar, ada bayangan dua orang yang berdiri di sisi kiri dan kanan panggung.Winter dan Marvelo muncul di atas panggung dengan senyuman begitu lampu menyoroti keduanya, mereka berdiri sejajar lalu saling berhadapan, keduanya saling mengunci tatapan dan bahasa tubuh mereka sudah mulai berbeda.Keriuhan penonton menghilang menyisakan keheningan, mereka terdiam melihat ke panggung memperhatikan apa yang akan Winter dan Marvelo tampilkan.Napas Mairus tertahan di dada, pria itu melihat sosok Winter yang cukup berbeda dari biasanya. Gadis itu mengenakan gaun yang cantik membalut tubuhnya yang sudah mengecil sempurna, caranya yang berdiri di atas
Ruangan dinding kaca yang dingin dan kedap suara membuat Paula bergerak gelisah terserang setres, Paula sampai mengeluh mual hingga keluar masuk toilet.Sudah lebih dari dua jam dia duduk, seseorang di hadapannya tidak berhenti mengajukan pertanyaan yang membuat Paula sangat frustasi karena pertanyaan itu terus berputar, menjebak Paula dengan detail agar mau mau berkata jujur.Paula tidak tahu kapan dia bisa keluar dari ruangan dingin mencekam itu, beberapa orang yang berdiri di luar ruangan terus memonitornya. Pakar ekspresi ikut memberikan banyak saran setiap kali Paula berbicara. Paula tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan di luar, yang jelas dia sudah tidak tahan lagi untuk duduk lebih lama.“Kapan aku bisa keluar dari sini? Aku sangat lelah,” Paula mengiba, suaranya sudah sangat serak dan tidak lantang karena terlalu banyak menangis.Dolp tersenyum bereksrpesi dingin, pria itu segera menjawab, “Satu minggu lagi.”Paula menelan salivanya dengan kesulitan, dia tidak bisa memb
Marvelo duduk termenung menatap sedih langit di atas kepalanya, hari yang sempat dia pikir akan berakhir dengan sempuran tidak berjalan sesuai dengan apa yang dia harapkan. Marvelo mengusap dadanya, merasakan sesuatu yang sakit di dalamnya, lebih menyakitkannya lagi Marvelo tidak bisa mengungkapkannya kepada siapapun. Hanya Charlie yang mengetahui perasaanya kepada Winter. Marvelo tersenyum ironis memikirkan betapa menyedihkannya dia sekarang. Marvelo sama sekali belum menyampaikan perasaanya kepada Winter, namun dia sudah patah hati dan harus mundur karena seseorang sudah mendapatkan hati Winter. Bibir Marvelo sedikit terbuka, pria itu menghela napasnya dengan berat mencoba untuk kembali bersikap tenang. Suara pintu di belakang Marvelo terdengar sedikit berderak, Winter datang menyusul Marvelo karena dia ingat Marvelo mengajaknya bertemu di atap gedung sekolah. “Apa aku terlambat datang?” Tanya Winter segera duduk di samping Marvelo yang kini berusaha bersikap baik-baik saja dan