Felix terduduk di kursi kemudi terlihat panik menekan handpoennya, pria itu langsung berbicara agar mereka mau memberikan pengawalan perlindungan. Tidak berapa lama beberapa orang berpakaian serba hitam datang dan mengawal Marius bersama Felix keluar dari area rumah sakit menggunakan dua buah mobil. “Apa kau gugup?” Marius memperhatikan Felix yang menyetir dengan tidak fokus, pria itu bernapas dengan kasar dan kakinya tidak berhenti bergerak gelisah, sesekali Felix melihat ke sekitar. Felix masih merasakan ada yang mengintainya, firasat Felix tidak begitu baik malam ini. “Aku takut jika ini orang yang sama,” cerita Felix setengah berbisik. Marius terbelalak kaget, “Apa maksudmu?” “Satu minggu terakhir ini aku merasa di ikuti oleh seseorang, semua itu terjadi sejak aku memutuskan untuk membantu mengurus keperluan operasimu.” “Kenapa kau tidak menceritakan ini semua padaku?” Marius sedikit berteriak. “Aku pikir ini bukan apa-apa, ku pikir itu mereka hanya orang yang ingin mengaj
Jenita berlari bersama Levon melewati keramaian orang-orang di sekitarnya, keduanya tampak terburu-buru begitu mendengar kabar kecelakaan yang di alami Marius malam ini. Empat orang polisi berdiri di depan pintu menjaga keadaan begitu kecelakaan yang di alami Marius dan Felix adalah sebuah penyerangan yang di sengaja. Jenita tidak dapat membendung tangisannya lagi begitu kedatangannya hanya di sambut oleh polisi karena Marius sedang berada dalam penanganan dokter dan butuh melakukan operasi darurat, sementara Felix yang berada di ruangan sebelah ikut mendapatkan penanganan yang serius karena mengalami banyak pendarahan. Salah satu polisi langsung menenangkan Levon dan Jenita, polisi itu membawa keduanya ke ruangan sepi, lalu menjelaskan apa yang telah terjadi kepada Marius dan Felix. Di sisi lain Winter yang baru sampai ke rumah sakit langsung berlari pergi dengan cepat, gadis itu tidak lagi dapat berpikir rasional karena sebuah kekhawatiran yang begitu mencekik dirinya. Kaki Wint
Winter pulang terburu-buru, gadis itu langsung pergi ke kamarnya mengambil beberapa perhiasana hingga sisa uang yang dia milikinya, memasukannya ke dalam tas. Tanpa pertimbangan Winter berlari pergi ke ruangan kerja Benjamin untuk mencari-cari uang tambahan yang berjumlah besar. Winter menyusuri setiap laci dan meja kerja Benjamin. Setelah cukup lama mencari, akhirnya Winter menemukan brangkas rahasia milik Benjamin yang di letakan di dalam dinding. Beberapa kali Winter menekan tombol, semuanya salah. Gadis itu terlihat cukup frustasi mencoba menebak-nebak kode apa yang Benjamin gunakan di brangkas itu. di percobaan ke empat, Winter mencoba menggunakan tanggal lahir Vincent, dan ternyata brangkas itu terbuka. Ada banyak tumpukan document di dalam, beberapa emas batangan dan beberapa gepok uang yang mungkin tidak seberapa untuk seorang Benjamin. Winter memberanikan diri mengambil dua gepok uang di dalamnya, dia tahu konsekuensinya atas pencurian yang dia lakukan. Namun Winter tidak
Suara menggema tembakan terdengar keras di dalam sebuah ruangan, Mante menajamkan pandangannya melihat setiap sasaran boneka yang berjalan di hadapannya. Bayangan Jach yang masuk ke dalam ruangan latihan membuat Mante menurunkan pistolnya dan melepaskan penutup telinga. Sekilas dia melihat Jach yang kini tersenyum lebar dan mendekat. “Gadis itu kembali ke sini dan ingin bertemu denganmu lagi,” kata Jach. “Gadis yang mana?” “Winter Benjamin.” Mante tidak menjawab, pria itu melihat jam di tangannya yang sudah menunjukan pukul sebelas malam. “Aku tidak menerima klien di jam segini.” Jach bersedekap, menyandarkan bahunya pada sisi pintu. “Dia bilang ini penting.” “Tidak bisa,” tolak Mante dengan tegas. Dia tidak suka latihan menembaknya terganggu. Jach memperhatikan Mante yang kembali menembak dan tidak mempedulikan apapun di sekitarnya. Jach tetap berdiri di tempatnya sampai Mante gusar sendiri dengan keberadaanya sekarang. “Ada apa lagi?” tanya Mante lagi sambil mengisi peluru.
Winter berdiri di sisi pagar rumahnya, gadis itu terjaga sepenuhnya karena kegelisahan berbagai alasan malam ini. Winter gelisah karena kabar perkembangan Marius, Winter gelisah belum mendapatkan kabar dari Mante, dan Winter gelisah setelah mengetahui kebenaran jika ayah kandung Kimberly Feodora adalah Benjamin. Jiwa Kimberly masih belum bisa percaya, belum bisa menerima jika Benjamin yang selama ini dia anggap sebagai ayah yang sempurna dan begitu baik ternyata bagian dari pria bajingan jahat yang Kimberly benci. Jiwa Kimberly tidak tahu apa yang akan di lakukan kedepannya jika dia bertemu Benjamin, untuk menatapnya sekalipun dia tidak sudi. Jiwa Kimberly begitu kecewa, hatinya sangat terluka. Mengingat seberapa sulitnya dulu dia menjalani kehidupan dan harus berjuang di setiap injakan dan rintangan orang-orang berkuasa yang meremehkannya. Sangat tidak adil jika Benjamin memiliki kehidupn yang makmur dan selalu hidup dengan bahagia. Jiwa Kimberly sangat membenci ibunya yang tela
Levon menarik napasnya begitu sesak, bahunya yang renta itu gemetar menggenggam tangan Marius. Levon tertunduk merasakan hangatnya tangan Marius yang kini terluka, Levon tidak dapat menahan tangisannya melihat kemalangan yang di alami puteranya karena ulah Levon. “Maafkan aku Marius. Andai aku sadar lebih awal dan berhenti bertindak egois, mungkin kau tidak akan seperti ini. Maafkan aku, aku sungguh menyesal,” tangis Levon penuh penyesalannya. “Bangunlah, aku belum menebus semua kesalahanku padamu dan ibumu. Aku mohon bangunlah dan bangkitlah kembali,” rintih Levon begitu tersiksa. Di sisi lain, Jenita yang baru masuk ke dalam ruangan, memilih diam bersandar pada pintu sambil mendengarkan semua yang di katakan Levon pada Marius. Beberapa kali Jenita menghapus air matanya, dia merasa terluka dan hancur karena kondisi Marius yang kian memburuk, namun di sisi lain Jenita juga merasa lega karena akhirnya Levon menyadari kesalahannya meski sudah terlambat. Kini Marius berada di sampin
Winter membungkuk melihat Shanom yang kini semakin ketakutan hingga terkencing-kencing di celana, tatapan Winter dan gerak tubuhnya yang menyiksa dirinya membuat Shanom tersadar seberapa dekat dirinya sekarang dengan kematiannya. “Siapa aku?” bisik Winter dengan tenang, “Aku adalah Kimberly Feodora. Wanita yang kau hancurkan hidupnya bersama puteramu. Aku kembali untuk membalas apa yang telah kau lakukan padaku.” “Ti.. tidak mungkin” Shanom terbata. Winter menendang kursi Shanom dan memutarnya, membuat Shanom menungging, wajah dan lututnya menumpu di lantai, sementara kursi yang mengikat seluruh tubuhnya kini berada di atas dirinya. “Tidak mungkin, jangan main-main. Lepaskan aku, akan aku berikan semua yang kau mau, aku mohon, lepaskan aku,” rintih Shanom terdengar putus asa. “Benarkah?” Winter tersenyum menatap tajam Sean yang kini bernapas begitu cepat tidak dapat mengendalikan kemarahannya. “Perlu kau tahu, yang aku mau adalah nyawamu jalang.” Shanom terbelalak, tubuhnya meng
“Wanita sialan, ke nerakan saja kau!” teriak Sean. Winter terdiam, melihat sosok Sean yang murka kesetanan, kemarahan Sean yang tertuju kepadanya membuat Winter terbayang-bayang masa lalunya dulu ketika Sean marah dan main tangan memukulinya. Kimberly diam seperti orang dungu karena Sean memiliki kekuasaan yang begitu kuat dan mendapatkan perlindungan dan Levon, Kimberly diam harus menyembunyikan lukanya dari Marius agar pria itu tidak terluka dan tidak berurusan begitu jauh dengan keluarganya yang beracun. Kini Kimberly mendapatkan tubuh Winter Benjamin, dia tidak perlu lagi diam dan menerima semua tindasan karena kini dia memiliki banyak uang dan perlidungan dari Benjamin meski kini jiwa Kimberly sangat membenci Benjamin. Kemarahan Sean menggebu membuat sisi rasionalnya menghilang, satu tujuan pria saat ini adalah menghabisi Winter, sama seperi Winter menghabisi ibunya. Dalam langkah lebarnya Sean berjalan mendekati Winter, emosi yang menyelimuti pikiran dan hati Sean membuat pr