Share

Part 2. Penyamaran

Satuhal yang patut disyukuri dari kesialanku, ketika jiwaku terjebak dalam raga asing di jaman antah berantah ini, aku masih membawa serta kemahiranku beladiri dan bermain senjata. Ini adalah kehendak Tuhan yang sangat luar biasa.

Pasalnya, ini merupakan kenyataan yang sangat bertolak belakang dengan Arya Wisesa yang asli. 

Arya Wisesa adalah pemuda pecandu syair, pujangga picisan yang tidak mahir bermain olah kanuragan. Itulah kenapa Ayahandanya menginginkan dia belajar olah kanuragan di Padhepokan milik Mpu Gandiswara.

Usai berhasil melatih satu jurus baru, biasanya Mpu Gandiswara akan melepas murid-muridnya untuk berburu dihutan. Hal ini dia lakukan untuk melatih kemahiran murid-muridnya.

Tapi siapa sangka justru Itulah awal dari kisah tragis Arya Wisesa, dia terjatuh dari kuda yang hampir merenggut nyawanya. Dan tragisnya lagi, aku harus terlibat terjebak dalam tubuhnya.

Oh shiiitttt. 

Entah apa yang menyebabkan kuda tunggangannya tiba-tiba mengamuk, yang jelas Arya tidak mampu mengendalikan kudanya. 

Memang tidak mudah mengendalikan kuda yang tengah mengamuk. Apalagi jika tidak diketahui penyebabnya apa, Arya Wisesa sudah mencoba menenangkan dengan caranya.

Akan tapi malang tak dapat lagi dihindarinya, bukannya menjadi tenang malah justru semakin menjadi-jadi. Dan terjadilah yang telah terjadi.

Jiwa Arya Wisesa masih polos, mungkin karena karakternya yang baik hati, hingga dia tidak menyangka kalau ada orang yang sengaja menginginkan kematiannya.

Kepolosan inilah yang membuatnya tidak bisa membaca siapa orang yang berpura-pura baik dengannya, dan orang yang beneran baik. Padahal harusnya di jaman ini, butuh kemampuan untuk mengenali orang orang yang setia dan pengkhianat.

Dari sejarah yang kubaca, di era kerajaan justru sering terjadi perebutan kekuasaan. Bahkan saling bunuh antar anggota keluarga sendiri, sering terjadi.

Artinya karakter polos Arya Wisesa tidak semestinya dia miliki. Apalagi dia adalah pewaris tahta ayahandanya.

Sepertinya inilah PR terbesarku sekarang. Aku harus segera menemukan siapa orang yang berniat jahat mencelakai Arya Wisesa.

Karena jika ada yang berniat jahat pada tubuh Arya Wisesa sekarang, sama artinya dia menjadikanku sebagai targetnya. Karena sekarang akulah Arya Wisesa itu.

Duh ... kenapa aku harus terjebak di raga ini?

Baiklah, aku harus bisa membongkar konspirasi jahat ini, harus menguak tabir rahasia penjahat yang menginginkan nyawaku. Sebelum semua terlambat.

Aku menduga peristiwa jatuhnya Arya Wisesa dari kuda dan membuatnya tidak sadarkan diri selama 3hari bukanlah sebuah kebetulan, melainkan konspirasi jahat dari orang yang mengincar tahtanya.

Selama dua hari ini aku secara mengendap-endap keluar dari bilikku, saat waktu berlatih telah usai. Beralasan ingin istirahat dibilik dan tidak ingin diganggu, aku mengunci bilikku dari dalam, kemudian keluar dengan cara tidak biasa. Dengan menyamar. Yap ... aku memutuskan untuk menyamar supaya mengetahui jati diri seorang Arya Wisesa.

Aku tentunya sangat ahli dalam bidang ini, karena profesiku sebagai mafia menurutku untuk bisa berperan menjadi apa saja dalam menjalankan aksiku.

Aku adalah Panji, tangan kanan Bos mafia hitam. Sindikat kami menjadi incaran polisi selama ini, jadilah kami harus pandai main kucing-kucingan dengan aparat.

Aku sangat mahir mengelabuhi dan lepas dari pengawasan intel selama ini. Jadi jangan meragukan kemampuanku, ini adalah salah satu keahlianku. 

Hari ini ketiga kalinya aku melakukan penyamaran.

Kini aku sudah tiba disebuah kedai makan  yang cukup ramai. Aku sengaja memilih tempat yang berada dipojokan supaya leluasa untuk mengawasi dan mencuri dengar tanpa menimbulkan kecurigaan orang-orang di sekitarku.

Lumayan juga terjebak dalam tubuh seorang Arya Wisesa, meski dia terlalu lemah, tapi soal fasilitas hidup dia memilikinya. Tidak usah khawatir dengan stok duit, karena dibiliknya tersimpan banyak kepeng.

Bekal dari orang tuanya yang seorang Akuwu membuat dia tidak pernah kehabisan stok kepeng. Sehingga aku bisa leluasa dalam penyamaran ini tanpa berfikir darimana mendapatkan uang untuk biaya membeli pakaian pendekar dan segala sesuatunya. 

"Kisanak, mau pesan apa?" pelayan kedai mendatangiku dan menanyakan pesananku sambil menyunggingkan senyuman. 

Aku memesan ayam panggang dan secangkir teh panas. Menu yang tidak berbeda jauh dengan menu di jaman modern. Hanya beda penyebutan dan tampilan saja yang terkesan kuno, tapi jika itu soal rasa, sama dengan ayam bakar lengkap dengan lalapan dan sambelnya.

Aku memasang telinga dan mata baik-baik. Kupastikan tidak ada satupun yang luput dari pengawasanku.

Nama Arya Wisesa rupanya sedang naik daun, dia adalah bintang yang bersinar cemerlang di sini. Hampir setiap orang yang singgah di kedai ini selalu membicarakannya. Baguslah. Sedikit memberi kemudahan untukku dalam mencari informasi. 

"Kabarnya putra Akuwu Sura Wijaya sudah siuman, tapi kabar yang kudengar dia sekarang hilang ingatan," tukas seorang pemuda yang berada di meja sebelah kananku.

Di meja itu ada tiga orang seusiaku sedang memperbincangkan Arya. 

"Apa salahnya Raden Arya Wisesa? Kenapa ada yang menginginkan dia celaka?" tanya pemuda di sebelahnya. 

"Maksudmu kejadian itu bukan kecelakaan, tapi ada yang menginginkan kematian Raden Arya Wisesa?" tanya yang satunya lagi. 

Wah, aku merasakan euforia. Beruntung sekali nasibku terjebak di tubuh orang yang lumayan tersohor di jaman ini. Sehingga aku sangat mudah mendapatkan informasi. Sudah segampang mendapatkan informasi dari tayangan infoteinment para artis saja.

"Kamu benar-benar bintang yang cemerlang, Arya Wisesa," gumamku lirih.

"Menurutmu apa pelakunya saudara tirinya itu?" sambil celingak celinguk kanan kiri salah satu dari mereka bertanya pada temannya. 

"Hus, sudahlah bukan urusan kita,  jangan sampai kita meregang nyawa gara-gara ikut arus perebutan tahta Akuwu Sura Wijaya," gertak salah satu dari mereka. Hingga akhirnya mereka bertiga menghabiskan minuman masing-masing dalam diam. 

Oke baiklah satu keyword lagi kutemukan. Saudara tiri jahat. Siapa namanya, ya?baiklah nanti aku cari tau. 

***

Terdengar suara ketukan pintu. 

"Nak Mas Arya Wisesa, apakah masih terjaga?" suara Mpu Gandiswara sedikit berbisik terdengar di luar bilikku. 

"Iya, Guru," jawabku seraya membuka pintu. Barangkali beliau membawa berita penting yang akan disampaikan untukku. 

Beliau melangkah masuk kedalam bilikku, begitu aku mempersilahkan. Kemudian duduk di dipan kayu bersisihan denganku. 

"Nak Mas Arya, bagaimana apa sudah ada perubahan dengan ingatanmu?" tanya Mpu Gandiswara. Matanya yang setajam mata elang menelisik sampai kedasar hatiku.

"Sepertinya tidak bisa langsung sempurna seperti sediakala, Guru. Tapi ada beberapa hal yang sudah kutemukan sepotong-sepotong seperti mata puzzle," gumamku.

Bahkan dengan Guruku sendiri aku tidak berani berkata jujur. Karena bagaimanapun aku harus sangat berhati-hati dengan siapapun di jaman ini. 

Setidaknya aku sudah pernah membaca kisah Tunggul Ametung yang mati dibunuh oleh pengawalnya sendiri. Ken Arok kemudian menguasai wilayahnya, bahkan jandanya yang sedang hamil juga diperistri oleh si pembunuh.

Kisah yang sangat sadis.

Jaman ini belum ada pejuang HAM sepeeti di jamanku. Tidak ada orang yang berani berteriak hak asasi manusia, karena semua kalah dengan titah Raja. Ketika Raja telah bertitah maka itu artinya menjadi hukum bagi seluruh rakyatnya. Jika rajanya kejam dan sewenang-wenang maka yang lemah akan terlindas. Sangat kejam bukan. 

"Berita tentang diri Nak Mas sudah sampai kepada ayahandamu. Besok pagi Akuwu akan menjemputmu pulang," ujar Mpu Gandiswara sedikit tidak senang. 

"Jujur, sebenarnya dalam keadaan seperti ini, Nak Mas lebih aman bila ada disini. Setidaknya dibawah pengawasanku, tidak ada yang berani secara terang-terangan menyelakaimu," lanjutnya kembali.

Mpu Gandiswara menghela nafas panjang dan menghembuskannya perlahan.

"Tapi jika Ayahandamu menghendaki Nak Mas kembali, Kau harus berhati-hati. Belajarlah dari kejadian kemarin, yang hampir merenggut nyawamu. Jangan percaya siapapun, bahkan bayanganmu sendiri bisa pergi meninggalkanmu saat gulita," Kembali lelaki tua didepanku ini menghela nafas berat.

Kemudian dia beranjak menuju jendela yang terbuka. Menatap rembulan yang menggantung sendirian dilangit malam. 

Aku mencoba berfikir mendalam. Mencoba memahami maksud dari perkataan lelaki tua ini.

Apakah pria didepanku ini tulus mengkhawatirkanku?

Seberapa berbahaya keadaan didalam rumahku sendiri, hingga Mpu Gandiswara tampak sangat mengkhawatirkan keselamatanku.

Intrik sebesar apa dibalik kemegahan Dalem Akuwu Sura Wijaya itu. Sungguh mengenali musuh dalam selimut tidaklah mudah. Aku harus sangat berhati-hati. 

"Jika memungkinkan, aku akan meminta pada Akuwu Sura Wijaya untuk menunda kepulanganmu satu purnama lagi, setidaknya kau ada waktu untuk berlatih lebih keras sebagai bekal untuk melindungi dirimu sendiri, Nak Mas,"  lanjutnya lagi.

"Baik, Guru. Besok aku akan minta ijin kepada Romo untuk menunda kepulanganku satu purnama lagi," Jawabku.

Mungkin memang benar aku harus lebih banyak berlatih dulu di sini. Sebelum benar-benar harus berhadapan muka dengan musuhku yang belum kuketahui setingkat apa ilmu Kanuragan yang dimilikinya.

Aku tidak boleh gegabah, memang benar diriku yang asli mahir beladiri dan mahir bermain senjata. Tapi itu beladiri dan senjata jaman modern. Berbagai jenis senjata api aku bisa menggunakannya.

Tapi di jaman ini hanya ada senjata sejenis pedang atau panah yang membutuhkan keterampilan khusus yang harus diasah.

Sebaiknya memang aku harus membiasakan diri melatih dulu hingga benar-benar terampil menggunakan senjata-senjata itu.

Tunggulah, aku akan menjadi Arya Wisesa yang berbeda dengan sebelumnya. Akan kubuat semua mata terbelalak melihat perubahanku. Terutama mata musuh-musuhku.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ovie Maria
aku terpikat dengan cerita ini. duh.. ......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status