Satuhal yang patut disyukuri dari kesialanku, ketika jiwaku terjebak dalam raga asing di jaman antah berantah ini, aku masih membawa serta kemahiranku beladiri dan bermain senjata. Ini adalah kehendak Tuhan yang sangat luar biasa.
Pasalnya, ini merupakan kenyataan yang sangat bertolak belakang dengan Arya Wisesa yang asli.
Arya Wisesa adalah pemuda pecandu syair, pujangga picisan yang tidak mahir bermain olah kanuragan. Itulah kenapa Ayahandanya menginginkan dia belajar olah kanuragan di Padhepokan milik Mpu Gandiswara.
Usai berhasil melatih satu jurus baru, biasanya Mpu Gandiswara akan melepas murid-muridnya untuk berburu dihutan. Hal ini dia lakukan untuk melatih kemahiran murid-muridnya.
Tapi siapa sangka justru Itulah awal dari kisah tragis Arya Wisesa, dia terjatuh dari kuda yang hampir merenggut nyawanya. Dan tragisnya lagi, aku harus terlibat terjebak dalam tubuhnya.
Oh shiiitttt.
Entah apa yang menyebabkan kuda tunggangannya tiba-tiba mengamuk, yang jelas Arya tidak mampu mengendalikan kudanya.
Memang tidak mudah mengendalikan kuda yang tengah mengamuk. Apalagi jika tidak diketahui penyebabnya apa, Arya Wisesa sudah mencoba menenangkan dengan caranya.
Akan tapi malang tak dapat lagi dihindarinya, bukannya menjadi tenang malah justru semakin menjadi-jadi. Dan terjadilah yang telah terjadi.
Jiwa Arya Wisesa masih polos, mungkin karena karakternya yang baik hati, hingga dia tidak menyangka kalau ada orang yang sengaja menginginkan kematiannya.
Kepolosan inilah yang membuatnya tidak bisa membaca siapa orang yang berpura-pura baik dengannya, dan orang yang beneran baik. Padahal harusnya di jaman ini, butuh kemampuan untuk mengenali orang orang yang setia dan pengkhianat.
Dari sejarah yang kubaca, di era kerajaan justru sering terjadi perebutan kekuasaan. Bahkan saling bunuh antar anggota keluarga sendiri, sering terjadi.
Artinya karakter polos Arya Wisesa tidak semestinya dia miliki. Apalagi dia adalah pewaris tahta ayahandanya.
Sepertinya inilah PR terbesarku sekarang. Aku harus segera menemukan siapa orang yang berniat jahat mencelakai Arya Wisesa.
Karena jika ada yang berniat jahat pada tubuh Arya Wisesa sekarang, sama artinya dia menjadikanku sebagai targetnya. Karena sekarang akulah Arya Wisesa itu.
Duh ... kenapa aku harus terjebak di raga ini?
Baiklah, aku harus bisa membongkar konspirasi jahat ini, harus menguak tabir rahasia penjahat yang menginginkan nyawaku. Sebelum semua terlambat.
Aku menduga peristiwa jatuhnya Arya Wisesa dari kuda dan membuatnya tidak sadarkan diri selama 3hari bukanlah sebuah kebetulan, melainkan konspirasi jahat dari orang yang mengincar tahtanya.
Selama dua hari ini aku secara mengendap-endap keluar dari bilikku, saat waktu berlatih telah usai. Beralasan ingin istirahat dibilik dan tidak ingin diganggu, aku mengunci bilikku dari dalam, kemudian keluar dengan cara tidak biasa. Dengan menyamar. Yap ... aku memutuskan untuk menyamar supaya mengetahui jati diri seorang Arya Wisesa.
Aku tentunya sangat ahli dalam bidang ini, karena profesiku sebagai mafia menurutku untuk bisa berperan menjadi apa saja dalam menjalankan aksiku.
Aku adalah Panji, tangan kanan Bos mafia hitam. Sindikat kami menjadi incaran polisi selama ini, jadilah kami harus pandai main kucing-kucingan dengan aparat.
Aku sangat mahir mengelabuhi dan lepas dari pengawasan intel selama ini. Jadi jangan meragukan kemampuanku, ini adalah salah satu keahlianku.
Hari ini ketiga kalinya aku melakukan penyamaran.
Kini aku sudah tiba disebuah kedai makan yang cukup ramai. Aku sengaja memilih tempat yang berada dipojokan supaya leluasa untuk mengawasi dan mencuri dengar tanpa menimbulkan kecurigaan orang-orang di sekitarku.
Lumayan juga terjebak dalam tubuh seorang Arya Wisesa, meski dia terlalu lemah, tapi soal fasilitas hidup dia memilikinya. Tidak usah khawatir dengan stok duit, karena dibiliknya tersimpan banyak kepeng.
Bekal dari orang tuanya yang seorang Akuwu membuat dia tidak pernah kehabisan stok kepeng. Sehingga aku bisa leluasa dalam penyamaran ini tanpa berfikir darimana mendapatkan uang untuk biaya membeli pakaian pendekar dan segala sesuatunya.
"Kisanak, mau pesan apa?" pelayan kedai mendatangiku dan menanyakan pesananku sambil menyunggingkan senyuman.
Aku memesan ayam panggang dan secangkir teh panas. Menu yang tidak berbeda jauh dengan menu di jaman modern. Hanya beda penyebutan dan tampilan saja yang terkesan kuno, tapi jika itu soal rasa, sama dengan ayam bakar lengkap dengan lalapan dan sambelnya.
Aku memasang telinga dan mata baik-baik. Kupastikan tidak ada satupun yang luput dari pengawasanku.
Nama Arya Wisesa rupanya sedang naik daun, dia adalah bintang yang bersinar cemerlang di sini. Hampir setiap orang yang singgah di kedai ini selalu membicarakannya. Baguslah. Sedikit memberi kemudahan untukku dalam mencari informasi.
"Kabarnya putra Akuwu Sura Wijaya sudah siuman, tapi kabar yang kudengar dia sekarang hilang ingatan," tukas seorang pemuda yang berada di meja sebelah kananku.
Di meja itu ada tiga orang seusiaku sedang memperbincangkan Arya.
"Apa salahnya Raden Arya Wisesa? Kenapa ada yang menginginkan dia celaka?" tanya pemuda di sebelahnya.
"Maksudmu kejadian itu bukan kecelakaan, tapi ada yang menginginkan kematian Raden Arya Wisesa?" tanya yang satunya lagi.
Wah, aku merasakan euforia. Beruntung sekali nasibku terjebak di tubuh orang yang lumayan tersohor di jaman ini. Sehingga aku sangat mudah mendapatkan informasi. Sudah segampang mendapatkan informasi dari tayangan infoteinment para artis saja.
"Kamu benar-benar bintang yang cemerlang, Arya Wisesa," gumamku lirih.
"Menurutmu apa pelakunya saudara tirinya itu?" sambil celingak celinguk kanan kiri salah satu dari mereka bertanya pada temannya.
"Hus, sudahlah bukan urusan kita, jangan sampai kita meregang nyawa gara-gara ikut arus perebutan tahta Akuwu Sura Wijaya," gertak salah satu dari mereka. Hingga akhirnya mereka bertiga menghabiskan minuman masing-masing dalam diam.
Oke baiklah satu keyword lagi kutemukan. Saudara tiri jahat. Siapa namanya, ya?baiklah nanti aku cari tau.
***
Terdengar suara ketukan pintu.
"Nak Mas Arya Wisesa, apakah masih terjaga?" suara Mpu Gandiswara sedikit berbisik terdengar di luar bilikku.
"Iya, Guru," jawabku seraya membuka pintu. Barangkali beliau membawa berita penting yang akan disampaikan untukku.
Beliau melangkah masuk kedalam bilikku, begitu aku mempersilahkan. Kemudian duduk di dipan kayu bersisihan denganku.
"Nak Mas Arya, bagaimana apa sudah ada perubahan dengan ingatanmu?" tanya Mpu Gandiswara. Matanya yang setajam mata elang menelisik sampai kedasar hatiku.
"Sepertinya tidak bisa langsung sempurna seperti sediakala, Guru. Tapi ada beberapa hal yang sudah kutemukan sepotong-sepotong seperti mata puzzle," gumamku.
Bahkan dengan Guruku sendiri aku tidak berani berkata jujur. Karena bagaimanapun aku harus sangat berhati-hati dengan siapapun di jaman ini.
Setidaknya aku sudah pernah membaca kisah Tunggul Ametung yang mati dibunuh oleh pengawalnya sendiri. Ken Arok kemudian menguasai wilayahnya, bahkan jandanya yang sedang hamil juga diperistri oleh si pembunuh.
Kisah yang sangat sadis.
Jaman ini belum ada pejuang HAM sepeeti di jamanku. Tidak ada orang yang berani berteriak hak asasi manusia, karena semua kalah dengan titah Raja. Ketika Raja telah bertitah maka itu artinya menjadi hukum bagi seluruh rakyatnya. Jika rajanya kejam dan sewenang-wenang maka yang lemah akan terlindas. Sangat kejam bukan.
"Berita tentang diri Nak Mas sudah sampai kepada ayahandamu. Besok pagi Akuwu akan menjemputmu pulang," ujar Mpu Gandiswara sedikit tidak senang.
"Jujur, sebenarnya dalam keadaan seperti ini, Nak Mas lebih aman bila ada disini. Setidaknya dibawah pengawasanku, tidak ada yang berani secara terang-terangan menyelakaimu," lanjutnya kembali.
Mpu Gandiswara menghela nafas panjang dan menghembuskannya perlahan.
"Tapi jika Ayahandamu menghendaki Nak Mas kembali, Kau harus berhati-hati. Belajarlah dari kejadian kemarin, yang hampir merenggut nyawamu. Jangan percaya siapapun, bahkan bayanganmu sendiri bisa pergi meninggalkanmu saat gulita," Kembali lelaki tua didepanku ini menghela nafas berat.
Kemudian dia beranjak menuju jendela yang terbuka. Menatap rembulan yang menggantung sendirian dilangit malam.
Aku mencoba berfikir mendalam. Mencoba memahami maksud dari perkataan lelaki tua ini.
Apakah pria didepanku ini tulus mengkhawatirkanku?
Seberapa berbahaya keadaan didalam rumahku sendiri, hingga Mpu Gandiswara tampak sangat mengkhawatirkan keselamatanku.
Intrik sebesar apa dibalik kemegahan Dalem Akuwu Sura Wijaya itu. Sungguh mengenali musuh dalam selimut tidaklah mudah. Aku harus sangat berhati-hati.
"Jika memungkinkan, aku akan meminta pada Akuwu Sura Wijaya untuk menunda kepulanganmu satu purnama lagi, setidaknya kau ada waktu untuk berlatih lebih keras sebagai bekal untuk melindungi dirimu sendiri, Nak Mas," lanjutnya lagi.
"Baik, Guru. Besok aku akan minta ijin kepada Romo untuk menunda kepulanganku satu purnama lagi," Jawabku.
Mungkin memang benar aku harus lebih banyak berlatih dulu di sini. Sebelum benar-benar harus berhadapan muka dengan musuhku yang belum kuketahui setingkat apa ilmu Kanuragan yang dimilikinya.
Aku tidak boleh gegabah, memang benar diriku yang asli mahir beladiri dan mahir bermain senjata. Tapi itu beladiri dan senjata jaman modern. Berbagai jenis senjata api aku bisa menggunakannya.
Tapi di jaman ini hanya ada senjata sejenis pedang atau panah yang membutuhkan keterampilan khusus yang harus diasah.
Sebaiknya memang aku harus membiasakan diri melatih dulu hingga benar-benar terampil menggunakan senjata-senjata itu.
Tunggulah, aku akan menjadi Arya Wisesa yang berbeda dengan sebelumnya. Akan kubuat semua mata terbelalak melihat perubahanku. Terutama mata musuh-musuhku.
Embun menetes dari daun bunga terompet yang ada diluar bilikku. Pagi ini udara di Gunung Wilis sangat dingin, bisa menggigil jika tidak terbiasa. Tak kuhiraukan dinginnya udara pagi yang menerpa tubuhku, dengan langkah tegap kulangkahkan kakiku keluar dari bilik. Baru kusadari, di halaman bilikku yang tidak terlalu luas, beraneka tanaman bunga tersusun rapi dan tampaknya begitu terawat. Apakah Arya Wisesa yang merawat tanaman ini? Amazing. Tiba-tiba aku terpesona dengan pribadi Arya Wisesa. "Dia pasti seorang pria berhati lembut," gumamku dalam hati. Aku masih terpesona dengan pribadi Arya Wisesa yang lembut, dalam asumsiku. Karena tidak mungkin seorang pria kasar bisa merawat tanaman dan menatanya begitu apik seperti ini. Tiba-tiba terdeng
Setelah romo kembali ke istana, aku tidak mau buang-buang waktu untuk berleha-leha. Kutepis sejenak rasa penasaran untuk mengulik jati diri seorang Arya Wisesa, karena aku hanya punya waktu satu purnama. Biarlah nanti saja aku menuntaskan rasa penasaranku itu. Setelah satu purnama aku harus kembali pulang ke istana. Hari demi hari kuhabiskan untuk berlatih, dengan didampingi Mpu Gandiswara, aku berusaha mati-matian, semua kulakukan demi keselamatanku. Kukira ini yang terpenting saat ini. Biarlah rasa penasaran itu akan kutuntaskan seiring waktu. Tak perlu menjadi fokus utama. Orang bijak bilang, dimana ada kemauan, disitu ada jalan. Dan pepatah itu benar adanya. Tak ada yang sulit, jika kita memiliki kemauan yang besar untuk belajar. Karena keinginanku sangat kuat untuk belajar, aku menjadi lebih mudah memahami jurus-jurus yang kata Guru dulu begitu sulit difahami oleh Arya Wisesa. Bel
Ketika menyadari bahwa ini akan menjadi saat terakhir keberadaanku di padhepokan, dada ini tiba-tiba terasa nyeri. Ada rasa enggan untuk meninggalkan tempat ini, entah kenapa aku merasa nyaman, seperti berada dirumah sendiri.Mpu Gandiswara yang memiliki jiwa ketulusan sebagai seorang guru, Rangga Suta dan Nimas Ayu yang sudah seperti saudara sendiri begitu hangat menerima keberadaanku.Di sini aku merasakan memiliki keluarga, sesuatu yang tidak pernah aku miliki di dunia asalku. Iya, Panji hidup terlunta-lunta sejak kecil, menggelandang dan mengemis belas kasihan orang hanya sekedar untuk mengganjal perut dari rasa lapar."Duh, berat sekali meninggalkan tempat ini?" aku mendengus kasar.Tapi apa mau dikata, aku tidak punya pilihan lain, karena Romo Sura Wijaya tetap menyuruhku kembali ke istana. Aku tidak mungkin bisa menolak.Apalagi Romo juga mengabarkan bahwa ibunda Galuh Wangi sudah tidak sabar menunggu kepulanganku. Mungkin
emoga ada petunjuk yang kutemukan. Ketika aku mau naik diatas kuda sepintas aku lihat ada kalung tergeletak di atas tanah bekas pertempuran tadi. Aku beringsut mengambilnya, diikuti tatapan mata Nimas Ayu Larasati dan Rangga Suta penuh tanya."Ada apa, Raden?" tanya mereka serentak.❤️❤️❤️Kuperlihatkan pada mereka, sebuah kalung kalau menurut pendapat pribadiku, benda yang hanya dimiliki kaum bangsawan di jaman ini. Rangga Suta dan Nimas Ayu saling pandang."Aku akan menyimpannya, mungkin ada petunjuk tentang mereka," ujarku sembari memasukkan kalung itu di balik bajuku, mereka mengangguk paham.Kami bersiap melanjutkan perjalanan untuk keluar dari hutan. Suara kinjeng tangis yang tadi sempat terkalahkan oleh suara riuhnya pedang beradu pedang, kini mulai nyaring terdengar. Seolah membuktikan bahwa dialah pemilik suara hutan yang sesungguhnya.Suasana hutan kembali diliputi kesunyian, hanya dengungan kinjeng tangis yang terdengar meny
Setelah menempuh perjalanan dua hari, dengan berbagai halangan dan rintangan yang menghadang. (Udah kayak perjalanan kebarat mencari kitab suci aja. Hehehe)Tepat ketika matahari hampir tenggelam diufuk barat, kaki-kaki kuda kami telah menapaki jalan menuju rumahku, akhirnya sampailah kami bertiga di gerbang masuk kota raja, Istana Pakuwon Sang Akuwu Sura Wijaya.Di sepanjang jalan yang kami lalui, disisi kiri dan kanan jalan, berdiri tegak banyak umbul-umbul serta obor yang disusun sedemikian rupa, sehingga suasana senja yang temaram, tampak megah layaknya menyambut kedatangan tamu agung.Benar, tamu agung itu adalah aku, Arya Wisesa, calon pengganti Romoku kelak di istana ini. Sudah selayaknya jika kedatanganku di sambut sedemikian rupa. Hal ini membuatku sedikit tersanjung. Sangat berkebalikan dengan sosok Panji selama ini. Hiks...'Hey, aku hanyalah seorang mafia, hanya seorang bandit, siapa yang sudi memberi sambutan semegah ini pada seor
POV Nimas Ayu LarasatiBegitu berhasil keluar dari keroyokan Penjahat didalam hutan, kami melanjutkan perjalanan kembali. Berharap menemukan perkampungan untuk mencari kedai makan dan tempat beristirahat. Rasanya tubuh ini sudah sangat penat. Tapi siapa nyana, justru di kampung itu kami kembali berjumpa dengan para begundal menjijikkan, sok main perintah, sok berkuasa, dan sok kuat.Huh ... menjijikkan tidak tau malu, padahal hanya dengan beberapa jurus saja aku bisa melumpuhkan mereka semua yang berjumlah belasan orang. Tidak sesuai dengan mulut besarnya yang seolah-olah sanggup menggenggam dunia.Ini pertama kali aku turun gunung dari padhepokan, ibarat menguji kemampuan dan mendedikasikan ilmu yang kumiliki untuk membela yang lemah seperti nasihat Romo. Karena ini adalah pengalaman pertama, maka tentunya Romo tidak mungkin melepasku keluar sendirian untuk mengantar Raden Arya Wisesa. Romo memerintahkan Kangmasku yang paling gagah sedunia itu bersamaku m
POV Nimas Ayu Larasati"Benarkah itu, Kanda?" tanya Dyah Ayu Nareswari yang tiba-tiba sudah dibelakang kami berdua.Tatap matanya menyelidik pada kami berdua, aku hanya bisa menundukkan kepala. Rasanya tidak sanggup melihat tatapan mata yang terlihat begitu terluka milik gadis itu, sungguh aku sangat tidak tega melihatnya. Bagaimanapun aku juga seorang wanita, sangat tahu bagaimana rasanya merasa diabaikan. Aku bahkan tadi malam begitu terluka ketika menyaksikan dan mendengar kabar tentang rencana pernikahan mereka.Sungguh, Aku sangat tahu apa yang dia rasakan. Kecewa, merasa tidak dianggap atau bahkan merasa dikhianati, oleh calon suaminya. Atau justru menuduhku menggoda calon suaminya?"Dyah Ayu, ini tidak seperti yang kau bayangkan," terangku mencoba memperbaiki situasi."Aku tidak bertanya padamu, Nimas," jawabnya dingin.Baiklah, sebaiknya aku akan menyingkir dari mereka sekarang, supaya tidak memperumit keadaan. Aku
POV Arya Wisesa"Benarkah itu, Kanda?" terdengar suara Dyah Ayu Nareswari sudah berada dibelakang kami.Aku tersentak mendengarnya, bagaimanapun ini adalah situasi yang sulit bagiku. Apapun yang kulakukan pasti akan ada hati yang terluka diantara dua gadis ini.Semenjak terjebak di tubuh Arya Wisesa, entah kenapa hatiku jadi selembut ini. Bahkan melukai perasaan seorang gadis aku tidak bisa, padahal biasanya aku mana pernah seperti ini. Aku mendesah panjang.Bahkan ketika gadis yang kucintai melangkah menjauh dariku, aku tak tahu harus berbuat apa. Entah terbuat dari apa hati gadis ini, meski aku melihatnya begitu terluka, Nimas mencoba menjelaskan pada Dyah Ayu, tapi sepertinya dia sudah terlanjur begitu marah pada gadisku.Aku tahu keduanya merasa terluka olehku, di satu sisi Nimas tersakiti dengan perjodohanku dengan putri pamanku, di sisi lain Dyah Ayu terluka mendengar kenyataan bahwa aku mencintai gadis lain.Aku hanya mamp