Share

Part 3. Bersiap Siaga 1

Embun menetes dari daun bunga terompet yang ada diluar bilikku. Pagi ini udara di Gunung Wilis sangat dingin, bisa menggigil jika tidak terbiasa.

 

Tak kuhiraukan dinginnya udara pagi yang menerpa tubuhku, dengan langkah tegap kulangkahkan kakiku keluar dari bilik.

 

Baru kusadari, di halaman bilikku yang tidak terlalu luas, beraneka tanaman bunga tersusun rapi dan tampaknya begitu terawat.

 

Apakah Arya Wisesa yang merawat tanaman ini? 

 

Amazing. Tiba-tiba aku terpesona dengan pribadi Arya Wisesa.

"Dia pasti seorang pria berhati lembut," gumamku dalam hati.

 

Aku masih terpesona dengan pribadi Arya Wisesa yang lembut, dalam asumsiku. Karena tidak mungkin seorang pria kasar bisa merawat tanaman dan menatanya begitu apik seperti ini.

 

Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki.

 

Dari bagian belakang bilik datang langkah kaki mendekat. Sebenarnya aku ingin menoleh tapi biarlah aku pura-pura tidak dengar saja. 

 

Tak berapa lama, langkah kaki itu berhenti tepat dibelakangku. 

"Maaf Raden, mohon ijin saya mau menyiram tanaman yang disini," sontak suara ini membuatku menoleh.

 

Seorang gadis belia membawa air dalam tempayan dari gerabah yang entah namanya apa aku tak tahu. Aku tersenyum dan menganggukkan kepala. 

 

"Apakah kau yang tiap hari merawat tanaman ini?" tanyaku padanya. Tampak dia mengernyitkan keningnya tanda keheranan. kemudian tersenyum tipis. 

 

"Apakah belum bisa mengingat ini, Raden?  dia balik bertanya.

"Maafkan aku, mungkin suatu saat aku akan ingat. Tapi hari ini belum bisa. Maaf jika membuatmu tidak senang," jawabku sendu. 

 

"Tidak mengapa, Raden. Aku akan menunggumu kembali mengingatku." jawabnya bersedih. 

 

Hey tunggu!

Apakah Arya dan gadis ini berpacaran?

Maksudku, apakah mereka sepasang kekasih?

 

Dijaman ini mereka tidak menggunakan istilah pacaran. Aku lupa sekarang aku hidup di jaman Majapahit.

 

Tampaknya gadis ini menyimpan rasa pada Arya Wisesa. 

Tapi siapakah gadis ini?

Apa sebaiknya aku mengorek informasi darinya juga, ya?

 

"Maafkan aku, apakah kau juga belajar di padhepokan ini?" tanyaku pelan.

Gadis ini berhenti menuangkan airnya di tanaman mawar yang pagi ini merekah berwarna warni sangat indah. 

 

Dia menoleh ke arahku. Ternyata dia sangat cantik. Eh ....

 

"Hmm, bisa dibilang begitu, aku belajar juga pada Romoku Mpu Gandiswara," jawabnya sambil tersenyum menampakkan lesung pipi di kedua pipinya yang putih.

 

Separuh rambutnya bagian atas disanggul dengan tusuk konde emas, sedangkan bagian bawah nya dibiarkan tergerai panjang dibawah bahu. Sangat manis. 

 

Oh, jadi gadis ini putrinya guru. Aku mengangguk mengerti. Kutanya beberapa hal sembari menungguinya menyirami bunga.

 

Dari obrolan kami, aku tahu namanya Nimas Ayu Larasati, aku juga tahu bahwa antara Arya Wisesa dan dia terjalin kedekatan. Memang belum bisa dikatakan sepasang kekasih, tapi saling menyukai diam-diam. 

 

Mungkin juga karena di jaman ini adat ketimuran masih kuat melekat, norma kesopanan dan kesusilaan masih dijunjung tinggi. Sehingga tidak elok jika menjalin hubungan diluar ikatan yang syah.

 

Aku mendesah panjang. Hal ini sangat bertolak belakang dengan kehidupan di jamanku, dimana hamil diluar nikah bahkan sudah dianggap biasa.

 

Mungkin juga ini salah satu budaya dari penjajah yang berabad-abad menjajah negeri ini yang masih tertinggal meskipun penjajahnya sudah pergi. 

 

Ketika Nimas Ayu sudah kembali karena sudah selesai mengerjakan tugasnya menyiram bunga, aku mulai berlatih, meskipun mungkin masih terlalu pagi.

 

Selama satu pekan ini aku banyak belajar jurus baru yang belum aku tahu di beladiri kontemporerku. Ya sih, tentunya beda jurus dan beda teknik, karena beda guru.

 

Ada beberapa keanehan yang kurasakan ketika memulai gerakan-gerakan ini. Terasa ringan dan halus tapi menyimpan tenaga yang sangat kuat ketika menyerang. Aku merasa seperti bukan diriku yang biasanya. Aku sangat menikmati setiap jurus yang kulatih, terasa bersatu dengan jiwaku.

 

Aku belum pernah merasa setenang ini ketika melatih keahlian beladiri. Apakah Arya Wisesa sebenarnya memiliki kemampuan linuwih yang tidak diketahui orang?

 

Aku hanya mengikuti rasa dan seolah bergerak dengan sendirinya, tanpa kusadari. 

 

Meskipun pagi masih menyisakan hawa dingin, tapi keringat telah membajiri tubuhku. Nafas yang tersengal-sengal akhirnya membuatku berhenti.

 

"Akhirnya Nak Mas berhasil menyatukan setiap gerakan dengan hati. Bukan semata menggerakkan tubuh dan mengingat semua jurus yang sudah dihafal. Tapi sudah menyatukan Olah raga dengan olah rasa. Ini sangat mengejutkan," tiba-tiba Mpu Gandiswara sudah didepanku. Secepat itu gerakannya sampai tidak tertangkap mataku. 

 

"Saya masih harus banyak berlatih, Guru. Terimakasih atas bimbingannya selama di sini," senyumnya mengembang.

 

Tampaknya beliau puas dengan apa yang dilihatnya. Mpu Gandiswara kemudian mengangguk-angguk dan melenggang pergi menuju ke pendopo utama di padhepokan ini. 

 

 

***

 

 

Seorang lelaki separuh baya turun dari kereta kuda. Aku tebak inilah sosok Akuwu Sura Wijaya, Ayahandaku. Ya, inilah romoku sekarang. Melihatku berdiri tidak jauh dari kereta kudanya berhenti, romo menghampiriku sambil tersenyum hangat.

 

"Kau baik-baik saja, Arya?" ujarnya sembari memelukku hangat. 

"Seperti yang romo lihat, ananda baik-baik saja," jawabku membalas pelukannya.

 

Bagaimanapun sekarang aku adalah Arya Wisesa. Sehingga mau tidak mau aku harus memerankannya sebaik mungkin. 

 

"Mungkin saat ini sulit bagimu memahami banyak hal, karena ingatanmu belum pulih benar. Romo berniat akan memboyongmu kembali kedalem Pakuwon," sambil mengajakku berjalan beriringan menuju pendopo utama romo kembali bicara.

 

Mpu Gandiswara menyambut didepan pendopo dengan semringah, di sampingnya berdiri dengan tegap Kangmas Rangga Suta, Putra sulung dari guruku. Beliau mempersilahkan kami masuk. 

 

"Aku mengkhawatirkan keadaan putraku, Mpu Gandiswara. Aku akan mencarikan tabib terbaik untuknya diistana nanti, jadi aku akan memboyongnya kembali," ujar romo setelah bicara basa basi dengan Mpu Gandiswara.

 

"Ampun Akuwu, jika diijinkan selama satu purnama ini biarlah Nak Mas Arya Wisesa tetap disini. Semoga saya bisa sedikit membantu mengembalikan ingatannya hingga pulih," kulihat romo tampak berpikir.

 

Ada rasa ragu yang secara samar bisa kubaca dari wajahnya. 

 

"Akan lebih aman jika Nak Mas Arya Wisesa tetap berada dalam pengawasan saya, bukan tidak mungkin diistana keadaannya lebih rumit daripada disini," Kanjeng romo menghela nafas, tampaknya beliau membenarkan ucapan Mpu Gandiswara, beliau menatap mataku. 

 

"Bagaimana menurutmu, Arya?" tanyanya padaku meminta pendapat.

"Sepertinya Arya setuju dengan pendapat Guru. Sebaiknya satu purnama ini saya disini dulu, Romo," jawabku sambil tersenyum tipis. 

 

"Baiklah, aku akan mengirim tabib terbaik istana kesini untuk mendampingi Gurumu. Oiya Arya, adikmu Wiraguna mengirimkan salam untukmu," ujar Romo sambil menepuk bahuku. 

 

Apakah Wiraguna ini yang kemarin disebut oleh pemuda yang dikedai makan beberapa hari yang lalu itu, sebagai adik tiriku yang jahat itu? 

 

"Apakah hanya Dimas Wiraguna saja yang mengirim salam, Romo? Adikku yang lain bagaimana?" tanyaku spontan.

 

Karena biasanya seorang pejabat di jaman ini punya banyak anak. Tapi sepertinya pertanyaanku salah, karena Romoku menatapku penuh tanya. Kemudian terkekeh pelan. 

 

"Separah ini rupanya ingatanmu, Arya. Bahkan kau lupa bahwa Wiraguna itu adikmu satu-satunya. Hhmm, ataukah yang kau maksud putri paman tumenggungmu itu Dyah Ayu Nareswari?" jawab Romo yang kekehannya semakin terdengar jelas. 

 

"Tak terasa sudah 20 purnama kamu tinggal dipadhepokan ini. Tentunya adik sepupumu sekaligus calon istrimu itu juga sangat bersedih mendengar berita keadaanmu sekarang. Setelah kau pulih, kau bisa datang melamar ke istananya. Aku akan mengabari kangmas tumenggung segera," ujar Romoku bahagia. 

 

Kenapa jadi rumit begini, bukankah Arya Wisesa menyukai Nimas Ayu Larasati?

Kenapa ada nama wanita lain yang ternyata menjadi calon istrimu Arya Wisesa?

 

'Huh, kau sungguh pujangga picisan penakhluk wanita, Arya,' umpatku dalam hati.

 

Siapa tadi namanya Dyah Ayu Nareswari, ya?

 

Baiklah, kita lihat saja perkembangannya seperti apa. Kuharap dijaman ini tidak ada cerita tentang pelakor-pelakoran. Karena dijaman ini bahkan poligami itu seperti sudah biasa. Apalagi jika itu seorang pejabat, benar begitu kan.

 

Ternyata tarta tahta dan wanita selalu menjadi ujian lelaki dari jaman ke jaman.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ovie Maria
cerita keren. lanjutkan kak!...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status