Share

Bab 2

Tubuh Arsen terseret derasnya arus sungai hingga ke hilir. Ia tidak tahu sudah berapa mil tubuhnya terseret. Yang jelas selama tubuhnya terseret arus sungai Arsen berusaha keras untuk menjaga kesadarannya.

Dengan sisa-sisa energi Arsen merangkak naik ke daratan. Sepanjang tanah ia merangkak masih meninggalkan bekas ceceran darah. Tubuh Arsen gemetar karena kedinginan.

"Uhuk! Uhuk!" Arsen terbatuk. Setelahnya ia ambruk ke tanah. Nafasnya tersengal-sengal. Arsen merasakan kepalanya begitu pusing karena banyak kehilangan darah. Luka di sekujur tubuhnya juga terasa perih. Terutama luka bekas tembakan di dadanya.

"Aku sekarat." Arsen melihat ke langit. Matahari sudah jatuh ke barat. Semburat jingganya memenuhi garis horizon.

Tangan Elsen bergerak mengambil sesuatu dari saku jasnya.

"Infinity weapon system," Arsen bergumam pelan. Ia memandang benda liquid berwarna biru yang sedikit pekat daripada air itu. Benda yang menjadi incaran kelompok mafia ganas seperti Mata Iblis.

Infinity Weapon System atau sistem senjata tanpa batas yang selanjutnya disingkat dengan dengan IWS adalah kumpulan robot super mikro yang ukurannya hanya sekecil virus atau bakteri. Satu buah IWS tidak mungkin bisa dilihat dengan mata telanjang karena saking kecilnya.

Lalu apa istimewanya benda itu hingga kelompok mafia Mata Iblis menginginkan benda itu?

IWS adalah teknologi terbaru dari Daneswara Technologi Company. Perusahaan keluarga Arsen yang bergerak dibidang teknologi. IWS bisa diinjeksikan ke dalam tubuh manusia dan mampu mengubah penggunanya menjadi seseorang dengan kemampuan transformasi senjata tak terbatas pada tubuhnya. Tentu saja barang seperti ini menjadi incaran para mafia. Pasalnya IWS bernilai fantastis ketimbang berlian di pasaran gelap. Siapa yang tak tergiur dengan benda seperti itu?

"Jika aku mati maka orang lain seperti Mata Iblis tidak boleh mendapatkan benda ini. Dunia bisa mengalami kiamat saat IWS diinjeksikan ke tubuh orang yang tidak tepat."

"Tapi... Bagaimana caranya aku melindungi benda ini sementara tubuhku benar-benar sudah tidak kuat. Aaakkkhhhhh!!!" Arsen langsung memekik kesakitan saat hendak bangkit. Telapak tangannya kembali dipenuhi oleh darah ketika ia menekam dadanya.

Arsen mengitarkan matanya ke sekeliling. Hilir sungai dipenuhi oleh vegetasi rimbun.

"Aku harus menyembunyikan IWS sebelum aku benar-benar mati."

Arsen menyeret tubuhnya menuju batu besar di tepi sungai. Ia sekarang sudah tidak mampu untuk sekedar merangkak. Tubuhnya benar-benar sekarat.

"Aaakkkhhhhh! Sedikit lagi Arsen. Jangan menyerah." Akhirnya setelah usaha yang sangat keras Arsen berhasil mencapai batu besar itu. Arsen melihat ada lubang di permukaan batu yang letaknya agak ke bawah.

Lubang itu bisa menjadi tempat yang sempurna untuk menyembunyikan IWS. Tanpa ragu Arsen memasukkan IWS ke dalam lubang di batu tersebut. Kemudian menutupi lubangnya dengan batu lain yang ukurannya pas. IWS telah tersembunyi sempurna.

Sekarang Arsen merasa sedikit lega. Sehendaknya jika ia mati orang lain akan kesulitan menemukan IWS.

"Huuffttttt... Akhirnya," Arsen terkapar lagi di tanah. Ia sudah ingin benar-benar menyerah ketika sudut matanya tak sengaja menangkap sosok bocah tersangkut di bebatuan.

"Seseorang, apakah mati?" Arsen sekali lagi memaksakan dirinya untuk bangkit. Ia masuk ke dalam sungai dengan tubuh sempoyongan. Sisa-sisa tenaganya ia gunakan untuk menarik tubuh bocah itu ke tepi sungai.

Sesampainya di daratan Arsen mengamati dengan detail tubuh bocah di hadapannya. Tubuhnya pucat dan dingin. Pada lehernya terdapat bekas cekikan yang membiru. Selain itu dahi dan lengannya terluka, seperti bekas terkena benda tajam.

"Kau sepertinya belum lama mati."

Arsen menekan perut bocah itu yang terlihat kembung. Seketika air berlomba-lomba keluar dari mulut dan hidungnya.

"Astaga! Kau mati karena tenggelam. Bukan karena cekikan. Artinya saat dibuang ke sungai mungkin kau masih hidup. Bocah yang malang."

Arsen hanya tertegun memandang jasad di depannya.

"Aaakkkhhhhh!!! Sial! Lukaku!" Elsen memekik lagi. Dadanya semakin nyeri. Ia hampir mencapai batas.

"Sepertinya tubuhmu masih bagus bocah. Kau tidak mengalami luka yang fatal. Aku tidak punya pilihan lain. Maaf, aku ijin menggunakan tubuhmu."

Arsen meraih benda lain di dalam saku jasnya. Kali ini sebuah benda kecil bulat dan pipih mirip sekali dengan cermin bedak padat.

"Demi IWS, demi perdamaian negara Erenda Raya aku harus melakukan hal ini."

Arsen menekan tombol yang terletak di tengah benda pipih itu. Seketika benda itu mengeluarkan cahaya terang yang amat menyilaukan mata. Saking silaunya Arsen sampai tak bisa melihat apapun. Ia hanya bisa memejamkan matanya rapat-rapat.

Cahaya itu membesar dengan cepat. Sekejap saja telah menelan tubuh Arsen dan Galaksi. Lalu yang Arsen rasakan selanjutnya adalah jiwanya serasa dibetot paksa dari tubuhnya. Arsen merasakan rasa sakit yang luar biasa.

"AAAKKKHHHHHHHHHH!!!" Hanya jeritan keras Arsen yang terdengar selanjutnya, menutup senja di pinggir sungai pada hari ini.

***

Galaksi meniti jalanan ramai lalu lalang orang yang sibuk. Di kanan dan kirinya berdiri rumah-rumah penduduk yang sederhana. Galaksi tampak celingukan kesana kemari, heran dengan aktivitas penduduk di pedesaan. Kalau diperhatikan lebih seksama Galaksi malah lebih mirip burung kuntul yang terpisah dari kawanannya.

Seorang gadis melihat punggung Galaksi dengan kening berkerut. Tingkah Galaksi yang aneh itu terlihat mencurigakan.

"Wooooeeeee... Galak!!!" Aurora memanggil keras. Tapi Galaksi tak merespon sama sekali. Jangan merespon. Menoneh pun tidak.

"Kenapa sih tuh bocah. Sok sibuk sendiri. Dipanggil aja sampe nggak denger. Samperin ah."

Aurora berlari-larian riang mendekati Galaksi.

"Woe Galak!"

Puukkk!!!

Aurora menepuk keras pundak Galaksi hingga membuat Galaksi hampir terjerembab. Untung jantung Galaksi tidak melompat dari tenggorokan karena saking kagetnya.

"Ngapa lo dipanggil diem aja?" Selidik Aurora.

"Manggil aku? Kapan?" Wajah Galaksi terlihat seperti bocah bloon.

Kening Aurora berkerut.

"Idih, bolot apa gimana lo. Orang gue manggil sampai tenggorokan serak. Lo noleh aja nggak."

Yah, bagaimana mau menoleh. Arsen sendiri sekarang bahkan tidak tahu nama bocah ini siapa. Lagipula jiwa yang ada di dalam tubuh Galaksi saat ini adalah Arsen. Mau dipanggil pakai toa hingga ribuan kali ya nggak bakalan respon. Percuma, mubazir suara doang.

"Lo kenapa Galak, kok muka lo bingung begitu?"

Galaksi mengamati Aurora dengan seksama.

"Hmmm... Mungkin bocah ini temannya pemilik tubuh ini," batinnya.

"Namaku siapa?"

Iya, pertama-tama Arsen memang harus tahu siapa nama bocah memilik tubuh ini.

"Ha? Nama? Nggak salah lo nanya nama sendiri? Serius ah lo jangan bercanda gini."

"Aku serius." Arsen memasang wajah serius agar terlihat meyakinkan.

"Woe Galak, masa nama sendiri lo lupa? Konslet otak lo?"

"Beritahu saja." Arsen memang harus mencari tahu semua informasi tentang bocah yang tubuhnya ditinggali ini.

Aurora merasa aneh.

"Hahaha... Kalau mau nge-prank gue, lo nggak bakal berhasil tau."

Arsen menarik tangan Aurora. Membawa gadis itu menuju tempat sepi di bawah pohon yang jauh dari jalan. Gelagat Galaksi terlihat aneh. Matanya terlihat was-was. Ia mengamati sekitar, menoleh ke kanan dan ke kiri sebelum memulai bicara lagi.

"Beritahu semua hal yang kau tahu tentang bocah ini. Pertama namanya. Siapa namanya?"

Aurora merasa bingung. Ia ingin ngakak kencang sekaligus ingin nangis gulung-gulung. Galaksi yang tiba-tiba aneh begini apa karena otaknya mulai geser setelah tiap hari kebanyakan di hajar oleh Uncle Sam? Bahkan sekarang Aurora melihat bekas luka di dahi Galaksi.

"Lo kesambet apa mulai gagar otak sih Galak. Masa iya nama sendiri ditanyain. Lagian gaya bicara lo napa aneh gini sih? Kek bukan lo aja ini mah."

"Jawab," Galaksi memaksa.

"Oke, oke, nama lo Galaksi. Panjangnya Ersena Galaksi Alterio. Jangan lupa lagi lo. Repot nanti kalau ditanya petugas capil pas mau bikin KTP. Puas nggak lo?"

"Ersena, itu hampir mirip dengan Arsen. Selain itu panggilannya adalah Galaksi. Dan dia dari keluarga Alterio. Hmm... Nama yang cukup keren juga."

Galaksi mengangguk.

"Terus, umur bocah ini berapa?"

Aurora memutar bola matanya, ia mulai merasa jengah meladeni tingkah Galaksi yang di luar nurul ini.

"Kalo gue bilang tiga puluh lo percaya?"

Wajah Galaksi langsung berubah tegang karena bocah absur di depannya ini berhasil mengatakan usia Elsen yang sebenarnya dengan tepat.

"Hahahaha... Ya enam belas tahun lah Galak. Masa iya lo dah umur tiga puluh tahun. Tua amat. Eh, jangan bilang abis ini nanyain dimana rumah lo ya." Aurora mewanti-wanti.

"Enam belas. Berarti bocah ini masih kelas 10 SMA. Astaga! Aku berpindah ke tubuh bocah SMA?!"

"Nah, itu juga," jawab Galaksi antusias.

"Galaksiiiiiiii... Seriusan lo???"

Galaksi mengangguk serius tanpa sedikitpun ragu. Demi melihat anggukan itu Aurora langsung frustasi.

"Galak, lo napa sih? Kesambet? Ato sakit? Ke rumah sakit yok, cek. Gue temenin deh. Sakit gini kalau dibiarin bisa makin parah tau."

Aurora cekatan mengecek suhu di kening Galaksi kemudian membandingkan dengan suhu ketiaknya. Dan dia melakukan hal itu tanpa merasa berdosa sama sekali. Bocah itu memang sedikit menjijikkan dan aneh.

"Oh, ya, kamu siapa?"

"Ya, ampuunnnnnn Galaksiiiiii... Tobat gueeeeeee!!!"

Aurora mulai mencakar-cakar permukaan pohon untuk melampiaskan perasaan frustasinya.

"A-aku sekolah dimana?"

"Huuuuwwaaaaaaaaa... Galaksiiiiiii!!! Hiks! Hiks!"

Aurora bukannya menjawab justru malah nangis sambil guling-guling di tanah. Heboh sekali. Arsen heran. Belum pernah seumur ia hidup hingga usia tiga puluh tahun begini menemukan mahluk jadi-jadian model begini.

"Heh, kau ini kenapa? Step kah? Atau ayan kah?"

Tiba-tiba Aurora bangun dengan cepat. Tangisnya mendadak menguap.

Grep!

Ia memegang kedua bahu Galaksi dengan kuat. Tatapan matanya tajam dan serius.

"Oh, sudah mulai waras rupanya," pikir Arsen.

"Galak, jujur lo sama gue. Lo tadi tadi abis darimana?"

"Dari sungai," jawab Galaksi dengan wajah polos dan jujur.

"Nah, kan nggak salah lagi. Udah gue duga nih," kata Aurora mantap.

"Apa?" Arsen jadi khawatir. Jangan-jangan bocah ini tahu perihal ia menggunakan soul changer. Dan lebih parahnya lagi jika bocah ini tahu tentang IWS yang disembunyikan Arsen. Gawat. Wajah Galaksi menegang seketika.

"Fix, lo kesambet jin penunggu sungai!" Ucap Aurora berapi-api. Gayanya sudah mirip dukun gadungan mendiagnosis pasiennya.

Kali ini Galaksi yang memutar bola matanya. Sibuk-sibuk ia suuzon. Nyatanya bocah ini hanyalah bocah dengan segala tingkah absurnya.

Aurora mendekati telinga Galaksi. Ia berbisik horor.

"Galak, lo tahu kan rumor jin penunggu sungai horor yang konon minta tumbal tiap bulannya? Gawat! Jangan-jangan kali ini lo yang bakal jadi target tumbalnya. Hati-hati lo Gal. Lagian lo ngapain sih dari sungai? Kagak biasanya. Kencing di sungai lo?"

"Isshh, ngaco." Arsen tak terima dituduh sembarangan. Ia menyingkirkan kedua tangan Aurora dari bahunya.

"Terus kenapa lo jadi aneh begini sih? Ini tuh sudah merujuk pada tanda-tanda ketempelan jin tahu."

"Mana ada. Aku baik-baik saja kok."

"Kalo lo baik-baik aja coba lo sebutin nama gue!"

Eh, kok jadi begini? Arsen gelagapan. Ia mana tahu nama bocah absur bin aneh ini.

Lagipula Arsen juga tidak bisa jujur memberitahu hal yang sebenarnya perihal perpindahan jiwanya ke tubuh ini pada bocah absur yang tidak dikenalnya.

"Nah, nggak inget kan lo nama temen sekelas lo sendiri? Udah gue duga kalo lo udah ketempelan bakal gini jadinya."

"Emangnya nama kamu siapa?"

"Aurora," jawabnya singkat. "Ayok lo ikut gue sekarang juga!"

Aurora menarik tangan Galaksi. Menyeret tubuhnya pergi dengan paksa.

"Hei, hei, Aurora mau kemana?" Arsen bingung. Ia tidak mengenal tempat ini. Juga tak ada seorang pun yang ia kenal, wajar jika ia merasa waspada.

"Kerumah Mbah Jontor. Dukun sakti mandraguna, top-topan urusan ketempelan jin deh pokoknya. Kemarin si Nina anak Pak De Saun sembuh tuh dibawa kesana. Sama kek lo abis dari sungai tahu-tahu nggak inget apapun. Ngomongnya ngelantur kemana-mana."

Gawat! Galaksi berhenti. Wajahnya seketika panik.

"Tunggu Aurora. Aku nggak ketempelan apapun. Kamu cuma salah paham.

Aurora menarik tangan Galaksi lagi.

"Udah ayok jangan protes. Ini demi kesembuhan lo tahu. Gini-gini kalo bukan gue siapa lagi yang bakal perduli ama lo. Gue ini niat baik ama lo. Jangan ditolak. Siapa tahu kan abis ini lo juga sembuh kayak anaknya Pak De Saun."

"Diapain?!" Tanya Galaksi dengan nada horor.

"Disabetin pake daun kelor, glebuk-glebuk gitu deh pokoknya, terus disembur pake air mantra sampe badan lo basah kuyup. Dah nurut. Dijamin sembuh deh lo pokoknya."

Arsen membayangkan Mbah Jontor itu bibirnya benar-benar jontor. Lebih buruknya Mbah Jontor ini giginya ompong. Sisa beberapa biji saja yang masih menancap. Itupun warnanya menghitam karena keseringan merokok dan tak pernah sikat gigi seumur hidupnya.

Lalu... Lalu bagian yang paling horornya Mbah Jontor mengkumur-kumurkan air di dalam mulutnya yang bau itu sebelum disemburkan ke seluruh tubuh Galaksi. Gawaaattt!!! Ini benar-benar gawat. Aturannya ini malah lebih gawat daripada berduet dengan anggota mafia Mata Iblis.

"Gila! Aku nggak ketempelan jin atau setan apapun Aurora. Berhenti! Aku bilang berhenti! Jangan bawa aku ke rumah Mbah Jontor!"

Aurora tak menggubris. Ia tetap menyeret tubuh Galaksi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status