Share

Bab 3

Di tempat Mbah Jortor, Galaksi direbahkan, badannya di pegangi oleh dua orang asisten Mbah Jontor. Mbah Jontor sendiri berdiri di hadapan Galaksi. Ia mengenakan setelan jas putih mirip seperti dokter hewan. Wajahnya serius menatap Gakaksi.

"Lepaskan aku!" Galaksi memberontak. Tapi tubuhnya yang kecil tidak berdaya.

"Pisau!" Pekik Mbah Jontor.

Wajah Galaksi menegang. Ia mau diapakan?

Aurora bergerak cepat menyambar pisau dapur yang karatan. Menyerahkan pada Mbah Jontor dengan takzim. Tanpa ba bi bu Mbah Jontor mengambil kunir. Memotongnya sambil komat kamit membaca mantra. Meniupnya tiga kali.

"Ppuuaahhh! Ppuuaahhh! Ppuuaaahhhh!!!"

Kemudian menggoreskan kuning itu di dahi Galaksi membentuk tanda X yang sangat lebar.

"Hei, apa ini?! Lepaskan aku!!!"

Sepertinya percuma saja jika Galaksi meminta dilepaskan. Orang-orang ini benar-benar sangat kompak, terencana, dan sistematis dalam membuat Galaksi menderita.

Mbah Jontor menoleh pada Aurora. Ekspresinya tidak main-main. Kemudian ia memberikan kode dengan mengangguk, seolah mengatakan bahwa jin yang menempel di tubuh Galaksi ini sangat kuat. Perlu dilakukan tindakan pengusiran jin dengan segera sebelum semakin parah.

"Ambil!" Perintah Mbah Jontor.

Aurora mengambil segera mengambil seikat daun beluntas. Lagi-lagi ia menyerahkannya pada Mbah Jontor dengan gerakan yang sangat takzim. Seperti takzimnya pemuja sinuhun tertinggi yang begitu diidolakan.

"Tunggu! Tunggu! AKU TIDAK KETEMPELAN JIN APAPUN! HEI, TUNGGU!"

Tanpa menghiraukan teriakan Galaksi, Mbah Jontor membabat habis seluruh tubuh Galaksi dengan daun beluntas. Matanya terpejam, mulutnya komat-kamit membaca mantra.

"Air!"

Aurora datang dengan tergopoh-gopoh membawa secerek air putih. Mbah Jontor menerimanya cepat, membuka tutupnya lalu meludahkan ludahnya ke dalam air. Dipercaya ludah Mbah Jontir mampu mengusir jin, setan, lelembut, dan segala macam mahluk astral.

BYYYUUURRRR!!!

Mbah Jontor menyiramkan air dicerek yang sudah dicampur ludahnya itu ke tubuh Galaksi. Bocah itu basah kuyup dan bau. Keadaannya sungguh kacau. Mirip anak kucing kehujanan.

"SIIIAAAALLLLL!!!"

Dduaaakkkk!!!

BBBBRRAAAAKKKK!!!

Galaksi menendang dua asisten Mbah Jontor sekaligus hingga keduanya terpental mundur menabrak dinding papan rumah Mbah Jontor hingga terlepas dari pakunya.

Galaksi bangun. Ia mengelap tanda X kuning di dahinya kemudian melompat keluar dari rumah Mbah Jontor dengan cepat.

"Woeee... Galakkk!!! Kabur kemana lo? Ritualnya belom selesai!" Aurora lari terbirit-birit mengejar Galaksi.

"Woe!!! Main kabur lo!"

Grep!

Aurora menarik bagian belakang tubuh Galaksi. Bocah yang raut wajahnya sudah marah itu menoleh.

"Apa sih Ra?!" Galaksi mengibas-ngibaskan bajunya yang basah kuyup dan bau liur Mbah Jontor. Untung dia cuma menendang dua asistennya. Bukan mematahkan tangan dan kaki dukun gadungan itu.

"Balik dih, Ritualnya belom selesai tau."

"Bodo amat!" Galaksi tidak perduli.

"Ntar lo nggak sembuh." Aurora masih ngotot.

"Serah!" Galaksi berlalu meninggalkan Aurora.

"Woe, kemana lo?" Aurora mengejarnya.

"Pulang," jawab Galaksi tanpa menoleh.

"Dihh... Makin parah sakitnya tuh bocah. Orang rumahnya ke arah selatan ngapa dia ke arah utara ya. Huuwwaaaa... Galaksiiiiiiii...!!!" Aurora menangis kencang sembari mengucek kedua matanya.

Galaksi menoleh.

"Apa lagi dah bocah absur itu nggak habis-habisnya drama," batinnya ngenes.

"Apa lagi sih?" Galaksi bertanya dengan kesal. Bahkan nada bicaranya terdengar kasar.

"Rumah lo ke arah selatan tahu!"

"Ehh???" Galaksi cengo. Ia langsung berbalik arah. "Ngomong dong dari tadi."

"Ngomong gimana orang lo ngonyor aja."

Galaksi melanjutkan berjalan sementara Aurora mengekor di belakangnya.

Grep!

Aurora menarik lengan Galaksi.

"Gal..."

"APA SIH AURORA??? BISA NGGAK TENANG DIKIT AJA???!!!" Dengan kasar laki-laki itu mengibaskan tangan Aurora.

"Makan gih!" Aurora menyodorkan sebungkus roti pada Galaksi.

"Ehhh???" Galaksi jadi malu sendiri. Sudah berbuat kasar dengan Aurora nyatanya bocah itu malah memberinya roti.

"Duduk sini!" Aurora menarik ujung baju Galaksi mengajaknya duduk di pinggir jalan.

Galaksi menerima roti itu dari tangan Aurora. Sebenarnya dia masih malu sih. Tapi, mau bagaimana lagi. Perutnya luar biasa lapar. Seumur-umur Arsen belum pernah merasakan lapar yang sampai melilit begini, seolah Galaksi ini sudah dua hari lambungnya tak tersentuh makanan apapun.

Dengan buru-buru Galaksi membuka bungkus rotinya. Namun, ketika roti itu baru menyentuh bibirnya Galaksi teringat sesuatu.

"Kenapa Gal?" Aurora bertanya dengan mulut yang penuh roti.

"Ini nggak diracun kan?"

Cletak!

"Aduh, sakit tahu!" Galaksi mengusap dahinya yang disentil Aurora.

"Aneh-aneh lo. Ngapain orang ngeracun makanan lo? Anak konglomerat lo? Anak raja?"

"Cicipi!" Galaksi menyodorkan rotinya kepada Aurora. Gadis itu dengan wajah herannya memandang Galaksi.

"Cepet. Aku lapar!" Galaksi memaksa tak sabaran.

"Kalau lapar ya makan."

Dengan jengkel Aurora mencuil ujung roti itu lalu memakannya.

"Nggak ada racunnya. Nggak mati nih gue."

Galaksi mengangguk percaya. Ia lantas menggigit roti itu tapi masalah lain langsung muncul.

"Hoek! Keras amat rotinya. Ini kadaluarsa apa nggak?"

Arsen yang lidahnya selalu bersentuhan dengan makanan orang kaya memang kaget ketika bertemu dengan makanan rakyat jelata. Roti itu sebenarnya baik-baik saja. Layak makan. Arsen saja yang tak terbiasa.

"Mau makan nggak lo. Kalo nggak sini deh!"

"Eh, jangan Ra. Aku lapar."

Galaksi memakan roti itu dengan wajah tertekan. Ini sih daripada kelaparan terus asam lambung naik.

Aurora memerhatikan Galaksi. Sebenarnya ia merasa kasihan juga.

"Ck, Gala, Gala, kasian bener dah lo," kata Aurora ketika menemukan bekas lebam membiru di lehernya juga bekas-bekas luka di dahi dan lengannya.

Galaksi masih sibuk memakan rotinya saat Aurora mendekat tangannya ke wajahnya. Bocah itu refleks menepis tangan Aurora karena kaget.

"Mau ngapain?!" Tanyanya dengan wajah tegang dan curiga.

"Cuma masang plester luka kok. Dahi lo tuh luka." Aurora menunjukkan plester luka di tangannya.

"Dah, diem lu. Makan yang kenyang." Aurora dengan telaten memasang plester luka itu. Galaksi menurut. Ia tak protes lagi. Bahkan saat luka di lengan kanannya selesai di tutup plester dia juga tetap diam tak memberontak.

"Lo luka-luka gini ulah Uncle Sam lagi ya?" Selidik Aurora.

Galaksi tetap diam tak menjawab. Mana ia tahu darimana ia mendapatkan luka-luka itu. Ia menemukan tubuh Galaksi sudah dalam kondisi seperti ini. Tapi, menurut kecurigaan Arsen mungkin Galaksi memang dianiaya dulu sebelum di bunuh. Jika benar seperti itu Arsen tidak akan diam saja. Ia pasti akan menuntut pembalasan yang setimpal bagi siapapun yang sudah mencelakai Galaksi. Setidaknya itulah cara berterimakasih Arsen pada Galaksi yang tubuhnya sekarang ia tempati.

"Galak, woe, ngelamun lo?"

Galaksi baru akan membuka mulutnya lagi ketika ada dua orang berkaos hitam berbadan kekar berlalu di sampingnya. Keduanya bercakap-cakap serius.

"Galak? Ngapa lo?"

"Sssttttt..." Galaksi buru-buru menyuruh Aurora diam.

"Sejauh ini kita ngubek-ngubek desa nggak ketemu tuh benda yang dibawa si Arsen sialan."

"Hmmm... Udah mati aja masih bikin repot."

"Kemana lagi nih kita cari benda itu?"

"Kemana? Ke sungai lah. Gue yakin benda itu nggak jauh dari sana mengingat jasad Arsen ditemukan di sungai."

Dua orang itu masih bercakap-cakap serius kala jaraknya semakin jauh dari Galaksi.

Galaksi langsung berdiri dengan wajah panik.

"Kenapa Gal?" Aurora bertanya curiga demi melihat ekspresi wajah Galaksi.

"Pulanglah Aurora. Jangan ikuti aku."

Belum sempat Aurora menjawab Galaksi sudah lari cepat meninggalkan Aurora

"Kemana Gal? Woe katanya mau pulang?!"

Galaksi sudah jauh. Ia harus kembali ke hilir sungai untuk menyelamatkan IWS dari tangan kelompok Mata Iblis.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Lily
keren ceritanya ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status