Share

Terjerat Aturan!
Terjerat Aturan!
Author: Rainy

1. Hakim Mediator

.

.

.

Hidup tidak melulu seperti dongeng. Dalam cerita fantasi, pernikahan adalah sebuah akhir dari perjalanan cinta. Dimana-mana ada hamparan bunga penuh warna. Matahari berkilauan bagai permata. Begitu indah dan mengagungkan. Tetapi tidak dengan kisah kami. Kebahagiaan itu hanyalah sebuah bayangan semu yang samar-samar nampak. Mudah ditiup oleh hembusan angin dan menguap begitu saja bersama mimpi. Jangankan hamparan bunga, kebun ilalang disebelah rumah, rasanya lebih baik daripada kehidupan pernikahan kami.

Hampa tak berasa. Pahit bagai biji mahoni. Berisik setiap hari bagai suara kucing yang mau kawin. Aku tentu saja merasa jengah dengan semua itu. Dan aku rasa, begitupun dengan dirinya.

“Aku mau cerai,” kataku dengan begitu yakin kepada hakim mediator di depanku.

Dia hanya terdiam dan menatapku dari ujung kaki ke ujung rambut. Sepertinya dia sedikit ragu. Beberapa kali bahkan dia tampak menghela nafasnya dengan berat. Hingga akhirnya dia mengalihkan pandangannya dariku dan menatap pria disebelahku. Keduanya saling berpandangan. Dan keheningan tidak dapat terelakkan. Hanya sesaat, tetapi rasanya aku sudah tidak betah menanti kedua orang itu berbicara.

“Aku ma-"

“Aku juga mau cerai,” sahut suamiku memotong begitu saja perkataanku.

Seketika, ruangan dimana kami berada terasa begitu dingin. Menusuk sampai ke tulang-tulang dan membuat bulu romaku berdiri. Tidak ada dari kami yang berbicara. Semua menutup mulut rapat-rapat. Kami sudah lelah. Semenjak dari rumah, kami sudah adu mulut dan bertengkar. Tidak hanya hari ini saja, tetapi pertengkaran itu sudah berlangsung sejak lama.

Duduk di depan meja mediasi, aku dan suamiku saling berpandangan. Bukan cinta, tetapi kami saling menyalurkan amarah dan kekesalan. Mata memicing, hidung mendengus, dan gigi-gigi yang bergemeretak. Hakim itu pasti bisa melihat semburat amarah di wajah kami berdua.

“Apa kalian yakin?” tanya hakim itu membuyarkan peperangan batin yang kami lakukan.

“Ya!” serentak, kami menjawabnya.

Aku sudah tidak sanggup berbicara. Rasanya ingin menangis, tetapi aku juga masih punya harga diri untuk menangis di depan pria itu. Sekuat tenaga aku menahannya dengan memikirkan hal-hal buruk tentang dia. Setiap hari pulang larut malam. Tidak mau makan di rumah. Bahkan selama tiga tahun ini sudah tidak mau lagi tidur denganku. Sepertinya dia memiliki dunianya sendiri. Dan dia tidak ingin aku ada di dalamnya.

“Sayangnya tidak semudah itu,” timpal hakim itu menarik perhatian kami berdua.

“Kenapa?” suamiku bertanya dengan ketus.

Aku yakin dia sudah tidak tahan untuk bercerai. Cih! Bukan dia saja, aku juga tidak sudi tinggal dengan pria dingin dan ketus seperti dia.

“Ada peraturan baru di pengadilan,” hakim mediator itu melepas kaca-matanya dan menyodorkan beberapa lembar kertas kepada kami berdua, “Coba kalian bacalah,” imbuhnya.

Hakim itu lalu menangkupkan kedua tangannya. Dia menunggu, sementara aku dan suamiku berebutan membaca kertas-kertas itu.

“Syarat Perceraian,” demikianlah judul dokumen itu.

“Kedua pasangan harus melalui 3 bulan masa mediasi dan melakukan semua program dari balai pengadilan yang telah disesuaikan dengan kebutuhan. Baik menyangkut bidang pekerjaan, hobi, relasi dan segala sesuatu di rumah tangga.”

Aku membacanya dengan lirih, sementara suamiku sepertinya mengintip dari balik rambutku. Tentu saja, karena aku telah menguasai kertas-kertas itu.

“Bau sekali,” ucapnya tiba-tiba kembali menyulut emosiku. Dari nada bicaranya, pria itu sengaja mengejekku di depan hakim tua itu.

“Apa yang kau katakan barusan Mas?” tanyaku dengan emosi yang mulai kembali terbakar.

Suasana yang tadinya beku seketika memanas. Di dahiku sudah mulai timbul keringat-keringat karena uap panas yang menggerogoti hatiku. Bergetar, gunung api di dalam diriku tidak dapat dikendalikan. Dengan spontan, aku menyambar kertas dan melemparkannya pada wajah dingin itu.

Plak!

Sebuah suara terdengar disertai dengan warna merah yang membekas di pipinya. Selama ini aku memang ingin memukul wajah tengik itu, tetapi aku menahannya. Sekarang, di meja perceraian, aku tidak perlu lagi memperhatikan sopan santunku. Semuanya telah berakhir dan aku tidak perlu repot-repot menjadi isteri yang baik.

“Kau!” suara baritonnya terdengar memenuhi ruangan itu. Suamiku marah. Dia menunjuk wajahku dan aku berbalik memelototinya.

Sesaat, kami berdua kembali beradu pandang. Kali ini, pusaran angin seakan menggulung kami ke dalam pertengkaran yang tidak bisa dielakkan lagi. Saat aku mengambil nafas panjang untuk mengumpatnya, hakim itu telah terlebih dahulu melerai pertarungan kami.

“Ehem …, ” dengan penuh wibawa dia berdeham. Lalu kemudian dia mengambil kertas yang tadi kupegang, “Apakah kalian tahu sedang berada dimana?” tanyanya menyindir sopan santun kami berdua.

Rasanya memalukan melakukannya di depan orang lain. Tetapi aku juga tidak mungkin melemparkan kertas itu jika suamiku tidak menyulutnya terlebih dahulu. Sejenak, kami berdua terdiam dan kembali memusatkan tekad kepada kertas yang dipegang oleh hakim itu.

“Kalian telah membaca syaratnya. Selama tiga bulan, kalian akan mengikuti program mediasi. Dan itu dipantau dengan ketat. Apakah kalian yakin sanggup melakukannya? Jika tidak sangup, lebih baik kalian lupakan saja niat untuk bercerai,” jelas hakim mediator itu menantang keyakinan kami berdua.

“Cih!” sahut suamiku sembari melirikku dengan sinisnya, “Hanya 3 bulan. Aku bisa melakukannya.” dengan penuh keyakinan, ia segera membubuhkan tanda tangannya pada kertas perjanjian bermeterai itu.

Dalam hati, akupun mengejeknya. Bukan hanya dia, tetapi aku juga tidak sudi berlama-lama untuk tinggal bersamanya. Memantapkan hati, aku lalu mengambil pena dan segera membubuhkan tanda tanganku disebelahnya. Hanya 3 bulan! Itu tidak terlalu lama dibandingkan penderitaan yang sudah kualami selama bertahun-tahun menikah dengannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status