Share

Terjerat Cinta Anak Konglomerat
Terjerat Cinta Anak Konglomerat
Penulis: Nilwa Sari

1. Anak Rantau Itu, Kuat di Luar Ambyar di Dalam

"Mbak, beneran nggak ada lagi warna yang lain?" 

Harus berapa kali sih aku jelasin, kalau warnanya cuman tinggal itu doang. Astaga, nggak tahu apa ya kalau kepala, telinga, dan lubang hidungku ini udah keluar asap tak kasat mata.

Biarlah batinku yang mewakili, faktanya sekarang aku malah masih mengembangkan senyum ramah sembari berbicara, "Udah nggak ada Mbak, itu celana import tinggal satu-satunya."

Perempuan dengan pakaian jumpsit jeans yang dipadaku dengan kaos putih pendek sebagai dalaman itu, sekarang masih memutar-mutarkan tubuhnya di depan standing mirror.

"Tapi lihat dong Mbak." Dia menujuk celana yang masih diletakkan di depan tubuh sejajar dengan pinggangnya. "Nggak kayak anak SD apa kalau aku pake celana warna ini?" tanyanya terdengar merengek tanpa menoleh ke arahku.

Aku menghampirinya, berhenti di belakang mbak jumpsit sambil memegang kedua pundaknya, siap menerapkan ilmu penghasutan. "Nggak sama Mbak, lihat deh warnanya aja lebih gelap, kan." Dia mengangguk, aku tersenyum penuh arti. "Cocoklah sama kulit Mbak yang putih bersih. Kainnya juga lembut, limitid edition lo Mbak, yakin nggak di ambil." Tubuhku otomatis termundur untuk memberinya ruang berpikir.

Sambil menunggunya yang masih tampak ragu, aku sibuk membereskan daganganku yang sudah seperti kapal pecah setelah diacak-acaknya.

"Woy! Milih celana doang lama bener sih, ngalah-ngalahin milih calon masa depan." Temannya yang sudah berkeliling toko sampai tiga kali putaran akhirnya jengah juga. Dia melotot ke arah si Mbak jumpsuit, sedangkan yang di tatap tampak tidak peduli.

Ya kalau aku jadi temannya, malah sudah aku tinggalin deh. Coba bayangkan, orang mana yang kuat menemani belanja selama satu jam  lebih tapi belum ada yang deal juga.

"Mbak." panggilnya pelan yang membuatku segera menghampirinya sembari mengembangkan senyum lebar.

"Ya, gimana. Jadi, kan?" tanyaku sudah berharap sampai menembus langit ke tujuh.

"Hehe." Dia menggaruk kepalanya yang mungkin tidak keramas lebih dari satu minggu. "Belum cocok Mbak, coba kalau ada warna lain 'pasti' sudah aku ambil," ucapnya sambil tersenyum, mungkin merasa bersalah padaku.

Aku balas tersenyum, padahal dalam hati sudah mencak-mencak ingin meneriakinya. Seperti suara jeritan hati istri.

"Maaf ya Mbak. Haduh, sudah bikin berantakan begini," ucapnya lagi sambil mengambil hanger jepit berbahan kayu, dikaitkan di celana yang masih dipegangnya, lalu ditaruh kembali digantungan.

"Misi Mbak, lain kali deh aku kesini lagi." Dia berjalan keluar toko bersama temannya yang diam-diam mengumpatinya di belakang.

Oh, tidak perlu kawan. Aku sudah capek melihat tingkahmu yang cukup Subhanallah.

Aku mendengus sekeras-kerasnya, dasar manusia nggak punya hati. Harusnya kalau tidak jadi nggak usah pake berantakin begini juga dong! Coba lihat, siapa yang sekarang capek sendiri, ya akulah! Mau siapa lagi memangnya.

Belum sempat aku membereskan semuanya, ada orang masuk. Awalnya satu orang, tambah dua orang, dan seterusnya sampai kira-kira ada lima belas orang kalau nggak salah hitung. Sepertinya satu kelurahan dibawa semua ke sini.

"Mbak, model yang ini warna lain ada nggak?"

"Mbak, tolong dong ambilin yang di maneken!"

"Mbak, ini diskon 75% beneran nggak sih?"

"Mbak, gimana sih, ini saya duluan yang ngantri!"

Aku yang sekarang berada di kasir dan sedang mentransaksi pembelian dibuat pusing sendiri. Pake salah masukin nama barang lagi. Haduh, bisa dipotong ini gajiku yang cuman cukup buat makan doang. Udah gitu, ini sampai dimaki-maki pelanggan karena katanya dia yang duluan mengantri, malah orang belakangan yang aku layani duluan.

"Lain kali jangan diulangin lagi ya Mbak, saya buru-buru ini," ujar perempuan dengan rambut sebahu sambil memberi tatapan tidak suka kepadaku. Aku hanya tersenyum meringis sambil mengucapkan kata 'maaf' beberapa kali.

Jangan salahkan aku, salahkan saja Mbak Tari yang hanya punya karyawan dua orang, itupun hanya shift-shiftan. Mbak Tari juga, kenapa sudah jam segini belum menunjukkan batang hidungnya.

Setengah jam sudah langkahku berlarian dari depan, ke belakang, kasir, dan berputar-putar area toko yang sebenarnya tidak terlalu lapang.

Kakiku rasanya sampai mati rasa, begitu mereka keluar semua, langsung ku rebahkan badanku di lantai keramik yang terasa sejuk seperti ubin masjid.

"Ya Allah. Cobaan apa lagi hari ini!" teriakku dengan posisi tengkurap di lantai keramik. 

Aku mencoba terkekeh pelan untuk meredakan rasa kesalku. Katanya tawa bisa meredakan rasa sakit, dan iya itu mujarab sekali. Jangan sampai keblablasan aja sih, takutnya nanti di bilang hilang akal lagi.

"Semangat Layung! Semangat, ada keranjang olshop yang harus segera dibayar." 

Aku menepuk-nepuk kedua pundakku dengan posisi tangan menyilang, namanya butterfly hug. Setiap pagi atau dalam masa emosi tidak setabil seperti sekarang, aku sering melakukannya, cara ampuh untuk memberi asupan energi positif buat diri sendiri.

Sekarang tubuhku sudah bersandar pada meja kasir dengan poisis duduk, kakiku yang sudah telanjang aku luruskan. Flat shoes-Ku sudah entah kemana keberadaannya.

Aku melihat keadaan toko yang tampak kacau balau seperti habis diterjang badai. Pakaian yang terlepas dari hangernya, baju di bagian diskon berantakan, maneken yang bugil dengan kepala botak. Tugas Negaraku banyak sekali, kan. Tapi kenapa aku nggak kaya-kaya juga ya.

"Wah! Laris manis ya Yung." 

Mbak Tari yang baru datang, matanya langsung memindai keadaan toko. Lihatlah betapa anak rumahan sekali bosku ini. Datang ke toko cuman memakai piyama dan sandal jepit. Aku geleng-geleng kepala, pesugihan apa yang dilakukannya sampai bisa membangun bisnis sesukses sekarang, bisalah kasih bocoran karyawannya yang kere ini.

"Kamu kalau cuman lesehan begitu, kapan selesainnya Layung," ucapnya sudah berkacak pinggang di sampingku. Aku medongak sekadar untuk melihat garis wajahnya yang terlihat judes.

"Tolong bantu," sahutku sambil mengulurkan tangan ke arahnya, tapi langsung ditepis kasar oleh Mbak Tari sembari melototkan mata seakan mau copot.

Aku terkekeh sambil bangun sendiri, ku tepuk-tepuk bajuku yang sudah bercampur butiran debu yang tak dianggap. Tanganku beralih ke arah rambut, mencepolnya asal.

Mbak Tari membantuku membereskan baju-baju di gantungan, sedangkan aku menata di bagian diskon. Kami diam dengan kegiatan masing-masing. Hanya lagu, "Melompat Lebih Tinggi" dari Sheila On Seven yang menggema memenuhi ruangan ini.

Kita berlari dan teruskan bernyanyi

Kita buka lebar pelukan mentari

Bila 'ku terjatuh nanti kau siap mengangkat aku lebih tinggi ....

"Aku keluar dulu ya, pakein ini anakmu nanti." 

Mbak Tari menyerahkan baju ganti buat maneken. Tanpa mendengar jawabanku, langkah Mbak Tari sudah membawanya pergi dan tubuhnya seketika lenyap di balik tembok.

"Enak ya jadi kamu, baju disiapin, di bantuin makein, lalu didandanin pula sekece mungkin," gumamku dengan tangan sudah terampil melepas-pasang tangan patung mbak maneken.

Aku nggak gila, hanya terkadang malu-maluin saja.

Dering ponsel di saku celana jeans hitamku menghentikan aktivitasku. Ada satu chat baru dari adikku yang berada di kampung halaman.

Uni,

[Mbak Yung, masih punya uang lebih nggak? Kalau punya bisa kirim lagi buat berobat Bapak, asam uratnya kambuh, uang Ibu udah habis buat beli buku persiapan ujianku. Sehat-sehat ya Mbak Layung, kami sayang Mbak.]

Segera saja aku masukkan kembali ponselku tanpa ada niatan membalas chatnya terlebih dahulu. Bukannya aku nggak punya adab, aku punya dan jelas saja tadi itu perilaku tidak sopan. Tapi terkadang ... diam sejenak di saat hatimu terasa sesak jauh lebih baik.

Kalau Tuhan masih mendengar doaku tadi malam, boleh tidak kalau aku minta sekarang saja dikabulkannya.

***

Saldo rekeningku sudah semakin menipis, tapi masih banyak lagi tuntutan yang belum terelealisasikan.

Langkahku membawaku berjalan kaki menyusuri trotoar, banyak terdapat gerobak-gerobak kecil yang berjualan di pinggir jalan. Seketika perutku terasa lapar, sungguh godaan makanan sebanding dengan godaan syaiton nirojim.

"Lembayung!" 

Suara itu ... segera ku putar tubuhku menghadap ke belakang. Di sana, aku mendapati tubuh laki-laki yang sedang berlari ke arahku sambil merentangkan kedua tangannya.

"Sinting," umpatku pelan sambil menampik tangan Reksa yang mau memelukku.

"Udah makan?" tanya Reksa sudah mengalunkan tangan kanannya di bahuku. 

Aku menggeleng yang di sambut senyuman secerah matahari darinya.

"Makan dulu yuk," ajaknya tanpa menunggu persetujuanku terlebih dahulu. Dia membawaku ke gerobak mie ayam.

"Pak, pesan dua ya. Yang satu kuahnya banyakin, satunya sedikit aja, yang kuahnya banyak pake ekstra bawah goreng, pangsit, dan banyakin aja pokonya, saya bayar double entar." Reksa mengacungkan jempolnya ke arah bapak penjualnya, sedangkan si bapak hanya bilang 'siap'.

"Mau minum apa?" tanyanya sambil memajukan wajahnya tepat di depan wajahku. Segera kudorong pelan, Reksa paling pandai membuat jantungku kelonjatan.

"Es teh aja," sahutku cepat.

"Tahu nggak sih, minum air teh sehabis makan itu nggak baik. Air putih aja ya?" tawarnya sudah mengambil satu botol air kemasan ukuran sedang dan disodorkan kepadaku.

Aku menerimanya, Reksa terkekeh entah apa yang lucu.

Ingatanku kembali pada isi chat selanjutnya yang dikirimkan Uni tadi.

[Mbak, doakan Uni bisa masuk SMA impianku ya.]

Kalau dia benar bisa masuk sekolah di sana, berarti aku harus bekerja pagi-siang-malam untuk membantu membiayai sekolahnya yang terbilang cukup mahal itu. Ah Arunika, kenapa kamu suka sekali menyiksaku begini.

"Hey! Malah ngelamun, panas ini."

Reksa menyodorkan mangkuk mie ayam yang dibawahnya sudah dilapisi piring plastik.

Aku menerimanya, seketika melongo melihat isinya yang penuh. Bahkan kuahnya meluber sampai tumpah ruah.

"Eh, aku nggak pesen yang ekstra ya!" seruku memprotes Reksa yang sedang mengaduk mie ayamnya.

"Apa sih. Makan aja udah, emang mau makan bekasku. Kayaknya mau aja sih, kan aku ganteng," sahutnya menyeringai yang aku hadiahi tendangan pelan di kakinya.

Reksa terkekeh, mulutnya sudah aktif memasukan mie ayam yang bagiku masih panas karena terlihat kepulan asap yang menguar ke udara. Bagaimana bisa ya dia makan sesantai itu, nggak melepuh apa lidahnya.

"Jangan di lihatin doang Lembayung, nggak bakalan bikin kamu langsung kenyang. Beda cerita kalau lihatinya aku, malah bikin tambah sayang," ujarnya percaya diri sambil menarik turunkan alisnya.

Aku tidah mengindahkannya, ikut makan meski pelan karena beneran masih terasa panas. Reksa terdengar sudah menghabiskan mienya. Dia mengambil botol air kemasan yang berada di pangkuanku, menegakknya sampai sisa setengah. Kepala Reksa meneleng ke arahaku, langsung kupalingkan wajahku. Aku tidak suka kalau dilihatin saat sedang makan.

"Pelit amat, siapa juga yang mau minta," cibirnya bersamaan tangannya yang mengacak rambutku pelan.

Kurasakan ikatan rambutku dilepas, aku ingin memprotes, tapi yasudahlah. Percuma aku melawannya, Reksa selalu tidak mau dibantah. Jari-jarinya menyisir rambutku, lalu di bagi menjadi tiga bagian, dia mulai mengepang rambutku lagi dan lagi.

"Udah selesai, kalau gini kan sudah seperti manusia normal," ujarnya bangga, arah pandangnya masih tertuju pada rambutku. Aku hanya meliriknya sinis, dia pikir aku seperti manusia jadi-jadian apa ya.

"Patungan ya." 

Reksa mengulurkan tangannya menengadah ke arahku. Aku memberinya dua puluh ribu. 

Sambil menunggunya menyelesaikan transaksinya, aku segera meminum air kemasan sampai tandas dan memasukkan ke tong sampah keranjang plastik yang sudah di sediakan bapak mie ayam.

Ketika berbalik, Reksa malah menyodorkan uang kembaliannya kepadaku.

"Kok sisa banyak?" protesku ketika Reksa sudah kembali merangkulku dan mengajakku mulai berjalan.

Bagaimana aku tidak mengeluarkan protesan, uang kembaliannya lima belas ribu. Nggak mungkin kan, semangkok tadi harganya cuman lima ribu, nggak bangkrut apa bapaknya.

"Ya entar kalau makan lagi, kamu yang ngeluarin uang lebih," sahutnya santai sambil bersiul.

Memang sih, terkadang aku yang mengeluarkan uang banyak, tapi itu masih bisa terhitung pakai jari. Sedangkan Reksa sudah tidak dapat terhitung lagi. Kadang hal sepele seperti itu sudah membuatku merasa rendah diri. Aku semakin tidak percaya diri untuk berada di sisinya terus menerus.

"Tanganmu mana?" tanyanya sambil menengadahkan telapak tanganya dan aku langsung menyambutnya. Kini, kami berhenti dan duduk lesehan di pinggir trotoar.

Dia meletakkan sesuatu di telapak tanganku, origami daun maple.

"Tahu nggak kenapa hari ini aku kasih origaminya daun maple?" tannyanya sudah menangkup tanganku.

Aku menggeleng.

"Karena, mau sejauh apapun kamu pergi, aku juga akan ikutan pergi. Mau seberat hari yang kamu lalui, aku akan tetap setia menemani. Di sini ... nggak akan kemana-mana," ucapnya menunjuk dirinya sendiri.

Aku hanya terkekeh, memalingkan wajah sekadar untuk mengusap air mata yang nggak tahu diri malah mengalir seenaknya.

Iya Reksa benar, dia tidak pernah meninggalkanku sendirian, dia tidak pernah membiarkanku kesusahan sendirian, dia selalu ada di saat aku nggak tahu lagi mau kemana dan berbuat apa.

"Makasih," ucapku pelan sambil menyandarkan kepalaku di bahunya. Reksa terkekeh, tangannya bergerak mengelus lembut rambutku. 

Lewat lukisan senja yang membentang indah di balik gedung-gedung tinggi Surabaya, sore ini aku masih bisa menemuinya, masih bisa bersandar di bahunya, dan masih bisa mendengarkannya bercoleteh aneh seperti biasanya. Ya, untuk saat ini, entah esok atau lusa nanti.

Panji Reksa, boleh nggak kalau kamu diciptkaan Tuhan hanya untukku saja.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
awal yang bagus.. boleh kasih tau akun sosmed ga ya soalnya pengen aku share ke sosmed trs tag akun author :)
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status