Tepat jam tiga pagi, Akarsana sudah selesai dengan segala persiapannya. Entah jam berapa gadis itu memulai. Pastinya, Akar hanya tidur dua jam. Seperti kebiasaanya di rumah. Akar selalu menyisihkan sebagian masakan itu untuk sarapan anaknya. Namun, kali ini beda. Ia menyisihkan untuk sang bos. Gadis itu juga menyiapkan bekal untuk Tirtha. Ini sudah kesepakatan. Menurut Akar hal ini juga tidak membebaninya. Sudah diizinkan untuk tinggal dan memakai dapur itu, sudah sangat untung baginya. Akar membiarkan kotak-kotak itu terbuka agar dingin sempurna dan bisa bertahan lama. "Buset! Kamu nggak tidur?" Tirtha masih dengan wajah bantal menuju dapur. "Bapak. Mau dibuatkan kopi atau teh?""Teh tawar saja." Akarsana dengan cekatan membuat apa yang diinginkan oleh Tirtha. Sementara pria itu mendekati kulkas dan meneguk air langsung dari botol. "Kelihatan enak banget ini. Kamu pinter masak lho. Kenapa nggak buka warung aja pas nikah sama Ranu?""Buka warung juga butuh modal, Pak. Kami mana a
Suasana kantor sudah sunyi. Sementara, Akarsana masih duduk di pantry sendirian. Pak Adul juga sibuk berjaga di pos depan setelah mengambil jatah kopinya.Akarsana tidak tahu harus pulang dengan cara apa. Tololnya baterai ponselnya lenyap. Jika berjalan ke depan Akarsana harus mengerahkan tenaganya. Tidak ada tongkat yang bisa ia gunakan untuk berjalan."Mau nginep?" celetuk Tirtha. Sejak Akarsana bergabung di kantornya, Tirtha lebih sering pulang telat. Entah, rasa penasarannya begitu menggebu pada sosok polos, lugu, dan manis dengan kulit eksotis itu. Akar benar-benar produk lokal yang tidak gagal. Namun, kehidupannya sangat-sangat jauh dibawah kata gagal."Bukan urusan, Bapak, kan?""Heh! Jelas urusanku. Kamu kerja di rumahku. Ini jatahmu masak makan malam buatku. Enak saja bilang bukan urusanku. Aku memperkerjakan kamu biar hemat uang makan," sembur Tirtha. Ia berjalan mendekati di mana Akar duduk."Jangan mendekat, Pak!" cegah, Akarsana. Dia sungguh takut jika pria itu berbuat n
Setelah menyiapkan pakaian Akarsana di kamar mandi, pria itu lantas kembali keluar dan bersiap memboyong tubuh kurus gadis berambut sebahu itu."Bapak hanya mengambil kesempatan dalam kecelakaan yang aku alami kan?" tukas Akarsana."Pikiranku buruk sekali. Emang semua wanita harus banget aku embat gitu, maksudmu?" Akarsana terdiam. Keduanya tiba di kamar mandi. Tubuh Akar duduk di atas kloset. Tirtha mematung di bawah sorot lampu. Tubuhnya menjulang kian tinggi."Kenapa, Bapak masih di sana?""Lihat boleh nggak?"Akar meraih sabun yang ada di dekatnya dan bersiap untuk melemparnya ke arah pria itu, tetapi, Tirtha lekas keluar dengan tawa yang menyembur keluar.Akarsana menatap ke arah pintu. Dia tidak bisa mengunci pintu, dia juga tidak yakin jika Tirtha tidak mengintip. Dia mata keranjang, dia laki-laki dengan kelakuan bejat terbesar di dunia mana bisa dia anteng begitu saja? gumam Akar dalam batin.Ia mencoba bangkit, melompat sedikit dengan kaki sebelah kanan yang harus terlipat
Sejak pagi, gadis itu tidak melihat atasannya berniat keluar dari rumah. Bahkan crutch pun, Tirtha membelinya secara online. Pria itu hanya sibuk membaca koran, menatap layar laptop hampir lebih dari dua jam setelah itu sibuk menyimak berita di televisi."Ba— Bapak tidak pergi ke kantor?" tanya Akarsana penasaran. Dia tidak leluasa bertingkah jika ada pria itu di rumah.Seharusnya dia bisa berjalan kesana kemari dengan bantuan kruk itu, untuk belajar. Akan tetapi kehadiran Tirtha membuatnya canggung.Hingga yang ada Akarsana hanya duduk mematung, termenung di sisi Tirtha, karena pria itu selalu mengajaknya ke sana dan ke mari."Kenapa? Ada masalah?" tukasnya, sama sekali tidak menoleh dan sibuk mengunyah kacang telur dari toples. Sesekali melemparnya ke atas dan ia mendongak seraya membuka mulut dan masuklah biji kacang itu ke mulutnya."Tidak, Pak. Hanya saja saya— saya tidak enak berada di rumah bersama Anda. Maaf, Pak," seru Akarsana langsung meminta maaf, takut jika pria itu akan
Hari Sabtu, satu pekan berjalan dengan sangat cepat. Akarsana tidak menyangka bahwa waktu berlalu begitu saja. Berkat keusilan majikannya, ia lupa pada masalahnya. Berkat laki-laki itu, malam yang dilewati Akarsana bukan lagi tentang meratapi nasibnya serta mengingat anak tirinya. Melainkan was-was, jika pria berwajah mesum itu hadir di kamarnya seperti beberapa waktu lalu.Suara ketukan pintu membuat Akarsana harus berjalan hati-hati mendekati daun pintu itu. Ia memang sudah tidak lagi menggunakan tongkatnya. Namun, langkah kakinya masih harus tetap dijaga."Mau jalan-jalan?" tanya Tirtha begitu pintu itu terbuka dan sosok gadis mungil manis berdiri mematung di hadapannya."Tidak, Pak. Saya sibuk. Hari ini hari mencuci," terangnya. Ia hendak menutup pintu kembali, tetapi kali dan tangan Tirtha mencegah kejadian itu."Tolong jangan menghambat kerja saya, Pak," mohon Akar."Ini hari libur. Seharusnya memang kamu liburan bukan mencuci.""Di sini saya bekerja, Pak. Oh— satu lagi, ini unt
Satu Minggu berlalu. Tirtha belum juga kbali dai desa. Pria itu juga tidak pernah memberikan kabar dari rumah ibunya. Akarsana hanya bisa bertanya-tanya serta menduga-duga, takut jika terjadi sesuatu dengan ibu dari majikannya. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Suara deru mobil berdesing di depan pagar rumah. Akarsana yang melamun di kursi dekat dengan jendela pun langsung terperangah dan bangkit, ia berlarian menuju ke gerbang. Tangan mungilnya sibuk membuka gembok dan menggeser engsel. Mempersilakan mobil hitam itu masuk. “Bagaimana kabar ibu, Bapak?” Akarsana langsung memberondong sang empu mobil, bahkan sebelum pria itu turun dari mobil, ia baru membuka pintunya. Wajah lemas dan lesu serta kusut milik Tirtha seketika tersungging tipis, bahkan Akarsana hampir tidak menyadari jika pria itu senyum. “Bantu bawa barang di belakang.” Bukannya menjawab, pria itu justru memerintah. Akarsana sendiri merasa bahwa dirinya sangat tidak sopan, seharusnya dia tahu kalau bisa saja Tirtha sangat
“Kamu harus segera ngomong sama dia.” Masih belum kering tanah kubur istrinya. Awan terus mendesak Tirta agar segera menikah. Bagaimanapun hanya inilah pesan terakhir dari mendiang Maharani. Perempuan yang telah menderita selama bertahun-tahun karena penyakit kanker yang menggerogoti usianya. Awan hanya berusaha untuk membuat istrinya bahagia. Dia tidak ingin, bahkan di alam lain sana, perempuan itu menderita akibat keinginannya belum terpenuhi. “Pa, aku butuh waktu. Menikah tidak semudah itu. Seumur hidup itu lama. Sangat lama dan tidak terbatas, bagaimana jika akhirnya aku tidak cocok dengan dia?!” tekan Tirta. Sejujurnya pria itu tidak mau mempermasalahkan siapa pun yang akan dia nikahi asalkan jelas asal usul dan bagaimana sikap keluarganya. Namun, tidak juga setelah kepergian ibunya. Baru satu minggu, apakah layak Tirta harus menggelar acara pernikahan? “Kamu pikir bagaimana dulu papa dan mamamu bersama, Tir? Harus diseleksi? Harus di tes dulu? Kecocokan bisa dilihat dari
Namun, Tirtha lekas mengalihkan pandangannya. Seolah dia tidak ingin peduli pada gadis itu. “Buat kopi untukku. Antar ke ruangan, lima menit dari sekarang!” Kemudian dengan mudahnya Tirta melangkah pergi. “Ck, setelah libur lama, Bos kian galak. Kamu ngerasa nggak sih?”“Mungkin sedang ada masalah. Udah nggak usah kepo sama urusan atasan. Biar aku buat kopinya.”“Biar aku saja, kamu harus istirahat.” Akarsana pun mengangguk. Namun, belum sempat Cindy bangkit dari duduknya. Tirta kembali menampakkan diri di ambang pintu. “Kopi buatan Akarsana!” sergahnya. “Tapi, dia—“ “Tutup mulutmu, aku mau kopi buatan dia!” sela Tirta tidak ingin dibantah. Cindy mengangguk, dia memahami betul pernyataan itu. Sekarang Akarsanalah yang harus berdiri dari kursinya. Ia memasak air dan meracik kopi. “Kamu nggak apa-apa, kan, Na?”“Aman, kok. Santai aja, udah kamu kerjakan yang lain biar cepet kelar,” ujar Akarsana menenangkan Cindy. Setelah selesai membuat kopi, sesuai dengan perintah T