“Di mana kamu?”
Belum selesai satu masalah. Alea sekarang malah di serbu sama pesan yang dikirim sama Chris. Semua pesannya berisi kata yang sama yaitu menanyakan posisi dirinya. Pesan yang terus dikirim sampai udah puluhan pesan yang masuk ke ponselnya.
Alea tidak mengerti kenapa, tapi ini benar-benar berisik membuat dia terpaksa balas semua itu.
/Berhenti bang ... aku bilang stop tanya aku ini itu. Omongan abang yang kemarin udah buat aku yakin kalau abang nggak mau kenal sama aku lagi. Aku tau kalau abang udah kecewa sama aku. Maka dari itu, udah ya. Berhenti chat aku kayak gini./
Dan setelah pesan dikirim, Alea malah mendapat panggilan dari Chris membuat ia menghela napas dalam. Dengan cepat Alea mematikan ponsel dan memasukkan ke dalam tas. Sebelum beranjak dari tempatnya kini.
“Aku nggak mengerti sama sekali, kenapa bisa terjebak oleh dua orang yang benar-benar posesif. Aku nggak tahu kalau mereka bakalan sampai sejauh ini.”
Alea mengacak rambutnya dan menghela napas. Ia nggak peduli sama tatapan aneh dari orang lain. Ia terus saja berjalan dan langsung menghentikan taxi, memintanya ke suatu tempat yang bisa menenangkan dirinya.
Di sinilah sekarang Alea berada,
Sebuah tempat yang jauh dari keramaian dan benar-benar sepi. Danau yang terletak jauh dari pemukiman. Ia duduk di pinggir danau dan meluruskan kakinya.
“Tenang .. kayaknya udah lama banget aku nggak bisa tenang kayak gini.”
Alea tertawa kecil. Menertawakan dirinya yang ada di masa lalu.
“Dulu aku selalu aja berusaha sekuat mungkin untuk sembunyiin satu sama lain. Entah pas aku lagi bareng mas Bram aku bakalan matiin ponsel aku biar abang Chris nggak nelepon atau pas aku bareng abang Chris. Aku berusaha pergi ke tempat yang jauh dari sini biar nggak bisa tuh mas Bram tau apa yang aku lakuin.”
Alea memijat kepalanya dan menghela bapas lagi.
“Dan aku begitu bodoh, karena lupa kalau mas Bram bisa suruh orang buat cari tau tentang aku. Jadi ... sekarang inilah keadaan aku. Dua orang yang aku berusaha sembunyiin satu sama lain sekarang udah tau.”
Alea mengepalkan tangan dan meninju kasar rumput di sana.
“Tapi ... yang bikin aku kesal tuh, kenapa mereka bukannya milih pergi aja dari hidup aku karena tau aku bohong. Tapi kenapa mereka malahan semakin posesif sama aku sih!”
Alea marah, benar-benar marah.
Dia sudah muak sama semuanya. Capek jadi perempuan yang dibutuhin pas mereka bosan serta capek karena cuma tubuhnya aja yang mereka inginkan.
Alea juga mau kayak perempuan lain. Perempuan yang dihargai sama laki-lakinya serta perempuan yang benar-benar dijaga. Bahkan dicintai selayaknya. Bukan malah dicintai dengan paksa.
“Kadang aku nggak habis pikir. Kenapa laki-laki yang aku temui di sini tuh semuanya sama. Cuma butuh hal yang seperti itu.”
“Ya ... walaupun abang Chris nggak kayak gitu. Tapi tetap aja kadang aku suka nggak nyaman sama sikap maksa dia yang berlebihan banget dan diluar nalar— Duh ...”
Alea merogoh tasnya. Tiba-tiba saja ponsel satunya lagi berdering. Ia menelan saliva saat melihat nama yang ada di layar.
“Ibu jarang banget nelpon. Duh, ada apa ya ini? Semoga bukan hal yang buruk deh,” gumam Alea sambil mengangkat panggilan tersebut.
“Hallo bu, assalamu’alaikum. Ada apa bu? Tumben sekali ibu nelepon aku.”
“Nak ... bagaimana kabar kamu? Kamu baik-baik aja kan di sana?”
Alea terdiam untuk sesaat. Wajahnya langsung sumringah dan ia tersenyum lebar. Ia bahagia sekali ditanya seperti ini. Setelah sekian lama, bahkan ibunya nggak pernah basa-basi sama dirinya itu.
“Baik bu ... aku baik banget, makasih banyak ya bu karena udah sempetin waktu buat nanya kabar aku. Terus ... kabar ibu gimana? Kabar bapak gimana? Kalian baik-baik aja kan di sana? Nggak ada hal apa pun yang terjadi?”
“Sebenarnya ini alasan ibu nelepon kamu.”
Dan senyuman yang tadi terpampang kini berubah membuat Alea langsung was-was.
“Bapakmu, nak ...”
“Kenapa sama bapak? Ini bapak baik-baik aja kan? Aku boleh dengar suara bapak?”
“Udah nggak usah, kamu ngobrol sama ibu aja. Ini nak, bapak kamu nggak sengaja nabrak orang terus sekarang oorangnya niat laporin bapak kamu. Ibu nggak sanggup kalau bapak kamu sampai masuk penjara. Jadi, kamu bisa kan bantu kami?”
“Bu ... gimana dengan hutang yang lain? Kalau aku bayar ke yang sekarang. Aku takutnya nanti nggak bisa bayar hutang ibu sama bapak bulan ini. Nanti yang ada bunganya makin menumpuk. Terus juga ... kenapa bisa nabrak orang lain? Terus memang harus di selesaiin sama biaya aja? Gimana kalau ngobrol dari mata ke mata. Pasti mereka mengerti sama keadaan kita.”
“Ck ... kamu kan kerja, nak. Masa buat bayar gitu aja nggak bisa sih. Terus pakai nanya-nanya lagi. Bilang aja kalau kamu nggak mau bantu kami! Kayaknya tinggal di sana buat kamu jadi lupa diri dan nggak peduli lagi sama kita. Ternyata memang benar ya anak durhaka itu memang ada.”
“Bu ... ayolah. Berhenti bilang aku anak durhaka. Kalau aku lupa diri. Pasti aku nggak bakalan kirim bulanan buat ibu sama bapak atau aku yang nggak bakalan bayar hutang ibu sama bapak yang bahkan uangnya nggak aku rasain sama sekali.”
“Mulai hitung-hitungan kamu sama ibu? Woah jadi gini ya ... memang benar—
“Ya udah, berapa bu semuanya?” potong Alea pada akhirnya. Hatinya udah terlalu sakit untuk mendengar pembicaraan hal ini dan memang nggak akan pernah ada habisnya. Karena sang ibu yang selalu aja merasa benar dan berakhir dirinya yang salah.
“Lima puluh juta.”
“Bu!” kaget Alea. “Beneran sebanyak itu. Ya ampun uang sebanyak itu aku cari di mana.”
“Nak ... memangnya kamu mau bapak kamu di penjara? Mereka memang sengaja minta banyak. Ini ibu yakin kalau mereka sengaja cari untung. Tapi masa uang segitu kamu nggak punya sih. Kamu kan bisa pinjam gitu sama siapa. Ibu mohon ... ibu nggak mau kalau sampai bapak kamu masuk penjara.”
“Ya udah kalau gitu, boleh aku dengar suara bapak? Aku mau denger penjelasan dari bapak.”
“Kamu nggak percaya sama ibu! Kamu ngira ibu bohong! Nak! Ya ampun ... hati ibu sakit banget pas kamu nggak bisa percaya gini sama ibu. Salah apa ibu sama kamu? Sampai anak ibu sendiri anggap ibunya bohong.”
“Bu ... bukannya begitu.”
“Ibu juga bingung, nak. Tapi kan ibu cuma punya kamu. Ibu nggak mau kalau ngerepotin kamu lagi. Tapi mau gimana lagi?”
Alea menarik napas dalam. “Ya sudah ... aku akan cari uang. Ibu sama bapak nggak usah khawatir. Aku akan bayar dan buat bapak nggak di penjara,” putus Alea pada akhirnya.
“Harus cari di mana uang sebanyak lima puluh juta?” Alea memeluk kakinya dan menarik napas dalam. “Lima puluh juta cuma untuk yang satu ini. Aku harus juga nyiapin sepuluh juta buat bayar hutang sama bunganya. Belum masing-masing lima juta buat uang jajan ibu sama bapak tiap bulannya.”“Dapet dari mana uang sebanyak itu?”Alea kembali menangis. Meratapi kisah hidupnya yang nggak pernah selesai.“Kapan aku bisa jadi orang kaya? Biar hal kayak gini nggak buat aku pusing lagi. Biar aku tahu harus nyelesain seperti apa kalau udah sejauh ini. Biar aku tau kalau aku juga berguna bagi orang tua aku.”Alea memandang langit yang sangat cerah.Teringat jelas masalah yang membuat dia ingin pergi dari hidup Bram.“Kalau kayak gini, aku bisa apa? Aku cuma bisa berakhir minta maaf sama mas Bram atas sikap aku. Biar aku bisa minta apa pun yang aku butuh. Biar mas Bram juga nggak ungkit semua masalah ini lagi.”Alea menarik napas dalam. Tangannya terulur meninju udara kosong. Ia benar-benar marah sam
“Alea ... apa kamu nggak mau mikir lebih dulu?”Hati Alea semakin ragu. Bayangan akan semua kebaikan Chris terus menghantui dirinya. Alea memang jatuh cinta sama Bram tapi dia juga nggak bisa memungkiri kalau bersama Chris dia jauh merasa aman. Seperti sosok kakak yang benar-benar menjaga adiknya dengan sangat hati-hati.Tapi bayangan tentang semua hutang orang tua membuat dia langsung menggeleng.“Maaf bang ... Abang bisa cari perempuan lain yang juga cinta sama abang. Pasti nggak susah kok. Apalagi abang tuh baik banget. Jadi, aku tuh yakin banget kalau abang bakalan dapat yang terbaik. Aku beneran seyakin itu ...”Chris melepas genggaman tangannya sambil melangkah mundur.“Berhenti jatuh cinta sama aku ya, bang.” Alea benar-benar memohon.Chris tertawa lirih dan menggeleng. “Mungkin gampang kamu ngomong kayak gitu. Kamu gak pernah merasakan apa yang abang rasakan selama ini. Kamu boleh suruh abang pergi tapi nyuruh abang biar nggak jatuh cinta sama kamu tuh egois banget. Nggak bisa
“TAHU DARI MANA KAMU!” seru Alea saat mereka udah di dalam lift, hanya berdua.“Udah bukan rahasia umum lagi sih. Lagian kamu memang ada tampang pelakor sih. Yaa namanya juga dari kampung. Pastinya kamu milih berbagai cara untuk mendapat apapun yang kamu mau. Tapi ya kalau sampai sejauh ini sih ... benar-benar memalukan.”Alea menatap bengis.“Nggak usah sok tahu, kamu! Maksudnya nggak usah ikut campur sama perempuan lain.”“YA ... memang nggak ada niatan ikut campur sih. Cuma geregetan aja sama kamu. Bisa-bisanya kamu lakuin hal jahat itu sama nona yang super baik itu. Atau ... memang kamu tuh nggak bakalan peduli sih sama hal kayak gini. Memang nggak punya hati nurani sama wanita lain. Dasar ...”Alea terdiam membuat perempuan itu semakin menggebu.“Dengar ya Alea ... kita semua di sini tuh udah pada tahu apa yang terjadi antara kamu sama tuan Bram. Tapi kita memang nggak mau ikut campur. Karena kita jelas tahu, orang yang punya banyak uang akan berakhir menang di banding kami. Aku
Setelah keluar dari ruangan kerja Bram, Alea benar-benar nggak kembali. Ia menyibukkan diri dengan file yang baru datang. Perempuan itu juga nggak peduli kalau mereka bakalan mengatakan hal yang buruk tentang dirinya. Yang ia punya kini hanya butuh waktu sendiri. Dia butuh menenangkan diri.***Pintu ruangannya terbuka dan ia melihat Bram masuk ke dalam. Langsung saja ia menunduk dan menghela napas dalam sambil terus saja menggeleng.“Kalau mas datang cuman buat bilang pisah, aku nggak bisa mas. Aku udah mikirin dari semalaman dan aku rasa kamu salah satu orang yang paling tepat di hidup aku dan setelah ngelewatin semua ini. Aku nggak mau kalau malah dengar penolakan dari kamu. Aku nggak akan pernah bisa sama sekali.”Bram duduk di depan Alea. Mendengar semua omongan selingkuhannya itu.“Kenapa? Kenapa tiba-tiba ngomong kayak gini?” tanya Bram dengan lembut. “Memangnya kamu tahu saya datang kesini untuk ngomong apa?”“Pisah kan?” tuduh Alea sambil menatap bengis pada Bram. “Kalau dar
Bisa nggak sih Alea menertawakan kencang-kencang dirinya? Bisa nggak sih dia bilang sama dirinya di masa lalu, kalau dia udah jadi perempuan yang benar-benar memalukan. Bahkan untuk saat ini hanya tangisan air mata saja yang Alea lihat wajahnya di cermin.Ia menatap lehernya yang penuh dengan bekas merah yang dibuat sama Bram.Ia mencengkram kuat ujung bajunya sebelum mulai menghapus ruam merah itu dengan make up miliknya.“Bahkan ... aku nggak bisa menyuarakan apa yang aku nggak suka. Bahkan aku nggak bisa bilang enggak. Bahkan setiap aku nangis, aku selalu di marahin. Bahkan aku udah mulai lelah sama semua ini.”Perempuan itu menunduk.“Semakin memalukan karena aku yang lakuin ini semua hanya demi uang. Hanya demi lima puluh juta yang udah dikirim sama mas Bram.”Perempuan itu duduk di depan meja cermin dan menghubungi orang tuanya. Butuh beberapa waktu untuk bundanya mengangkat panggilan tersebut.“Kenapa nak ... bunda lagi ada urusan? Ini kenapa kamu nelepon terus kayak gini? Ngga
“Saya nggak tahu kalau Tiara bakalan datang kesini. Tapi kamu udah makan kan? Ya ampun, padahal tadi saya udah janji sama kamu buat makan siang bareng. Tapi saya juga nggak mungkin kan tinggalin Tiara gitu aja demi kamu. Yang ada semuanya ketahuan. Jadi saya terpaksa tinggalin kamu dulu. Tapi, kamu nggak marah kan sama saya?”Alea menunjuk kotak bekal yang ada di atas meja dan tersenyum tipis.“Lah? Kotak bekal ini. Bukannya ini tadi yang di bawa Tiara buat saya?” tanya Bram lalu kotak bekal itu ia buka dan benar isinya tinggal sisa, walaupun masih ada beberapa lauk dan nasi. Tetap aja itu bekas dirinya. “Bentar dulu ... ini kamu yang makan?”Alea menegakan duduknya dan menggeleng.“Aku tadi udah minum di bawah, jadi belum terlalu laper. Eh ini malah tiba-tiba di bawain makanan sama istri kamu. Aku juga belum buka sama sekali. Emangnya kenapa?”“Ini makanan sisa mas.”Rahang Alea jatuh ke bawah dan ia menatap nggak suka.“Ini maksudnya apaan sih? Emang benar kan apa yang aku pikirin s
Hati Alea benar-benar dibuat semakin resah saat tahu Bram ini memberi nomornya ke pada orang yang sangat ia takuti. Alea bukan takut kalau Nona Tiara mengetahui ini semua. Dia lebih malas untuk menyelesaikan semua ini dan mendapat pandangan buruk yang membuat ia harus pergi dan memulai semuanya dari awal.Ia malas melakukan itu semua sendiri.“Aku nggak tahu apa yang bakal di lakuin sama nona Tiara. Tapi aku yakin ini semua nggak akan baik-baik aja dan aku harus mulai waspada sama semua ini!”Perempuan itu menghentikan kegiatan joging dan duduk dengan napas memburu. Alea buka headset yang sejak tadi terpasang dan mulai menatap sekitar.“Biasanya pagi weekend kayak gini, yang paling semangat ngajak olahrga tuh ya bang Chris. Soalnya kan mas Bram pasti sama nona Tiara kalau weekend. Tapi sekarang semuanya terasa sepi. Nggak ada lagi yang bisa aku ajak ngobrol. Di kota yang luas ini, nyatanya aku nggak punya teman sama sekali.”Perempuan itu mengeluh dan mulai duduk, meluruskan kakinya y
“Kamu dapat dari mana?”Anak kecil itu menutup mulutnya dengan polos dan menggeleng. “Nggak boleh ... aku nggak di bolehin buat bilang ke kakak. Aku cuman dipinta buat kasih ini aja ke kakak dan kasih tau ke kakak, kalau kakak nggak usah sedih. Karena bakalan banyak orang yang sedih lihat kakak itu sedih kayak gini.”Alea tertawa renyah dan memeluk anak itu lagi. Keduanya terlibat perbincangan yang seru sampai seorang laki-laki yang sejak tadi melihat mereka dari balik pohon.Laki-laki itu tersenyum tipis.“Nah ... lebih cantik tersenyum kayak gitu di banding nangis kan?”***Alea sudah kembali dari kegiatan larinya. Dia memasuki unit apartemen dan langsung saja bersih-bersih tanpa pikir panjang. Kemudian dia memilih beristirahat karena hari ini dirinya benar-benar bebas dari semua orang.“Nggak akan ada lagi yang mengganggu hari ini, karena beberapa hari terakhir nona Tiara selalu ada di rumah membuat mas Bram jadi nggak bisa kesini.”Perempuan itu terkikik sambil memotong timun yang