Share

Bab 06 Selalu Begini

Selama perjalanan, keheningan hanya menyapa Alea sama Bram. Kedua orang itu sama sekali nggak ada yang memulai bicara sama sekali. Karena mereka paham, pada akhirnya mereka hanya akan bertengkar satu sama lain setiap mau mulai membuka pembicaraan.

Sampai mobil Bram berhenti di sebuah pusat perbelanjaan.

“Kamu beli apa pun yang ada di sana. Bakalan mas bayar. Sekarang nggak ada batasan sama sekali. Kamu bisa bebas mau ambil apa aja. Asal kamu nggak ada lagi marah sama mas.”

Alea masih aja diam.

“Kenapa diam aja kayak gini? Harusnya kamu seneng dong karena saya bebasin kamu. Di saat biasanya mas selalu batesin uang belanja kamu. Apalagi baru beberapa waktu lalu mas kirim uang bulanan buat kamu. Jadi, nggak usah lah cemberut kayak gini. Mas mau liat senyuman kamu. Bukan sifat kamu yang gini.”

“Karena bukan ini yang aku mau!”

“Pisah? Yang kamu mau kamu pergi kan dari hidup saya? Tapi maaf saja ... karena kemauan saya bukan apa yang kamu mau. Jadi lebih baik diam dan dengarkan apapun perintah saya kalau kamu nggak mau hal buruk terjadi sama kamu atau keluarga kamu!”

“Mas ... berenti ancam keluarga aku,” protes Alea memandang kesal. “Ini semua salah aku dan mereka nggak tahu sama sekali tentang apa yang aku lakuin. Jadi, stop bawa mereka ke masalah kita. Karena aku bener benci banget sama kamu yang gini!”

Bram tertawa remeh.

Tangannya berada di pundak Alea dan ia tepuk perlahan.

“Sayangnya saya nggak peduli, kamu yang masuk ke hidup saya membuat saya harus jaga diri dan mengetahui semua tentang kamu. Jadi kalau kamu macam-macam sama saya, mereka akan kebawa juga.”

Bram menatap tajam Alea. “Jadi kalau nggak mau kenapa-napa, mendingan kamu diam dan jadi perempuan yang nurut sama saya,” lanjut Bram dengan congkak.

Melihat kalau Alea cuma diam aja membuatnya tertawa. “Bagus ...”

Alea menghela napas kasar.

Ia sudah terlalu malas. Perempuan itu membuka seatbelt dan keluar dari mobil. Ia hirup udara segar hari ini dan menghembus kan nya dengan kasar.

“Hari yang mengesalkan. Tapi aku harus kuat. Yuk bisa Alea!” seru Alea berusaha menyemangati dirinya sendiri.

“Aku harus selesaiin semuanya dengan baik. Karena ibu atau bapak nggak ada yang boleh tahu tentang semua ini! Walau kalau tahu juga pasti mereka nggak peduli. Tapi aku nggak mau kalau nanti pulang, mereka bakalan ungkit terus masalah ini! Jadi, lebih baik kalau mereka nggak tahu sama sekali.”

Bram ikut turun dari mobil, tak lupa dirinya mengunci mobil dan langsung merangkul Alea. Tidak ada balasan seperti biasanya. Mereka seperti pasangan yang sedang bertengkar satu sama lain. Nggak ada yang mau mengalah.

“Jangan cemberut kayak gini dong,” seru Bram sambil terus menyamakan langkahnya sama Alea.

“Kamu mau apa? Jangan diam aja kayak gini dong. Biasanya kamu suka kalau mas ajak ke tempat kayak gini loh. Saya nggak mau kalau kamu mendam semua nya sendiri. Kamu harus keluarin semua nya ya. Jangan kayak gini. Saya mohon.”

“Di sini yang salah itu kamu, kamu yang udah lukai hati saya. Tapi apa? Saya masih maafin kamu kan? Jadi, selagi saya masih baik. Lebih baik kamu turuti semua keinginan saya dan berhenti cemberut nggak jelas kayak gini.”

Bram menarik kasar Alea untuk semakin dekat dirinya. Lalu Bram mengusap lengan atas Alea dan mengecup pipi Alea.

Alea pasrah. Tenaga laki-laki jauh di atas dirinya dan ia nggak bisa menghentikannya sama sekali. Lagipula, ia malas bicara sama sekali.

“Nah ... begini dong. Nggak usah sok jadi perempuan. Ini kerjaan kamu, jadi profesional dan harus keliatan senang saat bersama saya!”

“Hmm ...”

“Oh iya ... kamu tahu nggak sih kalau hari ini banyak banget yang bilang sama mas kalau tahun depan mas bakalan dapat kebahagiaan melimpah. Ya ... semacam ramalan biasa sih. Tapi saya rasa ini ada hubungannya sama kamu. Bisa jadi tahun depan hubungan kita bisa lebih jauh kan?”

“Lebih jauh?” tanya Alea

Bram mengangguk dengan cepat. “Iya. Karena salah satu capaian yang belum saya dapat yaitu menaklukkan kamu dan saya asa kebahagiaan yang di maksud itu kamu. Jadi, saya harap kamu nggak pergi dari sisi ini dan kita selalu bareng.”

“Aku bingung deh, kenapa kamu bisa mikir sejauh itu. Disaat hubungan kita aja lagi nggak baik dan juga berhenti bayangin hubungan kita yang semakin membaik. Di saat kamu sendiri nggak pernah mau melepaskan istri kamu.”

“Bukan begitu ... saya butuh waktu dan kamu tinggal sabar aja kok.”

Alea mengernyit. Ia menggeleng pelan dan tertawa lirih.

“Lagipula ... kamu masih percaya sama ramalan nggak jelas?”

“Hus!” seru Bram sambil menepuk pipi Alea pelan. “Ramalan yang kamu udah remehin ini nyatanya yang udah banyak terjadi loh. Bahkan mas kalau bicarain tentang perusahaan ke depannya. Mas akan tanya sama orang penting itu dan semua jawaban dia ternyata beneran. Kejadian ke perusahaan mas. Jadi kamu nggak boleh remehin dia sama sekali.”

Alea mengusap hidungnya dan hanya bisa menggeleng.

Alea kadang nggak habis pikir sama sosok Bram. Sosok penting yang dikagumi banyak orang, tapi nyatanya selalu takut banyak hal. Dan berakhir mempercayai ramalan  nggak jelas. Dari lama Alea sudah berusaha memberi tau kalau semua ini nggak baik. Tapi dasarannya memang Bram yang nggak mau mendengarkan. Jadi, Bram terus aja melanjutkannya.

Lagipula,

Sejak kapan laki-laki itu mulai mendengarkan dirinya?

“Terserah kamu aja, mas. Intinya ... kamu terus percaya kita bisa bersama sampai nanti. Tapi kamu nggak ada niatan untuk cerai istri kamu itu kan? Jadi mau kamu percaya gimana pun. Kamu nggak akan pernah bisa terjadi ke hubungan kita.”

Bram tidak menjawab.

“Selama ini aku nggak pernah muluk-muluk sama semua ramalan kamu. Karena yang aku mau cuma kita bersama. Aku mulai capek, mas. Aku capek jadi orang kedua. Aku capek terus aja di sembunyiin atau aku yang harus hati-hati pas lagi sama kamu. Aku muak, mas. Aku juga butuh validasi dari semua orang dan kalau kamu cuma gini aja yang ada aku beneran mau pergi dari hidup kamu.”

“Bukan begitu Alea ... kamu tahu proses kan? Mas sama istri mas itu di jodohin. Kami juga sering bertengkar. Lagian mau mas sama istri mas tetap menikah juga nggak akan melunturkan kalau mas itu cinta sama kamu kan?”

“Tapi ... bukan itu yang aku maksud—

“Alea, dari awal hubungan kita yang memang gini. Kamu yang memberi saya kepuasan dan saya akan bayar kamu. Tapi sekarang kenapa mulai protes? Kamu beneran mau mas marahi atau mau mas bongkar!”

Alea menelan saliva. Seketika tenggorokannya kering.

“Gampang loh jadi, mas. Mas bisa aja kasih tau semua orang dengan kasih sedikit bumbu tanpa bawa nama mas. Dan berakhir kamu di rujak sama semua orang. Sementara mas? Nggak akan ada yang tau. Nama mas tetap bersih. Jadi dari pada kamu ngalamin ini semua. Mendingan kamu nurut dan diam aja!”

“Jahat ya kamu.”

“Terserah saya dong? Kan saya yang nyolong kamu selama ini.”

Alea menggeleng. “Terserah kamu aja lah mas. Nggak paham lagi aku tuh sama kamu.”

“Loh kenapa? Memang benar kan? Mas sama istri mas nggak saling cinta satu sama lain. Pernikahan kita juga nggak ngaruh tuh ke hubungan kita kan? Jadi harus nya kamu nggak usah protes sama sekali. Kita tetap terjalan dengan baik ini pernikahannya. Jadi ya gitu.”

Bram memiringkan wajahnya dan terdiam.

“Dan tentang yang tadi, mas cuma mengamankan posisi mas aja. Jadi nggak ada yang salah sama sekali. Kamu nggak tahu gimana usaha saya biar sampai ada di titik ini dan saya nggak mungkin ngebiarin kamu gitu aja dong hancurin posisi saya?”

Alea berhenti melangkah dan menoleh ke Bram. Membuat langkah Bram ikut berhenti.

“Kalau kamu memang nggak cinta, harus nya kamu mau pisah mas sama dia. Bukannya malah terus bertahan. Nggak mas. Aku tahu di mata istri kamu itu ada cinta ke kamu. Dan gitu juga sebaliknya. Aku paham kok. Kalau aku nggak seberharga itu sampai kamu mau pisah sama istri kamu demi aku doang.”

Alea mengusap kasar rambutnya dan berseru kecil.

“Dan egois banget kamu! Di sini yang ngelakuin tuh kita berdua. Jadi, kalau kena apa-apa ya udah seharusnya kita berdua juga yang nanggung. Bukannya Cuma aku yang di korbanin sama kamu. Tapi ... bukannya memang selalu gitu ya? Orang yang punya uang akan bertindak semau dia. Jadi, aku bisa apa?”

“Nah itu kamu tau ...”

Alea menggeleng dan meninggalkan Bram gitu aja. Dia melangkah lebar-lebar membuat Bram yang terdiam sejenak. Langsung memanggil Alea dengan kencang dan melangkah mengikutinya.

Semua orang menoleh, tapi dia nggak peduli sama sekali dan langsung bergegas ke arah Alea.

“Maksud kamu apaan sih? Kalau pun kita saling cinta. Nggak menutup hal kalau mas cinta kan sama kamu?” seru Bram sambil membalikkan tubuh Alea. “Kita yang saling cinta satu sama lain aja tuh udah bagus, Alea. Nggak perlu ada yang lebih.”

Alea menunduk.

“Kalau yang kamu khawatirin itu hubungan kita yang ketahuan. Mas bakalan pastiin kalau kita nggak akan pernah ketahuan sama sekali. Dan juga selama ini kita baik-baik aja kan? Jadi selama kamu nggak berulah. Kita nggak akan ketahuan sama semua orang.”

“Bukan masalah ketahuannya mas. Aku Cuma nggak mau berdiri di tengah harapan yang nggak pasti sama sekali. Aku nggak mau kalau pada akhirnya nanti kamu sama aku nggak akan pernah bisa bersama.”

“Bisa Alea ... mas kan pernah ajak kamu buat nikah siri. Tapi apa? Kamu nggak mau sama sekali kan? Nggak ... di sini memang kamunya yang nggak mau lanjutin hubungan kita. Kamu kayaknya udah lelah sama hubungan kita kan?”

Setelah ngomong begitu, ponsel Bram berdering. Laki-laki itu langsung saja mengeluarkan ponselnta dan seketika ia kelu melihat siapa yang menelpon dan menatap nggak enak sama Alea.

Alea dengan jelas melihat siapa penelpon Bram. Siapa lagi kalau bukan dari istrinya sendiri. Ia hanya tersenyum miris.

“Angkat aja mas, siapa tahu istri kamu lagi butuh.”

“Tapi kamu?”

“Pergi aja mas. Aku mau jalan-jalan di sekitaran sini juga. Nggak usah pikirin aku. Kasihan itu istri kamu.”

“Ya udah nanti mas transfer buat kamu. Mas pergi dulu ya? Mas minta maaf,” seru Bram sebelum bergegas kembali untuk menemui sangat istri.

Meninggalkan Alea sendiri.

“Selalu saja begini.”

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status