Alea rasa, baru beberapa waktu yang lalu dia merasakan kebahagiaan. Dia yang memiliki segalanya. Entah itu pangkat kerjaan, uang, kebahagiaan, teman yang banyak seperti Chris dan Bram dan masih banyak lagi.
Baru beberapa saat yang lalu dia ada di atas langit. Kini semuanya kembali ke kenyataan. Alea nggak tahu. Tapi semua ini beneran membuat dia benci sama hidupnya sendiri. Ia mau mencari ketenangan dan pergi dari dua laki-laki itu.
“Tapi, bisa apa aku? Aku Cuma orang yang terkekang dan nggak bisa apa-apa sama sekali. Aku Cuma bisa diam doang dan ikutin perintah mereka.”
Alea menatap dirinya yang udah memakai baju formal.
Hari ini dia harus kembali ke rutinitas. Ia harus bekerja dan kembali bertemu sama Bram. Orang yang sebenarnya mau dia hindarin dari lama.
“Argh ... bisa nggak sih aku pergi ke dua tahun yang bakalan datang? Aku ogah ah ada di masa ini. Capek aku.”
Dengan menggerutu Alea melangkah ke luar kamar apartemennya dan turun ke bawah. Sampai ia malah melihat Bram sedang menyandar di mobilnya dan melambaikan tangan ke arah dirinya.
“MAS!” seru Alea yang kaget langsung menoleh kanan kiri. Sebelum ia masuk ke dalam mobil, padahal belum Bram persilahkan.
Tapi Bram nggak mau tahu. Ia langsung jalan memutar mobil dan duduk di kursi kemudi. Ia menoleh dan memandang Alea dari atas sampai bawah dan tersenyum puas.
“Kayaknya mood kamu hari ini masih nggak baik deh. Kalau gitu gimana hari ini kita nggak usah datang ke kantor? Kita pergi aja jalan-jalan. Kamu bebas mau pergi kemana aja. Mas akan ikutin apa pun yang kamu mau. Asal kamu itu perginya sama mas. Bukan yang lain.”
Alea menggeleng.
“Lebih baik ke kantor aja mas.”
“Kamu masih marah sama mas?”
Alea menarik napas dalam. Bram dan sifat egoisnya selalu aja membuat dia sakit kepala. Ah rasanya dia beneran nggak sanggup harus mengucapkan sepatah kata ke Bram.
“Kamu masih permasalahin hal yang kemarin? Ini kamu kayaknya memang nggak suka sama mas ya. Mau cepat pisah sama mas? Apa karena laki-laki itu?”
“AKU BILANG, CHRIS BUKAN SIAPA-SIAPA AKU,” seru Alea. “Dan kamu itu memang sengaja mau buat aku makin buruk di mata semua orang kah?”
“Maksud kamu apa?!” seru Bram yang mulai menjalankan mobil.
“Kamu tahu kan banyak anak kantor yang lewat depan jalan ini? Terus kalau mereka lihat kamu di sini gimana? Aku nggak mau makin banyak komentar buruk ke aku. Aku udah capek, mas. Tempat aku kerja itu sama sekali nggak bisa buat aku nyaman kalau kamunya aja sama sekali nggak pernah mikirin gimana perlakuan kamu ke aku.”
Bram mengendikan bahu.
“Biarkan saja mereka, nggak ada gunanya sama sekali kamu mikirin mereka juga? Jadi, dari pada malah buat kamu pusing. Kamu tinggal nggak usah dengar apa yang mereka omongin kan? Gampang toh. Kamu nggak perlu pusing sama sekali lagi.”
“Santai banget ya kamu.”
“Memang begitu kan? Anggap aja angin lalu. Semakin kita masuk ke dalam. Semakin bikin pusing. Jadi jalan salah satunya ya pura-pura nggak tahu dan nggak usah peduli.”
Alea memejamkan mata, menahan emosi menggebu.
“Dengan segampang nya kamu bisa ngomong gitu, mas. Tapi yang ngerasain siapa?” Alea menepuk dadanya dengan kencang. “Kamu nggak pernah tuh di gosipin sama mereka. Tapi aku yang kena. Selalu aku yang kena.”
“Ya ... mau gimana lagi kan?? Saya itu atasan mereka. Jadi mereka nggak bakalan berani sama saya.”
Egois! Mungkin itu satu kata yang mau Alea teriaki. Tapi ia memilih memalingkan wajah keluar jendela dan menarik napas dalam. Berusaha mengontrol emosinya.
Alea mendengus.
“Bahkan mereka selalu menggosip karena kamu mas. Kamu yang kadang nggak pernah lihat tempat. Padahal aku selalu hati-hati dan tindakan kamu yang semena-mena malahan membuat aku jadi di bicarain sama mereka.”
“Ah ... sudahlah. Nggak usah nambah masalah baru lagi. Dari pada pusing kamu mau apa? Biar mas beliin. Kita pergi ke tempat yang kamu mau. Kamu bebas mau pakai sebanyak apa pun uang mas. Asal jangan bikin pusing lagi. Mas nggak mau.”
Alea menunduk. Tangannya melilit tali tas yang ia pakai. Ia hanya bisa tertawa lirih dan menggeleng.
Sedikit nggak suka sama cara Bram mengalihkan pembicaraan mereka.
“Ternyata aku beneran semurah itu ya mas di mata kamu. Aku bahkan nggak paham kenapa kamu bisa ngomong kayak tadi. Jadi, selama ini. Kalau aku lagi nggak mood atau marah sama kamu tuh. Kamu tinggal kasih uang aja ke aku dan kamu merasa setelah itu aku bakalan baik lagi? Ya ampun mas. Ini aku beneran kayak wanita murahan banget di mata kamu.”
Bram berdecak dan mengusap kasar rambutnya.
“Ya ampun Alea. Ada aja masalah yang kamu ungkit. Ini kayaknya setelah ada Chris. Kamu beneran jadi berani sama saya. Setiap saya ngomong, pasti aja selalu salah di mata kamu. Kayak saya tuh nggak bisa dapet kebaikan di kamu dan saya arus apa biar mendapat maaf dari kamu dan kamu nggak salah paham lagi sama saya?”
“Pisah mas,” seru Alea sambil menoleh ke arah Bram dengan cepat.
“Lagi? Kamu minta ini lagi setelah semua penolakan yang mas bilang?”
“Karena ini jalan salah satunya,” jelas Alea dengan lirih. “Kita udah nggak sejalan sama sekali, mas. Aku sama kamu itu udah beda. Pikiran kita juga udah beda. Masa depan kita juga nggak ada jaminannya sama sekali. Jadi untuk apa kita bersama?”
“Masa depan apanya sih ... kamu cuma punya saya dan saya akan treatment terbaik untuk kamu kalau kamu juga nggak berontak. Saya nggak paham sama pikiran kamu, dikasih yang enak tapi malah milih kesulitan. Memangnya kamu mau hidup kayak dulu lagi?” peringat Bram dengan cepat.
Alea terdiam.
“Tinggal di kost yang nggak layak gitu, dapet gaji kecil dan bahkan pakaian nggak layak. Tapi, lihat kamu sekarang. Kamu pakai brand mewah, tinggal di apartemen sebagus ini, bisa beli apa aja. Kamu benar-benar upgrade setelah sama saya dan sekarang kamu mau ninggalin semua ini dan balik kayak dulu?”
“Tapi kamu nggak akan paham sama apa yang aku rasain ...”
“Apa, apa lagi yang buat kamu nggak nyaman? Kasih tahu karena mas bakalan selesaiin semuanya biar kamu tetep di sisi mas!”
Alea menunduk.
“Aku nggak mau ada di jalan yang bahkan nggak ada harapan untuk aku sendiri. Aku nggak bisa sama sekali. Aku mau menyelesaikan semua ini.”
Alea menarik napas dalam.
“Tapi aku nggak bakalan pergi kalau kamu ceraiin istri kamu dan nikahin aku,” pinta Alea pada akhirnya.
Selama perjalanan, keheningan hanya menyapa Alea sama Bram. Kedua orang itu sama sekali nggak ada yang memulai bicara sama sekali. Karena mereka paham, pada akhirnya mereka hanya akan bertengkar satu sama lain setiap mau mulai membuka pembicaraan.Sampai mobil Bram berhenti di sebuah pusat perbelanjaan.“Kamu beli apa pun yang ada di sana. Bakalan mas bayar. Sekarang nggak ada batasan sama sekali. Kamu bisa bebas mau ambil apa aja. Asal kamu nggak ada lagi marah sama mas.”Alea masih aja diam.“Kenapa diam aja kayak gini? Harusnya kamu seneng dong karena saya bebasin kamu. Di saat biasanya mas selalu batesin uang belanja kamu. Apalagi baru beberapa waktu lalu mas kirim uang bulanan buat kamu. Jadi, nggak usah lah cemberut kayak gini. Mas mau liat senyuman kamu. Bukan sifat kamu yang gini.”“Karena bukan ini yang aku mau!”“Pisah? Yang kamu mau kamu pergi kan dari hidup saya? Tapi maaf saja ... karena kemauan saya bukan apa yang kamu mau. Jadi lebih baik diam dan dengarkan apapun perin
“Di mana kamu?”Belum selesai satu masalah. Alea sekarang malah di serbu sama pesan yang dikirim sama Chris. Semua pesannya berisi kata yang sama yaitu menanyakan posisi dirinya. Pesan yang terus dikirim sampai udah puluhan pesan yang masuk ke ponselnya.Alea tidak mengerti kenapa, tapi ini benar-benar berisik membuat dia terpaksa balas semua itu./Berhenti bang ... aku bilang stop tanya aku ini itu. Omongan abang yang kemarin udah buat aku yakin kalau abang nggak mau kenal sama aku lagi. Aku tau kalau abang udah kecewa sama aku. Maka dari itu, udah ya. Berhenti chat aku kayak gini./Dan setelah pesan dikirim, Alea malah mendapat panggilan dari Chris membuat ia menghela napas dalam. Dengan cepat Alea mematikan ponsel dan memasukkan ke dalam tas. Sebelum beranjak dari tempatnya kini.“Aku nggak mengerti sama sekali, kenapa bisa terjebak oleh dua orang yang benar-benar posesif. Aku nggak tahu kalau mereka bakalan sampai sejauh ini.”Alea mengacak rambutnya dan menghela napas. Ia nggak p
“Harus cari di mana uang sebanyak lima puluh juta?” Alea memeluk kakinya dan menarik napas dalam. “Lima puluh juta cuma untuk yang satu ini. Aku harus juga nyiapin sepuluh juta buat bayar hutang sama bunganya. Belum masing-masing lima juta buat uang jajan ibu sama bapak tiap bulannya.”“Dapet dari mana uang sebanyak itu?”Alea kembali menangis. Meratapi kisah hidupnya yang nggak pernah selesai.“Kapan aku bisa jadi orang kaya? Biar hal kayak gini nggak buat aku pusing lagi. Biar aku tahu harus nyelesain seperti apa kalau udah sejauh ini. Biar aku tau kalau aku juga berguna bagi orang tua aku.”Alea memandang langit yang sangat cerah.Teringat jelas masalah yang membuat dia ingin pergi dari hidup Bram.“Kalau kayak gini, aku bisa apa? Aku cuma bisa berakhir minta maaf sama mas Bram atas sikap aku. Biar aku bisa minta apa pun yang aku butuh. Biar mas Bram juga nggak ungkit semua masalah ini lagi.”Alea menarik napas dalam. Tangannya terulur meninju udara kosong. Ia benar-benar marah sam
“Alea ... apa kamu nggak mau mikir lebih dulu?”Hati Alea semakin ragu. Bayangan akan semua kebaikan Chris terus menghantui dirinya. Alea memang jatuh cinta sama Bram tapi dia juga nggak bisa memungkiri kalau bersama Chris dia jauh merasa aman. Seperti sosok kakak yang benar-benar menjaga adiknya dengan sangat hati-hati.Tapi bayangan tentang semua hutang orang tua membuat dia langsung menggeleng.“Maaf bang ... Abang bisa cari perempuan lain yang juga cinta sama abang. Pasti nggak susah kok. Apalagi abang tuh baik banget. Jadi, aku tuh yakin banget kalau abang bakalan dapat yang terbaik. Aku beneran seyakin itu ...”Chris melepas genggaman tangannya sambil melangkah mundur.“Berhenti jatuh cinta sama aku ya, bang.” Alea benar-benar memohon.Chris tertawa lirih dan menggeleng. “Mungkin gampang kamu ngomong kayak gitu. Kamu gak pernah merasakan apa yang abang rasakan selama ini. Kamu boleh suruh abang pergi tapi nyuruh abang biar nggak jatuh cinta sama kamu tuh egois banget. Nggak bisa
“TAHU DARI MANA KAMU!” seru Alea saat mereka udah di dalam lift, hanya berdua.“Udah bukan rahasia umum lagi sih. Lagian kamu memang ada tampang pelakor sih. Yaa namanya juga dari kampung. Pastinya kamu milih berbagai cara untuk mendapat apapun yang kamu mau. Tapi ya kalau sampai sejauh ini sih ... benar-benar memalukan.”Alea menatap bengis.“Nggak usah sok tahu, kamu! Maksudnya nggak usah ikut campur sama perempuan lain.”“YA ... memang nggak ada niatan ikut campur sih. Cuma geregetan aja sama kamu. Bisa-bisanya kamu lakuin hal jahat itu sama nona yang super baik itu. Atau ... memang kamu tuh nggak bakalan peduli sih sama hal kayak gini. Memang nggak punya hati nurani sama wanita lain. Dasar ...”Alea terdiam membuat perempuan itu semakin menggebu.“Dengar ya Alea ... kita semua di sini tuh udah pada tahu apa yang terjadi antara kamu sama tuan Bram. Tapi kita memang nggak mau ikut campur. Karena kita jelas tahu, orang yang punya banyak uang akan berakhir menang di banding kami. Aku
Setelah keluar dari ruangan kerja Bram, Alea benar-benar nggak kembali. Ia menyibukkan diri dengan file yang baru datang. Perempuan itu juga nggak peduli kalau mereka bakalan mengatakan hal yang buruk tentang dirinya. Yang ia punya kini hanya butuh waktu sendiri. Dia butuh menenangkan diri.***Pintu ruangannya terbuka dan ia melihat Bram masuk ke dalam. Langsung saja ia menunduk dan menghela napas dalam sambil terus saja menggeleng.“Kalau mas datang cuman buat bilang pisah, aku nggak bisa mas. Aku udah mikirin dari semalaman dan aku rasa kamu salah satu orang yang paling tepat di hidup aku dan setelah ngelewatin semua ini. Aku nggak mau kalau malah dengar penolakan dari kamu. Aku nggak akan pernah bisa sama sekali.”Bram duduk di depan Alea. Mendengar semua omongan selingkuhannya itu.“Kenapa? Kenapa tiba-tiba ngomong kayak gini?” tanya Bram dengan lembut. “Memangnya kamu tahu saya datang kesini untuk ngomong apa?”“Pisah kan?” tuduh Alea sambil menatap bengis pada Bram. “Kalau dar
Bisa nggak sih Alea menertawakan kencang-kencang dirinya? Bisa nggak sih dia bilang sama dirinya di masa lalu, kalau dia udah jadi perempuan yang benar-benar memalukan. Bahkan untuk saat ini hanya tangisan air mata saja yang Alea lihat wajahnya di cermin.Ia menatap lehernya yang penuh dengan bekas merah yang dibuat sama Bram.Ia mencengkram kuat ujung bajunya sebelum mulai menghapus ruam merah itu dengan make up miliknya.“Bahkan ... aku nggak bisa menyuarakan apa yang aku nggak suka. Bahkan aku nggak bisa bilang enggak. Bahkan setiap aku nangis, aku selalu di marahin. Bahkan aku udah mulai lelah sama semua ini.”Perempuan itu menunduk.“Semakin memalukan karena aku yang lakuin ini semua hanya demi uang. Hanya demi lima puluh juta yang udah dikirim sama mas Bram.”Perempuan itu duduk di depan meja cermin dan menghubungi orang tuanya. Butuh beberapa waktu untuk bundanya mengangkat panggilan tersebut.“Kenapa nak ... bunda lagi ada urusan? Ini kenapa kamu nelepon terus kayak gini? Ngga
“Saya nggak tahu kalau Tiara bakalan datang kesini. Tapi kamu udah makan kan? Ya ampun, padahal tadi saya udah janji sama kamu buat makan siang bareng. Tapi saya juga nggak mungkin kan tinggalin Tiara gitu aja demi kamu. Yang ada semuanya ketahuan. Jadi saya terpaksa tinggalin kamu dulu. Tapi, kamu nggak marah kan sama saya?”Alea menunjuk kotak bekal yang ada di atas meja dan tersenyum tipis.“Lah? Kotak bekal ini. Bukannya ini tadi yang di bawa Tiara buat saya?” tanya Bram lalu kotak bekal itu ia buka dan benar isinya tinggal sisa, walaupun masih ada beberapa lauk dan nasi. Tetap aja itu bekas dirinya. “Bentar dulu ... ini kamu yang makan?”Alea menegakan duduknya dan menggeleng.“Aku tadi udah minum di bawah, jadi belum terlalu laper. Eh ini malah tiba-tiba di bawain makanan sama istri kamu. Aku juga belum buka sama sekali. Emangnya kenapa?”“Ini makanan sisa mas.”Rahang Alea jatuh ke bawah dan ia menatap nggak suka.“Ini maksudnya apaan sih? Emang benar kan apa yang aku pikirin s