Share

Sendirian

Hazel terdiam selama beberapa saat. Pikirannya melayang ke mana-mana. Sekarang waktu seolah berhenti berputar.

“Kenapa tiba-tiba kau mengatakannya?” Hazel tersenyum masam setelah berhasil menguasai dirinya kembali.

“Tidak ada alasan. Aku hanya ingin mengatakannya sekarang.” Dean mengedikkan bahunya. Setelah kejadian semalam, dia mulai menyadari dirinya telah melakukan kesalahan.

Hening kembali. Hazel kehilangan kata-kata. Perasaan canggung melingkupi hatinya.

“Rasanya sudah terlambat. Olivia telah pergi. Dia tidak mungkin mendengar permintaan maafmu,” kata Hazel. “Tapi, aku percaya. Meskipun kau tidak meminta maaf padanya secara langung, dia pasti telah memaafkanmu.”

“Aku tahu itu,” gumam Dean. Dia menatap lurus ke arah Hazel. Ekspresi wajah gadis itu tidak bisa terbaca olehnya.

"Kalau tidak ada lagi yang ingin kau bicarakan, aku akan kembali ke dapur," kata Hazel kemudian.

Pikirnya, dia tidak mau berdiam diri terlalu lama di sini. Hanya berdua dengan Dean, membuat seluruh tubuhnya terasa gerah. Dean memiliki aura yang terlalu mendominasi, seakan mengintimidasi dirinya.

"Besok adalah hari pertama kau bekerja di sini," ucap Dean mengingatkan. "Kau sendirian karena aku menyuruh Sana mengurus rumahku yang lain. Jadi, manfaatkan hari ini untuk belajar banyak hal pada dia."

"Terima kasih atas kemurahan hatimu. Aku tidak mungkin bisa membalasnya," ucap Hazel berisi penuh sindiran.

Kemudian Hazel meninggalkan ruang kerja Dean sambil mengepalkan tangannya. Emosi menggelegak di dalam dada. Tapi, dia tidak mampu meluapkannya.

***

".... Untuk sarapan, Tuan lebih suka makanan yang sederhana. Kau bisa membuatkannya sandwich, telur orak-arik, atau pancake," jelas Sana. Dia mendadak berhenti berbicara saat mengetahui konsentrasi Hazel tidak tertuju padanya. "Apa kau mendengarkanku, Hazel?"

Mata Hazel mengerjap beberapa kali. Mulutnya gelagapan, dan mengeluarkan suara tidak jelas. Hazel lalu pura-pura batuk.

"Maaf, aku tidak bermaksud mengabaikanmu. Aku belum pernah melakukan semua ini sendirian, di rumah sebesar ini," kilah Hazel, berharap Sana tidak marah atau kesal padanya.

"Nanti kau juga terbiasa. Lama kelamaan kau bisa menguasai semuanya, asal kau mengikuti petunjuk sekaligus arahanku," ucap Sana seolah mengerti situasi yang kini dihadapi oleh Hazel.

"Terima kasih atas pengertianmu. Aku yakin aku mampu melakukannya." Hazel tersenyum kikuk. Dia memandang Sana lurus, mencoba meyakinkan Sana bahwa kelak dia baik-baik saja.

"Oh ya," tukas Sana, usai selintas pikiran singgah di kepalanya. "Meskipun Tuan Dean sering bepergian, kau tidak perlu khawatir karena rumah ini dilengkapi dengan sistem keamanan yang lengkap."

Hazel mengangguk, mengerti. Dalam hati dia membatin, tidak apa-apa bila dia sering ditinggal sendirian. Itu jauh lebih baik dibandingkan dengan tinggal bersama Dean, hanya berdua di rumah sebesar ini. Hazel tidak bisa membayangkan bila dia benar-benar harus menghadapinya. Dia pun bergidik ngeri saat membayangkannya.

"Kau juga tidak perlu mengkhawatirkan tentang itu. Penghuni tidak kasat mata rumah ini tidak pernah mengganggu, jadi sebaiknya buang jauh-jauh rasa takutmu," kata Sana seolah mengerti apa yang dimaksud Hazel. Padahal sebenarnya bukan itu yang Hazel takutkan.

"Oke, aku tidak akan takut," timpal Hazel dengan nada meyakinkan. "Satu lagi. Apa kau keberatan bila aku menghubungimu di jam-jam tertentu saat menemukan kesulitan?"

Sana menggeleng pelan seraya mengulas senyum manis. "Tidak. Kau bisa menghubungiku kapan pun kau mau. Aku malah senang jika kau melakukannya. Setidaknya aku mengetahui kondisimu setelah aku pergi," kata Sana.

Hazel menyunggingkan senyum tulus. Dia menggenggam tangan Sana erat. Meskipun mereka baru bertemu, dan hanya beberapa hari kebersamaan mereka, Hazel merasa bahagia. Setidaknya pernah ada seseorang yang hadir dalam hidupnya, menunjukkan arti persahabatan yang sebenarnya.

***

Beberapa hari berikutnya.

"Hazel ...."

Dean berkeliling di rumahnya, mencari Hazel yang entah ke mana. Di rumah ini tidak ada siapa-siapa selain mereka berdua. Sepuluh menit dia mencari, tapi dia tidak kunjung menemukan Hazel.

“Hazel ….” panggil Dean, masih berusaha mencari.

“Maaf, aku tidak mendengarmu.”

Dean langsung membalikkan badannya begitu mendengar suara Hazel di belakangnya. “Ke mana saja kau?” tanya Dean. Wajahnya terlihat gusar.

“Aku baru saja merapikan barang di gudang. Makanya aku tidak mendengar panggilanmu,” jawab Hazel santai. “Atau jangan-jangan kau berpikir aku kabur dari sini?” Hazel menyipitkan matanya sambal menarik ujung bibirnya ke atas.

Jleb. Dean tidak berkutik. Pertanyaan Hazel tepat sasaran. Sebelumnya tadi dia memang sempat berpikiran seperti itu.

“Aku tidak berpikir seperti itu,” elak Dean. “Lagi pula kau tidak akan pergi jauh. Anak buahku pasti bisa menemukanmu dengan mudah.”

Hazel tertawa ringan mendengar ucapan Dean. Dia menyimpulkan ternyata Dean tidak pandai berbohong. Ekspresi wajah Dean mudah terbaca olehnya.

“Ya, kau memang benar. Aku tidak bisa pergi ke mana-mana,” timpal Hazel masam. “Ngomong-ngomong kenapa kau mencariku?” Hazel mencoba mengalihkan pembicaraan karena topik itu terlalu sensitif untuknya.

“Malam ini aku tidak pulang. Aku akan pergi selama dua hari. Jadi kau tidak perlu menyiapkan keperluanku,” ujar Dean memberi tahu Hazel.

“Kau akan pergi ke mana?”

Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir Hazel. Detik selanjutnya dia menyesal karena telah bertanya. Dia tidak ingin Dean mengira dia benar-benar peduli pada laki-laki itu.

“Aku akan pergi ke luar kota untuk menghadiri konferensi bisnis,” jelas Dean santai. Dia lalu bergegas meninggalkan Hazel sendirian.

Hazel memandang punggung Dean yang perlahan menghilang dengan tatapan kososng. Entah kenapa kini hatinya merasa hampa. Dia merasa sendirian dan ditinggalkan.

***

"Senang berkenalan denganmu," ucap seorang laki-laki paruh baya sambil menjabat tangan Dean. Andito, nama yang dia sebutkan tadi. Seorang pengusaha tambang terkenal.

Mereka tengah duduk menghadapi sebuah meja besar bersama pengusaha lain di acara ramah tamah usai konferensi dibubarkan setengah jam lalu. Dean tersenyum tipis ke arah lawan bicaranya. Dari penampilan laki-laki itu yang kharismatik, Dean bisa menilai bahwa Andito adalah seorang pengusaha yang sukses.

"Sayangnya aku baru bertemu dirimu sekarang. Seandainya kita berkenalan sejak dulu, mungkin kita bisa menjadi menjalin kerja sama," kelakar Andito setelah beberapa saat.

Dean hanya manggut-manggut setuju. "Mungkin saja. Tapi, tidak menutup kemungkinan, kelak di masa depan kita bisa bertemu kembali dan menjalin kerja sama," timpal Dean sungguh-sungguh.

Andito hanya tersenyum menanggapi. Kemudian dia meninggalkan tempat duduknya karena seseorang datang menyela obrolan mereka. Sebelum pergi dia sempat memberikan kartu namanya pada Dean.

Dean menghempaskan tubuhnya di atas kasur kamar hotel delux yang dia sewa selama dia menghadiri konferensi bisnis antar pengusaha yang berlangsung hingga besok. Acara sepanjang hari ini benar-benar telah menyita seluruh tenaga serta pikirannya. Tapi, itu setimpal dengan apa yang dia dapatkan. Dia bertemu dengan banyak pengusaha perusahaan potensial.

Tiba-tiba dering ponselnya terdengar. Dean segera mengambil benda pipih itu di atas meja. Tertera nama Hazel di depan layar ponsel.

"Ada seorang wanita muda mencarimu. Aku harus bagaimana?" tanya Hazel saat Dean mengangkat teleponnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status