'Jadi ... penampilan gue, huh?'
Jam 09:18 malam. Berbalut apron cokelat susu, berdiri mematung di balik meja barrier, si adam menunduk. Posisi persis seperti anak kecil yang kena marah orang tuanya hanya karena keinginan sederhana macam menyicip jelly atau choco ball banyak-banyak. Lalu ribuan kalimat wejangan terus berputar di kepala. Lama-lama jadi hafal begitu saja.
Merasa tengkuknya sakit, Juna mendongak. Ia menggerakkan kepala untuk melemaskan otot-otot leher. Maniknya lalu mengitari ruangan. Hari ini kafe tidak begitu ramai. Sampai bosan Juna dibuatnya. Saking frustasinya volume musik ia kecilkan. Berkebalikan ya? Tapi begitulah Juna.
Toko bernuansa putih itu tidak begitu jauh dari gedung kampus Juna, kira-kira sepuluh menit untuk berjalan kaki. Tetapi tidak juga dekat dengan pusat kota. Tepat di depannya adalah bulevar beraspal, di seberang ada pagar universitas swasta. Lalu kiri dan kanannya ada beberapa pertokoan, sementara di belakang dominan rumah warga juga indekos yang bertebaran.
Satu embusan napas panjang keluar bersamaan dengan tubuh yang meluruh untuk duduk. Juna mengeluarkan ponsel, berniat bertemu crush-nya untuk menaikkan level. Tetapi sekejap kemudian ia ingat harus memeriksa tanggal kadaluarsa dari beberapa persediaan bahan makanan dan minuman. Benda pipih nan persegi itu kembali masuk ke saku celana. Masih robek pula di bagian lututnya. Jelas saja, dia belum sempat pulang setelah kuliah—setelah mendapat pencerahan dari Sena. Entahlah bisa disebut saran pamungkas atau tidak.
Sekitar 40 menit sebelum jatah kerjanya habis, Juna pun melangkahkan kaki ke arah tumpukan keranjang dan meraihnya satu. Lalu penyortiran dimulai dari rak penyimpanan paling ujung. Tentu tidak semua barang harus ia periksa hari ini. Hanya beberapa jenis yang sudah cukup lama tidak diperbarui.
Sembari menatap deret angka hitam kecil-kecil itu, bibir Juna juga komat-kamit melantunkan apa yang ia lihat. Belum sempat mendapat barang basi, lonceng di pintu menginterupsi aktivitas Juna.
"Selamat da...tang..."
Mungkin sudah bisa ditebak pengunjung macam apa yang masuk. Pastinya cukup mengejutkan sebab suara Juna jadi terputus-putus seperti itu. Kesekian kalinya untuk malam ini tubuhnya terpaku di tempat. Pupilnya pun demikian—terfokus pada satu objek yang masih berdiri di dekat pintu kaca.
Berbaju ivory dengan bandana senada, presensi itu membuat Juna tak habis pikir sebab keinginannya semalam terkabulkan.
"Oh... Arjuna?" sapa si pemilik senyum manis itu. Bahkan sekarang juga tengah terlukis di wajahnya.
'Lord, dia ingat gue?'
Masih dengan bibir sedikit terbuka, si adam membatin. Beruntung kesadarannya bisa pulih. Bagaimanapun juga ia harus membalas ucapan gadis itu.
"Arin, kenapa di sini?"
'Goddammit! Pertanyaan gue bodoh banget, asli!'
Jika saja Juna bisa menghentikan waktu barang sedetik, ia sangat ingin menampar pipinya sendiri. Tolong, Juna mau jadi butiran debu saja.
Ketika dia merutuki diri sendiri, Arin berhenti di depan meja barrier dan mendongak untuk menatap menu yang tertulis estetik di papan. Nampak tengah mencari apa yang ingin ia santap malam ini.
"Aku akan membeli sesuatu," balas puan itu kemudian. Ia pun sedikit bergeser untuk melihat lebih jelas lajur makanan dan minuman yang tertera. Suasananya terkesan dingin memang. Selain tidak begitu kenal, Arin juga sedang fokus pada tujuan. Sementara Juna—jangan ditanya bagaimana gelagatnya.
Dengan santai si gadis mengalihkan pandang memeriksa daftar menu yang lebih lengkap di kertas. Tidak tahu saja jika di ruangan itu, tepat dihadapannya, ada yang ribut minta ampun. Detak jantung. Jelasnya itu punya si adam, sebab kondisi Arin terlihat tenang-tenang saja. Sedang sibuk memilih apa yang ingin ia cecap sembari pulang dalam balutan gulita yang tenang.
"Arjuna?"
Secepat kilat yang dipanggil sadar dari lamunan dan meraih pena serta kertas di meja. Anggap saja itu memang refleks dari tubuhnya. Biasanya 'kan memang suka gerak cepat si Juna itu. Masalah fisik sih, jangan diingat soal hati.
"Ya?" tanyanya ketika mengarahkan obsidian pada Arin.
"Jadinya berapa?" Gadis bersurai jelaga itu pun berucap.
"Ah, iya, jadi—" Entah kenapa Juna jadi kikuk dan otaknya kosong seketika. Antara lupa atau tidak dengar, tapi perasaan Arin belum memesan. Ia jadi bingung apa yang harus dihitung. "Maaf, kamu pesan apa?"
Melihat pemandangan semacam itu, Arin malah tertawa pelan. Alasannya satu, Juna terlihat lucu dengan gerak pupil yang kebingungan sebelum melempar kata maaf. Dan tawa kecil Arin tambah membuat si adam ingin melompat dari kumpulan awan.
"Kenapa?" ucap Juna.
"Kita seumuran, kan?"
Juna bingung, tapi mengangguk saja. Sementara Arin masih menatap gestur pemuda di depannya. Yang dipandang sudah salah tingkah pangkat kuadrat. Juna menggigit bibir dalamnya sembari sedikit menoleh ke kiri, menyembunyikan deret logam kecil di daun telinga—teringat pesan dari Sena.
'Penampilan luar selalu jadi yang pertama masuk ke mata orang.'
"Aku nggak tahu kamu kerja di sini." Akhirnya Arin memecah keheningan beberapa saat lalu. Jika tidak, bisa mati berdiri si Juna sebab tidak tahu hendak bicara apa.
'Kita baru dipertemukan kemarin. Selanjutnya boleh nggak sering ketemu?'
"Iya, daripada bosan."
Apa yang dibatin kontras dengan apa yang keluar dari mulut. Juna memilih untuk menjawab secara normal saja. Sekuat apapun paksaan hati, otaknya juga masih berfungsi. Banyak hal harus dipertimbangkan dalam bertindak, yes or yes?
Arin mengangguk ketika menanggapi ucapan Juna. "Aku pesan caffe latte hangat." Gadis itu mengulurkan telunjuk pada satu nama minuman di kertas menu.
"Ah, oke." Juna menyahut kemudian segera pergi ke mesin untuk meracik kopi. Diikuti pandangan Arin yang nampak tertarik melihat proses pembuatan minuman kesukaannya itu.
Tak perlu waktu lama, dengan skill yang sudah cukup Juna kuasai, caffe latte masuk dalam gelas dengan tutup bundar yang direkatkan. Juna lantas kembali ke hadapan Arin untuk menyerahkan pesanan. Tak lupa ia juga menyebutkan nominal yang harus gadis itu bayarkan. "Langsung pulang?" tanya Juna sembari menunggu sang puan merogoh rupiah di tas kecilnya.
"Iya, sudah malam," kata Arin tanpa membalas tatapan lelaki itu. Barulah ketika ia menyerahkan uang, manik mereka saling bersua. "Terima kasih," katanya sembari tersenyum manis.
Benar-benar... kalau begini Juna tidak bisa tidur nyenyak nanti malam, sebab kecanduan dan tak sabar dengan ketetapan semesta untuk mempertemukan mereka lagi.
Arin berbalik, sementara Juna menoleh pada jam besar di dinding. Pukul 09:53 malam. Tujuh menit sebelum jam kerjanya habis. 'Agh! Gue pengen pulang sekarang!' pekik Juna dalam hatinya.
"A—"
'No, Juna, no! Lo aneh kalau tiba-tiba ngajak pulang bareng.' Pemuda itu masih perang batin rupanya.
Lantas derit pintu beserta gelap di luar menenggelamkan konfigurasi Arin dari pandangan Arjuna.
-: ✤ :-Juna :Kill me, please! |Terkirim pada kontak bertajuk Sena, namun pesan yang masuk kemudian malah dalam ruang obrolan berlima. ❬GD LKING❭Sena :
→ Forwarded | Kill me, please!"What a fudge! Sena Mahatma sialan!"
»»----- ⋆ ᵐⁱʳᵃᶜˡᵉ ⋆ -----««❬ GD LKING ❭ Sena :→ Forwarded| Kill me, please! → Forwarded| Gue pulang bareng dia! Banu :| Oh my... Tara :| Juna, kan? Kamal :| Juna??? Really?!?! Wow!!! Sena :| @Juna Klarifikasi sendiri lo sini! "Iya gue, puas lo semua?!" Baik, mari kita tilik apa yang terjadi satu jam lalu : "A—" Mulut Juna terbuka dengan satu abjad yang ia suarakan. Selebihnya tidak ada lagi, meski dua bilah bibirnya belum terkatub. Ia mengurungkan niat untuk menawarkan diri sebagai teman pulang dari si gadis yang baru saja membeli kopi di tempatnya kerja. Juna sadar bahwa hal itu kemungkinan besar terdengar aneh. Apalagi jika di jalan nanti tidak ada topik pembicaraan. Pasti... awkward, yakin! Lantas derit pintu beserta gelap di luar menenggelamkan konfigurasi Arin dari pandangan Arjuna. Si adam t
❬ GD LKING ❭ Juna :IYA GUE, PUAS LO SEMUA?! | Tara :| Ahahaha.. gapapa, gue dukung Banu :| Snatai woii| Bts hue juga dukunh| BTW Kamal :| Cerita ayo ceritaa!!!!!! Banu :| Njir typo mulu fue| Gue Sena :| Nyimak Tara :| 2 Kamal :| 333 Banu :| @Juna Gecee, atau gue nih yabg cerits Sena :| @Banu Lo mau cerita apa anjir Kamal :| @Juna Gue doain dapet!!! gut lakkk Sena| @Juna Gue udah ngasih wejangan ya, inget Lalu ponsel dibawa tangan sang empunya jatuh ke tempat tidur. Hanya melepas tas dan sepatu, Juna pun sudah telentang di kasur. Tadinya ia mengirim pesan ke Sena saja, semacam laporan. Tapi sialnya si Sena malah meneruskan pesan itu ke grup gengnya. Heboh sudah ketiga kawan Juna. Bena
Lima hari kuliah dan lima hari pula bekerja. Sabtu dan Minggu adalah hari kebebasan. Sayangnya momen itu masih besok dan lusa. Jumat malam ini harus Juna selesaikan dulu kewajibannya. Toh, kira-kira lima menit lagi jam kerjanya habis.Di balik meja panjang sebagai batas pemesan dan karyawan, lelaki itu menyusun beberapa botol bahan minuman yang baru. Begitu memegang wadah susu, tangannya berhenti secara otomatis. Matanya memang terpaku pada benda-benda tersebut, tapi tidak dengan pikiran yang malah memutar reka ulang tentang presensi si penikmat caffe latte buatannya tempo hari.Rasanya sekarang minuman itu sangat identik dengan Arin—khusus bagi Juna, no debate. Lantas entah nyanyian binatang malam mana yang berhasil menarik dua sudut bibir si taruna, Juna tersenyum sembari meletakkan botol-botol memanjang itu. Orang aneh. Seaneh perasaannya, seaneh getaran dalam hatinya, seaneh kupu-kupu yang akhir-akhir ini sering terbang tak beraturan di
Saturday, freeday. Keuntungan tinggal sendiri adalah kebebasan di hari libur. Hendak bangun siang, hendak sekian jam rebahan, tidak akan ada yang mencerca. Meski jendela kaca dengan gamblang sudah mempersilakan cahaya masuk ke dalam. Memberi terang pada segala benda yang bergumpal di berbagai bidang. Berbalut kaus putih polos dan celana panjang dominan hitam, Juna masih tenggelam di atas kasur. Selimut kelabunya sudah tak tentu tempat, sebagian menyapu lantai di bawah ranjang. Sementara sang empu tengah berada di semestanya sendiri. Kedua tangan Juna memegang ponsel di udara, tepat di atas dadanya. Tidak ada aktivitas yang dilakukan oleh jemarinya setelah tadi berkirim pesan dengan orang tua. Saat ini Juna benar-benar hanya diam sembari menatap layar hidup itu. Sebelum... dia tersenyum sendirian. Mau tau apa yang dilihatnya? Jika ditebak itu video anak-anak kucing atau cerita bergambar macam komik, maka itu
D-day, theme park.Alunan musik yang mengisi ruang udara tiap penjuru taman hiburan benar-benar memanjakan telinga. Baru memasuki gapura, wahana pencakar langit sudah menampakkan rupanya. Membuat orang-orang tertantang untuk menaklukkan mereka. Terlebih ketika cuaca yang begitu mendukung seperti hari ini.Tidak ada badai, tidak ada hujan. Gumpalan kapas samar terlihat di langit lazuardi. Sinar dari sang rawi hangat menyapa tubuh-tubuh yang kegirangan melangkah usai menyerahkan tiket pada para petugas. Mereka yang menjadi bagian dari pengunjung itu berjalan bersama, dua belas orang jumlahnya. Banyak juga ternyata. "Gunting, batu, kertas!" Dengan sangat tiba-tiba salah seseorang berteriak. Manggala Banu, kini tangannya sudah mengacungkan dua jari berlambang V di depan tubuhnya. Begitu juga dengan sebelas orang lainnya—secara otomatis. Meski mereka tidak tahu untuk apa melakukan itu. Sementara Banu kembali meneriakkan tiga kat
"Aaa!!!"Sepertinya pengelola theme park harus menambahkan satu manusia sungguhan yang berperan dalam rumah hantunya. Untuk lowongan itu Sena sudah memenuhi kriteria sebagai aktor utama. Bagimana tidak? Sejak memasuki wahana Adu Nyali dua menit lalu, suara teriakkannya mengalahkan pekikan audio yang diputar dalam ruang sempit nan panjang itu. Berjalan di tengah, teman-teman yang ada di depan dan belakangnya seringkali menggerutu karena terkejut dengan ulah Sena. Sementara Lila yang sedari tadi dicengkeram lengannya hanya sesekali mengumbar tawa. "Gue lebih takut teriakan lo daripada suara hantu di sini, anjir," gerutu Yasa yang memimpin perjalanan bersama Yusi. Ia melirik singkat pada Sena sebelum kembali fokus untuk jalan. "Dandanin dikit aja lo bisa lah kerja di sini. Gue yakin bakal lebih nyeremin daripada zomb—TUH! TUH! TUH KAN MUNCUL LAGI!" Niat Banu mau ikut mencerca Sena, tapi ia sendiri juga terkejut sebab ada makhluk pe
Orang kata, Senin adalah hari yang berat. Actually, yes. Sebenarnya apa yang membuat awal pekan itu menjadi suram dan tak nyaman? Meninggalkan dua hari bebas, lantas kembali pada rutinitas? Rasanya seperti memulai sesuatu yang lama-lama membosankan, ya?Bagi Juna, Senin pada pekan ini berbeda. Bukannya positif, malah negatif saja yang bertambah. Semua rumit, sejak dia kenal cinta. Terlebih, penolakan kemarin. Ah! Juna ingin mendelesi diri dengan mantra. Ketika segala hal berputar tak beraturan di kepala, mood pun ikut terseret jadinya. Ketika psikis terasa lelah, fisik juga terkena imbasnya. Dengan langkah gontai, Arjuna menapaki lorong fakultas untuk sampai di kelas pagi ini. Jujur saja dari hatinya yang paling dalam, ia malas melakukan apapun hari ini. Tetapi juga enggan jika presensinya tidak lengkap untuk tiga mata kuliah, lalu berakhir tidak bisa ikut ujian semester nantinya. Tak kalah mengenaskan daripada ditolak oleh orang yang disukainya.&n
Gelap sepenuhnya menyapa dirgantara. Rembulan menggantikan sang surya bekerja. Berteman bintang dan lampu bohlam, beberapa orang masih stay dengan aktivitasnya. Detak jarum jam sebulat bumi di dinding memekakan telinga. Menyatakan sepi menjadi semakin kentara. Dan Juna dibuat bersiap meninggalkan tempat kerja kala shift-nya hampir usai malam ini. Pemuda itu memeriksa isi tas, memastikan ponsel sudah dalam saku, lalu tinggal menunggu rekannya untuk menggantikan pekerjaan. Juna bertemu dua teman kerja setiap harinya. Ketika raja siang bersinar kokoh hingga melukis senja, maka lelaki tengil bernama Morgan yang menemani Juna. Kala putri malam mempercantik hitamnya angkasa, ada Oliv yang menggantikan tugas Juna hingga tepat tengah malam sekaligus penutupan jam operasional kafe. "Juna, air!" Seseorang menempel pada pintu kaca yang terbuka. Bukan Morgan, bukan pula Oliv rekan kerja Juna. Kehadiran satu orang ini sudah biasa, n