Zidan menghela napas berkali-kali. Semenjak mendengar Alden dan Rayna akan menikah, pria itu tampak selalu menyendiri.Katakanlah kalau dia itu memang munafik, jika di depan Alden, pria itu terus ceria, seolah-olah berkata kalau dirinya sudah tak memiliki perasaan apapun lagi dengan Rayna, kenyataannya itu salah besar.Rasanya rumit kalau untuk dijelaskan, tapi ingin berteriak untuk hal yang dirasakan. Dari hati yang paling dalam, ada yang masih mengganjal di hati Zidan, entah itu apa.Kepala Zidan menengadah ke atas seraya memejamkan matanya."Pintu yang tidak dibukakan jangan diketuk lagi, itu namanya nggak sopan, Zidan. Lupakan saja, lupakan. Dia hanya masa lalu kamu, sementara kamu saat ini sudah mempunyai masa depan, yaitu istri kamu. Berhentilah menyakiti diri kamu sendiri dan juga orang yang ada di sampingmu, Zidan," gumam pria itu guna mengingatkan dirinya sendiri."Kenapa nggak masuk, Mas? Udara di luar tampak begitu dingin."Zidan tersentak, dia menoleh ke arah sumber suara
Akhirnya hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Hari ini adalah hari pernikahan Alden dan juga Rayna.Zidan menatap dirinya sendiri dari pantulan cermin seraya tersenyum tipis.Sebentar lagi dia akan datang ke tempat acara mereka berdua, lantas kenapa dia menjadi gugup seperti ini?"Dek, bagus nggak sih kalau pakai ini?" tanya Zidan.Zara geleng-geleng kepala seraya tersenyum tipis. "Mas udah ganti baju berapa kali sih? Coba lihat tuh, berantakan," ujar wanita itu seraya menunjuk ke arah pakaian Zidan.Pria itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil nyengir lebar. "Aduh, maaf ya, Dek. Nanti aku bantuin rapihin deh, habisnya aku merasa pakai baju apa aja nggak ada yang cocok. Heran deh," keluh pria itu."Bukan pada nggak cocok, tapi Mas itu terlalu gugup. Yang Mas pakai saat ini udah bagus kok, cocok banget. Udah ya, nggak usah diganti lagi," pinta istrinya itu."Tapi aku kurang suka sama warna bajunya.""Terus Mas mau pakai baju yang mana? Biar aku bantu cariin deh," usul wanita itu
"Selamat, Bro. Akhirnya nikah juga," kata Zidan seraya memeluk temannya itu.Alden pun membalas pelukan pria itu. "Terima kasih, Zidan. Kalau bukan karena kamu, nggak mungkin aku bisa seperti ini, menikah dengan orang yang aku cintai. Semua ini berkat kamu, karena kamu yang bantu aku, dan juga merelakan rasa egomu hanya untukku. Maaf karena aku udah egois banget sama kamu, mengambil pacarmu tapi tidak memikirkan bagaimana perasaanmu."Zidan tersenyum getir. "Aku rela mengorbankan perasaanku karena aku kasihan sama kamu. Aku tidak pergi, aku hanya membatasi diri untuk tidak menggangu Rayna lagi. Jujur, sampai saat ini aku belum bisa melupakannya, aku masih mencintainya, tapi aku sadar kalau aku ini bukan pilihannya. Alden, jaga Raynaku baik-baik, sampai kapanpun itu. Hanya itu yang kupinta darimu," pinta pria itu."Apa kamu berniat ingin menghancurkan acara pernikahan ini?" tanya Alden dengan suara berat, kentara sekali kalau sedang menahan gejolak amarah."Nggak, aku cuma mau mengelua
"Sial!"Alden mengumpat ketika melihat ban mobilnya tampak kempes, pria itu menyugar rambutnya dengan kasar, menengadah ke atas, lagi-lagi umpatan kasar yang dikeluarkan dari bibir pria itu.Sebentar lagi hujan akan turun, sementara dirinya masih saja di sini, menunggu jemputan yang katanya akan datang. Kenyataannya sudah hampir satu jam Alden menunggu, orang itu belum muncul di hadapannya.Alden mengambil ponselnya di saku celana, menghubungi temannya, Zidan."Kamu di mana, sialan! Aku udah nunggu lama banget," keluh Alden, ketika sambungan telepon itu terhubung."Astaga! Sorry, Den. Aku lagi sibuk ngurusin kafe, nih. Sepertinya nggak bisa jemput kamu, kafe lagi rame banget."Alden mendengkus keras ketika mendengar alasan temannya itu."Terus kamu biarin aku di sini gitu?" tanya pria itu sinis."Aku akan menyuruh Rayna menjemputmu."Alden mengerutkan keningnya. "Rayna? Siapa?" tanya pria itu bingung."Calon istriku," jawab Zidan. Dari nada bicaranya, sepertinya pria itu gugup.Mulut A
Alden menggeram kesal ketika ada yang mengusik tidurnya.Ponselnya beberapa kali berdering. Awalnya pria itu mengabaikan, akan tetapi deringan ponsel itu terjadi berulang kali, membuat pria itu dengan berat hati mengangkatnya."Ya?" jawabnya dengan suara serak."Den, aku bisa minta bantuanmu?""Nggak bisa, aku sedang sibuk!" jawab pria itu ketus.Terdengar helaan napas dari ujung sana."Dengan wanita?"Alden tertawa pelan. "Oh, ayolah. Kamu pasti sudah tahu kebiasaanku seperti apa.""Kapan kamu akan berubah, Den. Tiap hari begitu terus. Nggak takut terkena penyakit karena sering gonta-ganti wanita?" tanya Zidan dari ujung sana. Sepertinya pria itu tampak lelah untuk menasehati temannya itu."Entahlah, aku happy seperti ini," kata Alden. Namun, dari nada bicaranya terdengar begitu putus asa."Katakan padaku, wanita seperti apa yang kamu inginkan. Aku akan membantumu mencarikannya, agar kamu berhenti untuk bermain-main, Alden."Lagi-lagi pria itu tertawa. "Yang pasti ketika aku di dekatn
"Aku beneran nggak bisa antar kamu, Sayang."Rayna tersenyum kecut, selalu saja mendapat penolakan dari Zidan. Padahal dia hanya menginginkan ditemani oleh pria itu."Alasannya sibuk lagi?" tanya wanita itu sambil tersenyum miris."Iya, kafenya ramai banget.""Nggak ada alasan lain selain kafe ramai? Dari dulu selalu itu saja yang kamu ucapkan.""Maaf, Sayang. Aku memang berbicara jujur. Harusnya kamu senang, dong, karena nanti kalau kita sudah menikah, hidup kita nggak bakalan susah lagi," terang pria itu dari ujung sana."Aku cuma butuh waktu kamu, Dan. Nggak lebih." Rayna memohon, rasanya sungguh lelah karena setiap dirinya ingin mengajak calon suaminya bertemu, Zidan selalu saja menolak.Dari ujung sana, Zidan menghela napas berat. "Maaf, Rayna. Aku beneran nggak bisa, lain waktu aja ya. Atau kamu pergi ke toko buku aja sendiri. Sekali lagi maaf, aku melakukan semua ini untuk masa depan kita."Rayna mengepalkan tangannya. Rasanya sudah muak dengan alasan yang Zidan lontarkan. Pria
Sepanjang perjalanan, Rayna terus saja menggeleng pelan. Masih tak menyangka apa yang dia lihat barusan."Dasar laki-laki gila! Bisa-bisanya dia berbuat mesum di depan umum. Dan apa-apaan wanita itu, kenapa dia mau aja digituin sama dia. Nggak habis pikir aku," gerutu wanita itu."Hei, Rayna. Tunggu!"Rayna menoleh ke belakang, mengerutkan keningnya karena rupanya sedari tadi pria itu terus membuntutinya.Karena malas berhadapan dengan pria itu, ditambah lagi Rayna masih syok dengan pemandangan tadi, wanita itu memutuskan untuk mengacuhkan pria itu."Rayna, please berhenti dulu. Aku mau ngomong sama kamu. Kamu dengar nggak sih aku panggil?""Nggak dengar," sahut Rayna malas.Rayna tersentak kaget ketika ada yang menarik tangannya. Akibatnya, kini tubuh wanita itu menubruk pada dada bilang milik pria itu."Kamu ini kenapa sih, aku panggil-panggil malah dicuekin," gerutu pria itu."Kamu yang kenapa? Kenapa harus ngejar aku sampai sejauh ini, apa kita punya masalah?" tanya Rayna balik.Al
Rayna mendelik tajam karena sedari tadi Alden terus saja menatapnya. Dia bukan percaya diri karena pria itu naksir padanya, tapi sudah pasti pria itu terus menatapnya karena ingin melihat bagaimana cara kerjanya. Tetap saja hal itu membuatnya risih, apalagi dengan tatapan Alden yang begitu intens.Rayna mendekati Alden, menggebrak meja itu dengan keras membuat lelaki itu terperanjat kaget."Bapak ngapain ngeliatin saya seperti itu?" tanya wanita itu dengan mata melotot.Alden menatap sekitar, jelas saja saat ini mereka tengah menjadi bahan tontonan banyak orang, terutama pelanggan."Siapa juga yang ngeliatin kamu, jangan Geer," geramnya kesal."Itu dari tadi mata Anda selalu saja mengarah pada saya, pasti Anda berpikir mesum ya?"Alden mengusap wajahnya dengan kasar. Memang benar yang Rayna katakan, bahwa sedari tadi dirinya menatap wanita itu.Entah mengapa matanya selalu tertuju pada Rayna. Tapi kalau dibilang mikir mesum? Bisa jadi iya bisa jadi juga tidak.Alden melipatkan kedua ta