Waktu begitu cepat berlalu. Tanpa terasa Naomi sudah berada di rumah Barta dan menjadi wanita simpanan sang rentenir selama satu bulan.Di dalam kamar sunyi. Kedua pasangan tanpa status itu sedang tertidur nyenyak di atas ranjang empuk. Naomi mengerjapkan saat merasakan ingin buang air kecil. Ia membuka selimut perlahan, takut membangunkan Macam tidur yang selalu menerkam tubuhnya seperti hewan kelaparan.Tubuhnya terasa remuk, karena melayani Barta setiap malam hingga beberapa kali. Ia mengambil langkah perlahan masuk ke dalam kamar mandi. Deg! Pandang matanya tertuju pada layar ponsel yang menyala. Alarm berbunyi, tanda bahwa dia sudah telat datang bulan. Naomi menghela napas panjang. "Apa mungkin aku hamil?" gumamnya pelan. Ia mengambil handuk kimono yang menggantung di pintu kamar mandi, memakainya lalu keluar. "Sayang, kamu sedang apa?" tanya Barta yang terbangun dari tidur. Ia menatap Naomi dari ujung kepala sampai kaki. "Aku ingin melihat tubuh indahmu. Jangan pakai bend
Naomi semakin menggila. Ia tidak rela Barta jatuh ke dalam pelukan Bella lagi.Di dalam kamar .... "Ugh!" Suara desahan dan lenguhan hampir setiap malam terdengar. Kini, peraduan peluh antara Barta dan Naomi tidak lagi dilakukan di dalam kamar tamu, melainkan di kamar utama. Kamar yang seharusnya menjadi kamar istimewa bagi Barta dan Bella, tetapi kini tempat Bella digeser oleh sahabatnya sendiri. Bukan hanya kamar yang berhasil dimiliki Naomi, tetapi hati Barta juga. Ya, kali ini Barta menyadari kalau dia sedang terkena puber kedua, dimana dia mulai merasakan jatuh cinta lagi untuk kedua kalinya. Cintanya itu jatuh kepada Naomi, satu satunya wanita perawan yang pernah ia tiduri. "Sayang, setelah selesai aku ingin pergi ke suatu tempat. Kamu ingin memesan apa? Makanan berat atau cemilan?" tanya Barta yang tengah memompa tubuh sintal wanita di bawah kungkungannya.Tangan nakal sang rentenir tak henti memainkan bulatan coklat paling menggoda yang bisa membuatnya makin bergairah.
"Kamu telat datang bulan?" tanya Naomi. Hatinya mulai merasa tak tenang. "Kapan terakhir kali kamu datang bulan? Apa kamu mengingatnya?" Bella terdiam, memikirkan kapan terakhir dia datang bulan dan kapan pertama kali dia melakukan hubungan badan dengan Edgar. Tak lama, Bella menjawab pertanyaan Naomi, "Iya, sepertinya aku telat datang bulan," angguknya pelan. "Tapi aku tidak tahu apa aku, hamil? Atau aku hanya stress karena harus tinggal di dalam penjara ini." Naomi mengepalkan tinjuan ke samping. Menghela napas sesak, mencoba untuk bersikap biasa saja walau rasa takut dicampakkan oleh Barta menyelimuti hati. "Aku pergi dulu. Aku takut Tuan sudah pulang," kata Naomi. "Kalau kamu ingin memastikan, nanti aku bawa testpack ke sini.""Emm, Naomi, tolong rayu Tuan agar dia mau membebaskanku. Ya." Naomi mengangguk pelan. "Tempat ini tidak enak, aku selalu ketakutan setiap malam karena aku sering mendengar suara aneh dari lorong itu," kata Bella. Naomi hanya diam. Bella menghela na
Naomi tersenyum lebar saat melihat hasil testpack itu menunjukkan kalau dia tengah berbadan dua. "Tuan pasti bahagia saat melihat hasilnya," gumam Naomi lalu keluar dari kamar mandi. Ia melihat sang rentenir sedang memainkan ponsel sambil duduk bersandar di atas tempat tidur. "Tuan," panggilnya sambil tersenyum lebar. Barta menatap Naomi dari ujung kepala sampai kaki. "Sudah? Bagaimana hasilnya?" tanya Barta. Meskipun melihat dari senyuman Naomi dia sudah tahu hasil dari pemeriksaan kandungan itu. Naomi mendekati Barta lalu naik ke atas tempat tidur, masih enggan memberitahu secara langsung. Ia memberikan testpack itu pada sang rentenir sambil tersenyum lebar. "Positif? Iya kan?" tebak Barta. "Coba lihat dulu," kata Naomi. Barta melihat garis dua di testpack tersebut. Senyuman lebar terlukis di wajah dinginnya. "Hamil? Kamu mengandung anakku?" Naomi mengangguk. Barta menarik lengan wanita di depannya, memeluk erat. "Kamu mau apa dariku? Hem? Katakan. Aku akan mengabulkannya
Barat sedang bahagia setelah mengetahui Naomi hamil, berbeda dengan Edgar. Setelah ia berhasil mengingat semua tentang masa lalunya dan tentang hubungannya dengan Bella, Edgar mencari keberadaan Bella yang ia yakini masih berada di dalam rumah ayahnya. Edgar masuk ke ruang mencuci pakaian, ingatan samar samar mulai bermunculan. Sekarang, ia mengingat ada pintu menuju ruang bawah tanah di balik mesin cuci. Namun, saat ia ingin masuk ke sana. Dia melihat dua orang anak buah Barta tengah membawa Bella naik ke atas tangga. "Bella." Edgar bersembunyi di balik tumpukan baju di dalam keranjang. "Mereka mau membawa Bella ke mana?"Dua orang anak buah Barta naik bergantian lalu kembali menutup pintu rahasia tersebut. "Aman, tidak ada yang melihat kita," ucap salah satu dari mereka. Lelaki yang menggendong Bella di pundak berjalan cepat menuju halaman rumah. Edgar melihat semua itu. "Brengsek! Jadi benar kalau selama ini Papa mengurung Bella di dalam penjara bawah tanah? Kenapa Papa tega
Edgar murka saat melihat perawat dan dokter memperlakukan Bella seperti orang tidak waras. "Bella tidak gila. Brengsek!" amuk Edgar. "Tenang ya, kami hanya menyuntikkan obat penenang. Dosisnya sudah disesuaikan dengan kondisi kejiwaan pasien," terang dokter pada Edgar. "Brengsek kalian semua! Bella-ku tidak gila. Dia masih waras. Aku akan menuntut rumah sakit ini! Lihat saja nanti! Brengsek!" sarkas Edgar lalu pergi meninggalkan rumah sakit.Edgar tak dapat menahan emosinya lagi, tak ingin terus melihat wanita pujaan tersiksa di dalam rumah sakit jiwa. "Semua ini karena Papa dan wanita jalang itu! Brengsek!" amuk Edgar memukul stir mobil sangat kencang. Mobil melaju meninggalkan rumah sakit jiwa. Di sepanjang perjalanan menuju rumah, ia tak berhenti memaki dan menyebut nama ayahnya. Ya, semua kesengsaraan yang menimpa Bella, tak lain karena perbuatan Barta.Edgar masuk ke dalam rumah dengan menghentakkan kaki kasar. "Pa! Papa!" teriaknya emosi. Tak melihat ayahnya di ruang kel
“Sekali lagi terima kasih banyak, Edgar,” ucap Bella yang masih menangis di pelukan Edgar.“Sudah, Bella. Jangan menangis lagi. Aku paling tidak bisa melihatmu menangis seperti ini.” Perlahan Edgar melepaskan pelukan mereka, kemudian ditatapnya mata indah Bella seraya jemarinya menyeka air mata di wajah wanita cantik itu.“Sudah ya. Jangan menangis lagi. Mulai sekarang aku akan membuatmu bahagia, dan aku berjanji bahwa tidak akan ada yang bisa menyentuhmu tanpa izin dariku. Kamu percaya padaku kan?” tanya Edgar sambil menatap dalam mata Bella yang tampak sembab.Hati Bella merasa sangat tersentuh mendengarnya. Dengan pelan ia menganggukkan kepalanya, bersamaan dengan senyuman manis yang tercipta di bibirnya, meskipun tanpa kata yang terucap.“Aku bahagia melihatmu tersenyum seperti ini.” Edgar turut tersenyum sembari membelai pipi Bella dengan lembut.Perlahan Edgar mendekatkan wajahnya pada wajah Bella. Saat itu juga keduanya saling terpejam, merasakan hembusan nafas hangat yang mene
“Apa?”Wajah Barta mendadak langsung merah padam. Nafasnya tampak memburu, dengan rahang mengeras menahan amarah. Pernyataan yang baru saja diberikan oleh dokter kepercayaannya itu benar-benar membuat emosinya tersulut.Naomi yang turut mendengar perkataan dokter itu pun juga langsung terbeliak lebar. Wanita itu bahkan sampai setengah ternganga saking terkejutnya.“Apa? Jadi Bella sudah tidak ada di sini?” pekik Naomi sembari langsung membekap mulutnya sendiri.“Bagaimana wanita itu bisa pergi dari rumah sakit ini, hah?” bentak Barta dengan suara kencangnya.Darahnya sudah mendidih dan naik sampai ke ubun-ubun pria tua itu. Sedangkan dokter rumah sakit itu terlihat gugup dan ketakutan. Tangannya nampak gemetar, serta wajahnya juga terlihat semakin pucat.“Di … dia kabur, Tuan,” jawabnya terbata-bata.Brakk!Jawaban itu sama sekali tak membuat Barta lantas merasa puas. Justru yang ada, pria itu justru merasa kian murka dengan apa yang baru saja ia dengar.“Dasar bodoh!” hardikan langsu