POV Diva
Apakah Liam adalah bayi anak dalam kandungan Samira?
Banyak yang mengganggu pikiranku sekarang dan sulit untukku terima. Mengapa tidak ada seorangpun yang memberitahuku tentang apa yang sedang terjadi. Dalam waktu singkat aku harus menerima suamiku telah mempunyai calon bayi di perut wanita lain.
Aku tidak menyangka berada di tengah-tengah orang yang menutupi kebenaran ini padaku. Mereka bisa sesantai itu?
Aku pikir wajar Samira masih menjaga hubungan dengan keluarga mantan suaminya, tapi ternyata ada yang mereka sembunyikan. Kehamilan Samira. Aku memperhatikan perut Samira yang tidak bisa jelas kulihat bentuk tubuhnya karena ia memakai pakaian baby dol yang mengembang.
Di kantor ia jarang memakai dress ketat, lagi pula aku tidak pernah sedetail itu memperhatikan dia.
Bisa kubayangkan betapa bahagia kedua orang tua Liam karena akan mempunyai cucu. Lalu bagaimana dengan perasaan Liam?
Aku melangka
"Saudari Samira Basagita, silahkan masuk." Seorang wanita di dampingi pria berjas hitam rapih masuk untuk melakukan pemeriksaan setelah menunggu dua puluh menit lamanya.Diva yang mematung dari kejauhan langsung berjalan ke arah pintu yang telah tertutup itu. Membaca tulisan di depan pintu 'Dokter spesialis kandungan' wajahnya yang cantik berubah 180 derajat kaget, sedih, bercampur aduk membuatnya hancur.Tadi pagi Diva langsung mengikuti Liam dengan taxi, bersamaan dengan kedatangan Liam, Samira muncul di rumah sakit itu membuat Diva menunggu apa yang sedang kedua orang itu lakukan di rumah sakit. Kecurigaannya ternyata benar, Samira hamil. Tapi Diva tidak bisa membuktikan itu, ia harus masuk dan langsung menanyakan pada mereka yang sudah tertangkap basah. Tapi Diva tidak cukup keberanian untuk masuk menemui Liam."Maaf Mbak, itu yang tadi masuk pasangan suami-istri?" Tanya Diva kepada wanita yang tadi memanggil Samira."Maksudnya Bu Samira,
POV : Diva"Diva?" Suara Liam terdengar di belakangku, dia sedang memasuki dapur melihatku yang duduk di ruang makan dengan dahi berkerut, "Apa kamu sakit? Akhir-akhir ini kamu banyak melamun, sayang?"Liam membuat sendiri kopi pahitnya lalu duduk di depanku membawa secangkir kopi. Aku menyerup tehku yang sudah dingin. Sudah hampir dua jam aku duduk di sini dengan pikiran campur aduk."Aku gak apa-apa. Bagaimana dengan pekerjaanmu apa semua berjalan lancar?" Tanyaku."Proyek yang kemarin ada masalah dengan investor? Oh, itu Mas Ray nyuruh saya mengambil alih dan menyelesaikannya." Jawab Liam lalu menyerup kopinya, "Sebenarnya saya gak mau menerima itu, mas Ray itu hanya baik kalau ada maunya aja." Tambahnya mendumel.Aku memperhatikan wajahnya yang datar tanpa eksepresi. Entah mengapa aku terus dibayangi rasa takut kehilangan karena kata-kata Nara. Aku butuh mendengar kebenaran dari mulut Liam."Kamu sama Samira kembali dekat kan
"Saya akan bicara dengan mas Ray tentang kamu berhenti bekerja." Ujarnya. Beberapa saat kemudian ponselnya berdering, sedetik kami saling berpandangan. Liam tampak terkejut dan gugup setelah melihat layar ponselnya. Siapa yang menelponnya?"Kenapa gak diangkat?""O-oh." Suaranya pelan, "orang yang gak penting," jawabnya. Suara ponsel masih berdering dan sikap Liam semakin gugup. Dia seperti menutupi sesuatu."Angkat mungkin itu penting."Akhirnya dia mengangkat panggilan itu, setelah itu Liam mengambil langkah menjauh dariku. Dia tidak ingin aku mendengar pembicaraan mereka.Itu pasti dari Samira. Mungkin ada keluhan dengan kandungannya dan orang yang Samira telepon adalah Liam. Setelah Liam selesai dengan panggilannya, wajah Liam menjadi berubah. Dia terlihat shock dan serba salah menatapku. Kenapa? Apa tebakanku benar, yang menelpon adalah Samira?"Ada panggilan mendesak saya harus pergi."Kamu kan tahu Liam, aku tidak bisa hidup ta
"Diva?" Seseorang menyapanya, "maaf aku telat."Diva tersenyum, setelah dia amati wajah Bram ternyata tampan juga. Patutlah Samira ingin bertunangan dengan Bram."Gak apa kok, lagian kalau gak macet bukan Jakarta, bukan?" Jawab Diva dengan elegan. Seberat apa pun yang dia jalani Diva tidak mau orang lain merasa kasihan dengan keadaannya.Saatnya seseorang mengungkapkan kebenaran pada Diva dan menunjukkan kenyataan yang pahit itu padanya. Bram tahu hubungannya dengan Samira telah berakhir, maka dia tidak ada hak untuk ikut campur dalam permasalahan ini.Diva sengaja telah memesan minuman untuk Liam sebelum pria itu datang. Ia mulai mengaduk gula ke dalam tehnya. Bram bisa melihat tangan Diva gemetar memegang sebatang sendok."Aku ingin menanyakan hubungan kamu dengan Samira, Bram? Kapan kalian akan menggelar pesta?" Teramat berat suara Diva bertanya. Sulit baginya membicarakan urusan rumah tangga kepada orang luar. Dan Bram termasu
POV : DivaIris mataku menangkap sosok Samira berjalan ke arah toko pakaian anak. Setelah pulang dari rumah Renata aku memutuskan menghabiskan waktuku di pusat perbelanjaan mencuci mata. Tidak kusangka aku bertemu wanita itu di sini. Kakiku melangkah di belakangnya untuk melihat apa yang ia lakukan di toko pakaian anak.Kulihat dia sedang memilah pakaian mungil seraya tersenyum, sakit. Rasanya hatiku terasa seperti tertusuk pisau berulang kali.Dia akan menjadi seorang ibu. Ada sedikit keirian saat tahu kenyataan itu. Dan mengapa harus Liam ayah anak itu. Aku benci dengan kenyataan ini.Karena penasaran aku mengikuti Samira di belakang tanpa ia ketahui. Dia berpindah-pindah tempat dari stand pakaian bayi hingga ke tempat perlengkapan bayi. Bukankah terlalu cepat jika membelinya sekarang? Melihat perut Samira belum terlihat besar.Sampai kapan aku harus mengikuti dia? Lebih baik aku menyapanya, dan mengorek informasi."Bu, lagi be
Yang kutakutkan Liam akan meninggalkan aku seperti dia meninggalkan Samira. Karena jelas sebenarnya yang diinginkan Liam dan keluarganya adalah keturunan.Aku mendengar sendiri ibu mertuaku menanyakan kondisiku kepada Liam, lewat telepon. Liam tidak menuntut padaku, dia juga memberikan pengertian kepada ibunya, tapi wajah tampan yang terlihat tenang itu ternyata pria yang sama sekali tidak punya hati.Aku mencintai suamiku, itu tidak bisa kupungkiri. Aku bahagia mempunyai Liam sebagai suamiku, meskipun dia punya masa lalu dengan wanita lain. Kebutuhanku dipenuhi seperti yang ia lakukan pada Samira. Uang bulanan. Semua yang aku minta dia penuhi.Tapi sekarang aku sadar, Liam menghianati Samira karena kecewa belum mempunyai keturunan. Dan sekarang apakah hal itu juga terjadi padaku."Mama nanya apa lagi tadi? Aku denger kamu telponan dengan mama," aku bertanya setelah naik ke atas tempat tidur. "Pasti soal a
"Apa yang kamu lakukan di sini?" Ucap seorang laki-laki tua dengan dahi berkerut melihat Diva duduk di sofa yang berada di ruang tamu."Kemana lagi aku harus pulang?" Diva bertanya balik kepada ayahnya. Seperdetik kemudian wajah pria itu terlihat sendu dan muram. Sepertinya dia mempunyai firasat jelek pada anaknya."Kenapa datang sendiri? Dimana suami sombongmu itu?""Aku datang sendiri, Liam sedang sibuk," ucap Diva datar."Melihat wajahmu seperti itu, biar papa tebak. Dia mempunyai wanita lain, benarkan?" Suara pria itu gemetar, dia menyembunyikan tangannya yang mengepal di dalam saku."Sesama pria pecinta wanita kalian memang sangat peka.""Diva, jaga bicaramu--""Aku ingin menanyakan, bagaimana perasaan Papa saat meninggalkan mama untuk wanita lain? Apakah sedikit saja ada niat Papa kembali kepada mama dan aku?" Tanya Diva menatapnya lurus dengan ekspresi tak terbaca."Bagaimana perasaan Papa melihat mama sekarat di r
Pagi ini Diva kembali pada ritual setiap paginya sebelum dulu ia bekerja. Pergi ke pasar tradisional, belanja kebutuhan dapur dan juga kue-kue yang di jual pasar. Diva pulang membawa plastik yang berisi sayuran, buah-buahan, dan beberapa butir telur.Ia menyusun belanjaannya ke dalam kulkas setelah itu terdiam sejenak memandangi isi kulkasnya yang sudah penuh, tersenyum sendiri.Setelah selesai memasak, Diva menyibukkan diri membersihkan rumah. Menyapu, mengepel, dan menyingkirkan barang-barang yang tidak terpakai ke gudang.Pukul 12 lewat pekerjaan rumahnya selesai semua, ia duduk di bangku ruang makan menikmati makan siangnya seorang diri. Pagi tadi ia melewatkan sarapan makanya Diva sangat lahap menyantap makan siangnya. Sambil meneguk susu hangatnya, ia memandang ponselnya yang tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Mengapa rasa sepi itu terasa begitu kuat, padahal ia sudah meyakinkan bahwa dirinya tidak akan kesepian.Tiba-tiba dari pintu tam