Olivia hendak berdiri tetapi Nolan melarangnya. Sehingga dirinya tetap berada di atas pangkuan Nolan. Dia menatap pria yang duduk di sofa yang tidak lain adalah Alex.
“Katakan!” ucap Nolan dengan datar.
“Dia ingin ke kembali ke Indonesi
"Tunggu! Apakah kamu akan pergi sendiri?” tanya Nolan. Sembari memegang tangan Olivia yang hendak pergi.“Iya. Aku harus pergi sendiri. Bagaimanapun juga dia ayahku dan tidak mungkin akan menghabisiku.” Olivia melepaskan tangan Nolan. Dia berjalan ke luar dari dalam kamarnya. Entah mengapa dia tidak bisa hidup dengan tenang dan selalu saja ada masalah yang menghampirinya. “Pergilah bersama sopir yang tadi mengantarmu,” ucap Nolan yang berjalan mengikuti Olivia.“Oke. Percayalah tidak akan terjadi sesuatu padaku.” Olivia berkata pada Nolan sembari memberikan senyumannya. Dia pun kembali berjalan ke luar dari ruang kerja Nolan. Dan langsung menuju ke luar perusahaan. Di luar sudah menunggu sopir dan mobil yang tadi mengantarnya.Dia pun masuk ke dalam mobil. Dan sang sopir langsung menjalankan mobilnya ke luar dari area perusahaan. Sang sopir juga sudah tahu tujuan sang nona karena sang tuan sudah menghubunginya. “Begitu tidak sabar untuk menghak
Olivia masih terlelap di dalam mobil. Semenjak meminum obat yang diberikan oleh Alex, dia mudah tertidur. Dia membuka matanya saat mobil baru saja berhenti.“Mengapa kamu membawaku ke sini?” tanya Olivia. Pada sang sopir.“Tuan, menyuruh saya untuk membawa Anda ke sini.”
“Apa kita pernah bertemu?” Olivia kembali bertanya pada pria yang ada di sampingnya.Dia menggeser tubuhnya saat pria itu duduk di sampingnya. Dia meningkatkan sedikit kewaspadaannya. Sebab dia tidak tahu siapa pria itu dan apakah memiliki maksud buruk atau tidak kepadanya.Olivia mulai merasa tidak nyaman dengan pria yang ada di sampingnya. Meski pria itu tidak mengatakan apa-apa tetap saja tatapannya membuatnya berpikir untuk menjauh.
Nolan langsung berlari ke arah Olivia. Setelah dia mendengar erangan kesakitan wanita itu dan juga darah yang ada di telapak tangannya. Dia memegang tangan Olivia yang berlumuran darah. “Mengapa bisa terluka seperti ini?” tanya Nolan. “Aku tidak tahu.” Nolan pun mengangkat tubuh Olivia dan mendudukkannya di atas ranjang. Dia mengeluarkan sapu tangannya. Dia menutup luka Olivia dengan sapu tangannya. Dia melihat ke posisi saat Olivia terjatuh. Dia melihat sebuah pisau kecil dan langsung mengambilnya. Dia tidak mengira ada pisau di kamarnya padahal selama ini kamarnya selalu dibersihkan. “Ada yang sengaja menyimpannya di kamarku,” gumam Nolan. Lalu dia mengeluarkan ponselnya. Dia menghubungi Ian dan menyuruh pria itu untuk langsung menemuinya di kamar. Setelah mengatakan itu dia pun menutup sambungan teleponnya. Nolan berjalan menuju ruang pakaian. Dia mengambil kotak obat yang ada di almari. Setelah itu dia kembali ke luar ruangan dan mendekat ke arah Olivia yang masih dud
Olivia menatap orang yang baru saja masuk. Orang itu tidak lain adalah Dean. Sekarang pria itu sudah ada di hadapannya. Dia merasakan sorot matanya yang tidak menyukai kehadirannya.“Apa?!” tanya Olivia. Tanpa ada rasa takut pada pria yang ada di hadapannya. Dia melihat pria itu yang masih saja menatapnya tanpa menjawab pertanyaan yang dilayangkan olehnya barusan. Dia pun berjalan dengan santainya melewati pria itu dan keluar dari dalam kamar Nolan. “Tuan Dean, sepertinya akan ada beberapa orang yang akan kita masukkan ke dalam ruang interogasi,” ucap seorang pria. “Lakukan saja dengan cepat!” Olivia mendengar pembicaraan mereka. Dia tidak memedulikan hal itu dan terus keluar. Dia pun melihat Nolan yang sedang berjalan bersama dengan Ian.“Sudahlah. Aku lelah lebih baik menghindarinya saja,” gumam Olivia. Sembari mempercepat jalannya menuju kamar. Dia sudah ada di dalam kamarnya. Dia duduk di atas ranjang sembari membuka beberapa pesan yang masuk ke dalam ponselnya. Ada
Olivia terus saja memperhatikan mereka. Dia berpikir untuk meninggalkan tempat itu. Namun, sebelum dia menjalankan motornya, dia melihat para preman itu menyerang Dean. Sedangkan wanita itu pergi tanpa memedulikan Dean.“Sebenarnya ada apa ini?” gumam Olivia. Dia masih tetap berdiam diri di tempatnya dan memperhatikan Dean yang masih bisa menghadapi empat orang preman sekaligus. Dia juga ingin tahu sejauh mana kemampuan pria itu yang sudah memihak Miranda. Ponsel Olivia bergetar. Dia mengambil ponselnya dan melihat siapa yang menghubunginya. Dia mengabaikan panggilan itu karena yang menghubunginya adalah sang ayah. “Aku masih belum bisa menemuimu. Karena aku tahu apa yang akan dikatakan olehnya.” Olivia berucap dan memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas kecil yang melingkar di pinggangnya. Dia pun kembali melihat ke arah Dean yang berhasil menumbangkan satu orang preman. “Lumayan juga. Akan tetapi, sangat disayangkan dia mempercayai wanita busuk itu.” Dia terus saja me
Olivia langsung masuk ke dalam ruang kerja ayahnya. Dia melihat sang ayah yang tengah duduk di kursi kerjanya sembari berbicara pada seseorang melalui sambungan telepon. Dia pun mendekat ke arah sang ayah yang langsung memutuskan sambungan teleponnya. Setelah melihat kedatangannya dan menatapnya dengan saksama. “Ada apa lagi Ayah meminta aku ke sini?” “Hentikan semua rencana bodohmu itu! Apa kamu masih belum bisa melepaskan istriku?” “Hanya ini yang ingin Ayah katakan padaku? Apakah di hatimu hanya ada, Miranda? Tahukah, Ayah jika aku sudah bosan dan muak?” “Jika kamu sudah muak. Maka kamu hentikan semuanya! Ayah tidak akan membiarkanmu menghancurkan semua bisnis yang sudah dirintis oleh istriku.” Olivia terkekeh. Saat mendengar semua perkataan sang ayah yang terus saja membela istrinya itu. Dia menghentikan tawanya saat melihat raut wajah sang ayah yang sudah berubah. “Olivia, mengapa? Mengapa kamu menjadi seperti ini? Apakah pengaruh Angel begitu besar?” “Angel ... kamu mengi
Olivia berjalan dengan rasa kesal. Dia tidak mengira jika ayahnya akan sekejam itu terhadap orang yang sama sekali tidak ada kaitan dengannya. Akan tetapi, yang membuatnya terkejut adalah tidak terlihat rasa bersalah sama sekali. “Maafkan aku Angel karena aku kamu menderita. Aku pun rela jika kamu dendam padaku,” gumam Olivia. Dia berhenti melangkah saat melihat seorang wanita yang beberapa hari ini tidak dilihatnya. Wanita itu tidak lain adalah ibu tirinya. Olivia melihat senyum khas Miranda dan itu membuatnya muak. Sekarang di hadapannya sudah ada ibu tirinya yang memandanginya dengan penuh rencana busuk. “Akhirnya ibu tiriku keluar dari persembunyiannya. Apakah kehancuran bisnismu yang di Kalimantan begitu berpengaruh?” sindir Olivia.“Anak manis ... itu belum cukup untuk menghancurkan aku! Kamu bersiaplah karena hidupmu tidak akan tenang.”“Sungguh? Aku tidak takut dengan ancamanmu itu!” “Kamu begitu percaya diri setelah tahu jika sahabatmu itu juga ingin kamu mati.”