"Biar kubantu, Mas," ujar Inara, ia mencoba melepaskan dasi dan kancing kemeja suaminya. Walau dengan perasaan campur aduk dan ragu-ragu, ia mendekatinya. Ini malam pertama pernikahannya, namun ia sama sekali tak mengenal lelaki seperti apa yang ada di hadapannya. Harshil memang suaminya, tapi pernikahan ini hanya karena perjanjian hutang. Namun, dia sudah bertekad untuk menjadi istri yang baik meski hanya untuk enam bulan ke depan.
Aroma wangi fruitty tercium dari tubuhnya, membuat Harshil makin resah. Ia gugup dan salah tingkah. Baru kali ini ada wanita yang dekat dengannya lagi sejak kecelakaan itu terjadi.
"Stop Inara, biar aku saja," cegah Harshil.
"Lho kenapa, Mas? Aku istri Mas kan? Jadi tugasku untuk membantumu," ucap Inara walau dengan senyum yang dipaksakan.
Harshil memalingkan wajahnya, ia tak sanggup memandang wajah cantik sang istri. "Kalau melepaskan kemeja, aku bisa sendiri. Kau siapkan handuk, baju ganti dan air hangatnya saj
"Hah? Kau--""Sudah jangan banyak protes, Mas. Kita sudah mendapatkan nomor antrian. Tadi Ettan sudah mendaftarkanmu lewat online."Harshil masih belum percaya dengan apa yang istrinya katakan. Pasti ini ada campur tangan Ettan dalam hal ini."Mas, cepatlah jangan buang-buang waktu. Ettan akan datang setengah jam lagi. Kasihan dia kalau harus menunggu lama."Harshil menghela nafas dalam-dalam. Apalagi saat melihat Inara begitu semangat menyiapkan semuanya. Ia mendorong kursi rodanya mendekat."Mau kubantu?" tanya Inara lagi sembari mengulurkan tangannya."Pegangi saja kursi rodanya, aku turun sendiri."Inara mengangguk sembari mengulum senyum. Rencananya dengan Ettan sepertinya akan berhasil. Ia harus membujuk sang suami dengan cara seperti ini, setengah pemaksaan.Bukan tanpa alasan Inara melakukan ini semua. Tadi siang saat hendak ke kamar kecil, tanpa sengaja ia mendengar percakapan seseorang."Ya, aku akan meng
"Oh iya, Mas Ryan masih ingat jalan pulang kan? Pintunya ada di sebelah sana. Jangan lupa ditutup lagi."Tangan Ryan mengepal erat, dia benar-benar geram dengan ucapan Inara. Berani-beraninya dia mengusir secara terang-terangan tapi dengan tutur kata yang lembut. Ryan berlalu begitu saja meninggalkan perasaan gondok di hati. Padahal dia datang kesana karena ingin mengganggu mereka, apalagi melihat wajah Inara yang ketakutan membuat kepuasan sendiri dalam batinnya. Tapi ini, yang terjadi justru sebaliknya. Inara membuat hatinya geram setengah mati. Sikap lembut Inara pada Harshil membuat panas dalam hatinya."Kau pintar sekali mengusirnya dengan cara lembut, Inara," ujar Harshil sembari tertawa kecil."Dia sudah mengganggu waktu kita, Mas. Apa dari dulu dia memang seperti itu?""Ya bisa dibilang seperti itu sih. Dulu waktu aku sedang berdua dengan Chelsie, dia pun sering mengganggu," jawab Harshil santai, tak ada rasa curiga sedikitpun.
"Rencana apa?""Aku ingin membuat Tuan Muda Harshil yang baru!"Harshil terkejut mendengarnya, ia memutar bola mata ke arah Inara yang tampak santai mengatakannya. "Hah? Maksudmu anak? Kita membuat anak begitu?""Ish, siapa yang bilang anak!""Lah itu maksudnya apa? Tuan Muda Harshil yang baru?""Oh, hahaha.""Kenapa tertawa?"Inara masih cekikikan, rupanya Harshil salah mengira ucapannya."Ditanya kok malah tertawa terus!""Habisnya lucu.""Apanya yang lucu? Aku bukan tukang lawak lho.""Ya pikiran kamu kok sampai situ, Mas?!"Harshil menghela nafasnya dalam-dalam. "Terus maksudnya apa?"Ettan yang melihat mereka dari balik kaca spion hanya tersenyum simpul. Ia ikut merasakan bahagia, ternyata kehadiran Inara mampu membawa pengaruh positif pada orang di sekitarnya, terlebih Tuan Harshil."Ehemm ... Maksudnya, aku ingin Mas Harshil tuh berubah. Yang tadinya gak bisa
Mungkin terdengar konyol, dengan cinta yang tiba-tiba datang secara misterius. Dua orang yang awalnya tak merasakan hal yang disebut dengan cinta, kini justru tumbuh benih-benih yang membuat hati berdebar-debar tak menentu.Cinta, sebuah kata sederhana dengan sejuta makna. Cinta adalah saat kita merasakan getaran di dalam dada. Dia yang selalu terucap dalam setiap doa. Memandanginya menjadi hal yang terindah, dan karena cinta pula, kelemahannya tampak menjadi sebuah kelebihan yang membuat kita semakin mengaguminya.Cinta sejati itu bukan apa yang kita lihat, tapi apa yang kita rasakan, bukan bagaimana kita mendengarkan tetapi bagaimana kita memahami, dan bukan bagaimana kita melepaskan tapi bagaimana kita bertahan.Cinta adalah dia yang mau menerima apa adanya. Tak ada paksaan, tak ada tuntutan, dia yang mencintai tanpa syarat, dia yang mencintai tanpa alasan hingga tak mengharapkan untuk kembali. Dia yang mencintai tanpa memandang rupa maupu
"Teriak saja, aku justru ingin semua orang tahu, termasuk suamimu yang lumpuh itu. Kalau kubilang kamu duluan yang menggodaku, kira-kira bagaimana ya reaksi mereka? Siapa yang akan mereka percayai disini? Aku atau kamu?"Inara berusaha meronta dari cengkeraman Ryan. Rumah sebesar ini, bila teriak pun rasanya percuma. Hal itu mungkin akan menjadi sia-sia bila tak ada yang mendengarnya. Belum lagi sikap Ryan yang bisa saja nekat berbuat lebih jauh lagi.Inara menoleh ke kanan dan kiri, tak ada satupun pelayan yang datang ke arah dapur. Entah mereka pergi kemana.'Apa semuanya sudah dirancang oleh Ryan?' batinnya bertanya-tanya sendiri."Hei manis, kamu gak bisa kabur dariku. Mari kita lanjutkan yang tertunda."Inara terdiam, dia berusaha melepaskan diri. Tapi pria itu benar-benar mengungkungnya membuat Inara tak bebas bergerak."Sekarang keberuntungan sedang berada di pihakku. Menarik bukan?"Ryan makin menatapnya dengan p
Ettan terkekeh melihat ekspresi sang istri. Lucu juga, gumamnya sendiri.Sementara Ettan yang sesekali memperhatikan dari kaca spion hanya mampu tersenyum simpul.Mobil sport mewah warna hitam kini sudah memasuki sebuah kawasan villa yang megah, dinamakan villa putih, karena semua exterior dan interiornya berwarna putih. Terletak di antara bukit yang menjulang. Setelah melewati jalanan berkelok, turunan dan tanjakan yang cukup memacu adrenalin.Setelah sampai di villa putih itu, mereka disambut oleh seorang pelayan yang akan mengurus segala keperluannya selama tinggal di Villa.Tak sabar, Inara turun dari mobil. Ia berjalan pelan, sedikit menjauh dari mobil, wanita itu menuju ke bawah pohon yang sangat rindang.Untuk beberapa jeda, mata Inara mengamati sekeliling, memandang dengan takjub keindahan alam sang pencipta. Pepohonan yang hijau nan rindang mengelilingi villa ini. Sungguh sangat indah dan menawan. Belum lagi hawa
"Ada kabar mengenai Tuan Hara.""Ayah? Kenapa dengan ayah?" tanya Harshil lagi."Dokter tidak bisa menjelaskannya di telepon, Tuan. Kita diminta untuk datang ke Rumah Sakit.""Ya sudah, siapkan mobil.""Baik, Tuan."Ettan membungkukkan badannya kemudian menuju garasi mobil, mengeluarkan mobil sport dari sana."Mas, aku ikut ya," ucap Inara membuyarkan lamunan Harshil. Entah apa yang tengah dipikirkannya, yang jelas raut wajah lelaki itu tampak begitu gusar.Harshil hanya mengangguk saja."Kau terlihat tidak baik-baik saja, Mas?""Ya, aku takut terjadi sesuatu dengan Ayah. Sudah sangat lama ayah koma, bila ada kabar mendadak seperti ini, bukankah terjadi sesuatu hal buruk dengan Ayah?""Mas, siapa tahu dokter membawa kabar gembira untukmu. Ayah siuman, misalnya."Harshil menghela nafas dalam-dalam. "Entahlah, tapi firasatku sudah tak enak dari semalam. Aku sudah tak punya ibu sejak
"Malam ini, kita akan pulang ke rumah kakek dulu. Mereka sudah mempersiapkan kamar kita," ujar Harshil.Inara mengangguk. Sebenarnya dia merasa keberatan. Karena di rumah yang besar dan mewah itu, dia akan bertemu dengan si penjahat. Tapi apa boleh buat, demi menghormati kepergian ayah mertuanya dan keluarga Harshil yang dirundung duka, ia harus mengikuti kemanapun sang suami pergi.***Inara membuka pintu kamar, melihat Harshil yang tengah merenung di sudut kamar, pandangannya menerawang jauh, menatap ke arah luar jendela.Memangnya apa yang dilihat? Sudah malam begini hanya ada kegelapan, dan pendar cahaya lampu."Mas?" panggil Inara pelan.Tak ada jawaban apapun darinya. Harshil seakan malas untuk menanggapi. Hatinya sedang terluka, ia masih kehilangan. Sakit. Semenjak pulang dari tempat pemakaman, ia mengurung diri di kamar. Tak ada sepatah kata apapun yang keluar dari mulutnya. Sementara Inara tadi