*Happy Reading*Setelah dokter menyelesaikan pemeriksaannya. Papa kembali masuk bersama istrinya. Namun, kali ini tanpa Pak Vino. Entahlah, mungkin pria itu sedang ada urusan, atau sudah diusir oleh papa. Aku tidak tahu. "Bagaimana perasaan kamu? Lebih baik?"Papa duduk di dekat tempat tidurku. Sementara istrinya seperti memberi waktu untuk kami berdua untuk bicara, dengan mengambil duduk di sofa yang tak jauh dari pintu.Papa menggenggam tanganku erat dan mengusap kepalaku dengan lembut. Binar matanya memancarkan kasih sayang yang sama seperti dulu. Membuat kerinduanku semakin menjadi. Aku ingin mengangguk sebagai jawaban. Namun, terkendala oleh penyangga leher yang masih harus aku kenakan. Rasanya benar-benar tidak nyaman."Meski masih ngilu, tapi lebih baik dari pas awal siuman."Papa tersenyum lega mendengarkan. Kembali mengusap kepalaku dengan sayang. "Kalau butuh apa-apa. Jangan sungkan untuk panggil papa atau Bunda, ya?"Dari dulu, Papa memang selalu membiasakan aku menyebut
*Happy Reading*Melihat wajah papa yang sudah keruh dan menegang, aku mencoba meminta atensinya dengan mengusap tangannya yang ada di atas tanganku. "Pa?""Papa keluar dulu, kalian ngobrol-ngobrollah yang nyaman." Tiba-tiba papa pamit. Beranjak dengan segera dan meninggalkan ruangan.Ego seorang lelaki, kalian mengerti?Melihat itu, istri baru papa pun turut pamit setelah berbasa basi sebentar dengan teman-temanku. Mungkin dia tidak nyaman di sana kalau tidak ada papa. Entahlah, aku tidak mau memikirkannya. "Wah, kayaknya bakal ada season baru, nih. Judulnya, cinta terhalang restu mertua," ceplos Nurbaeti tanpa beban. Duduk di kursi bekas papa dengan nyaman. "Nggaklah. Mana ada author bikin cerita begitu. Itu sih cerita sebelah semua." Intan menimpali, seraya berdiri di sebelahku yang lain, berhadapan dengan Nurbaeti. Sementara suami-suami mereka, dengan setia mengikuti dan berdiri tak jauh di sebelah mereka. "Kali aja author bosen sama genre romcom, terus ganti genre jadi termeh
*Happy Reading*Ammar menghela napas panjang dan berat seraya melirik istrinya. Saat akhirnya aku meminta konfirmasi akan info yang Nurbaeti bawa beberapa menit lalu. Aku memang meminta Nurbaeti menelpon Ammar dan menyuruhnya kembali, agak bisa aku introgasi lebih lanjut. Bagaimana pun, aku tidak ingin sampai ketinggalan info penting lagi soal Pak duda. Selama ini, Aku merasa sudah terlalu banyak kecolongan. Mengejar Pak Duda jelas bukan pilihan tepat saat ini. Mengingat kekecewaan Papa yang sudah pasti akan menjauhkan kami. Lebih dari itu. Si papah sendiri memang suka sekali main rahasia-rahasiaan sama aku. Bisa botak aku lama-lama kalau dibikin penasaran terus. Nah, mumpung ada yang bisa aku tanyai. Kenapa gak aku manfaatkan, ya kan?"Sayang, aku kan udah bilang. Jangan beritahu teman-teman kamu dulu perihal hal ini," keluh Ammar masih menatap istrinya. "Ya gimana, ya? Mereka kan sahabat aku, Mas. Mana bisa aku diem aja soal ini." Nurbaeti menyahut enteng. "Apalagi, ini berhubu
*Happy Reading*Bukan demi Kak Diana, Bukan juga demi Tita. Ternyata, selama ini Pak Vino mendekatiku tidak lain dan tidak bukan hanyalah demi ibunya. Ah, mungkin lebih tepatnya, demi sumsum tulang belakang yang dia butuhkan untuk sang ibu, Gita. Entahlah. Aku tidak tahu dari mana Ammar mendapat data-data selengkap ini. Yang jelas, di amplop yang Ammar berikan. Jelas tertulis hasil test pencocokan sumsum tulang belakangku dan Bu Gita, yang ternyata sedang mencari pendonor sejak setahun yang lalu. Jadi semua kebaikan mereka selama ini palsu? Mungkin saja! Aku sendiri tidak bisa menyimpulkan apa pun saat ini. Yang jelas, semua data yang Ammar berhasil kumpulkan. Semuanya memang mengarah pada kebaikan yang memang menginginkan timbal balik. Lebih dari itu. Gosip yang sedang menimpa Pak Vino sepertinya benar adanya. Karena dari laporan anak buah Ammar. Pak Vino ternyata memang memiliki hubungan spesial dengan aktris tersebut sejak dua tahun yang lalu.Luar biasa, kan? Pria itu ternyata
*Happy Reading*"Sudah?"Aku mengangguk kaku, sebagai jawaban atas pertanyaan Papa barusan. Pria paruh baya itu pun lalu tersenyum hangat, sebelum jauhkan sedotan dan gelas yang baru saja aku gunakan. Kemudian meletakkannya di atas nakas. "Ada hal lain lagi yang kamu inginkan?" Papa bertanya kembali dengan perhatian. Namun, kali ini aku jawab dengan gelengan kaku. Gerakan kepalaku memang masih sangat terbatas, akibat penyangga leher yang masih harus aku gunakan. Papa kembali tersenyum, lalu mengusap kepalaku dengan sayang. Duduk di pinggiran tempat tidur dan merapikan selimut yang kugunakan."Pa?""Ya?""Papa gak ngajar?" Tanya itu pun akhirnya lolos, setelah beberapa hari ini aku tahan. Bukan aku tak suka melihat papaku di sini. Tetapi, bukannya papa harusnya sudah kembali mengajar. Sekolah sedang tidak libur panjang, kan?"Papa cuti," ungkap Papa kemudian. "Cuti?""Ya. Papa cuti. Khusus buat nemenin kamu di sini." Papa menjawab tanpa beban. Masih dengan senyum hangatnya. Sayang
*Happy Reading*"Devia ... jangan menangis. Saya tahu, saya salah. Saya minta maaf," lirih Pak Vino kemudian. Setelah lama tertegun melihat air mataku yang mengalir tanpa bisa aku halau lagi. Konyol! Kalau bukan menangis, lalu aku harus apa? Tertawa? Menertawakan apa? Kebodohanku? Atau, apa?"Saya tidak butuh maaf dari Bapak," sahutku ketus. Kembali mengalihkan tatapan ke sembarang arah. "Lalu saya harus apa? Saya juga--""Pergi!" selaku cepat dengan tegas. "Devia, please ... tidak bisakah kamu memberi saya waktu untuk bicara. Menjelaskan semuanya. Saya juga punya alasan sendiri, Devia. Tolong! Biarkan saya menjelaskan semuanya.""Dan menipu saya lagi?" tukasku sengit. Membuat Pak Vino langsung memejamkan mata dengan erat dan mengerang tertahan. "Devia. Tolong! Saya tahu, saya salah. Saya menipu kamu dan mempermainkan perasaan kamu, tapi--""Terima kasih untuk pengakuannya. Itu lebih dari cukup menjelaskan semuanya." Kembali aku menyela cepat. Tak ingin mendengar alasan apa pun da
*Happy reading*"Katakan! Apa maksud dan tujuan kamu sebenarnya mendekati Devia?" Pak Vino semakin mendesak, saat Reyn tak langsung menjawab pertanyaannya.Sementara aku, sudah memutar mata malas entah sejak kapan, melihat sikap si duda yang anoying itu. Dia kenapa, sih? Cemburu? Atas dasar apa?"Hanya bekerja." Reyn akhirnya memberikan jawaban. Masih dengan sikap datarnya."Jangan bohong! Saya tidak akan pernah percaya.""Aku juga tidak butuh anda percaya," balas Reyn acuh.Pak Vino mengerang tertahan menatap Reyn. Kesal dengan sikap pria bule yang tidak bisa dia intimidasi itu. Rasain!"Kalau begitu jangan dekat-dekat dengan Devia!" hardik Pak Vino kemudian dengan garang. "Apa hak anda?" Reyn bertanya dengan tenang. "Saya calon suaminya Devia!" Tidak tahu malu! Masih saja seenaknya mengklaim aku begitu, setelah apa yang sudah dia lakukan. Dasar duda gila!Lihatlah. Reyn saja tersenyum miring mendengar hal itu. Bule berparas ganteng itu lalu menyilangkan tangan di depan dada denga
*Happy Reading*"Reyn, makasih ya, udah bantu usir pria itu." Aku berusaha membuka obrolan. Saat akhirnya tinggal berdua dengan bule kembaran kulkas itu. Tadi, si duda sableng memang sempat ngamuk lagi melihat sikap perhatian Reyn padaku. Namun, bule itu bisa mengatasi dengan apik, bahkan mengusirnya. "Jangan egois! Anda saja bisa dekat bahkan tidur bareng dengan beberapa wanita lain di luar sana. Kenapa Devia harus menjaga hati anda? Sebelum dia benar-benar jadi milik anda. Dia berhak didekati pria mana pun. Khususnya saya, yang memang sudah menjadi bodyguardnya. Kalau memang tidak terima, miliki dia secara hukum dan agama."Paka Vino hanya bisa mengerang tertahan, lagi-lagi tertohok dengan ucapan Reyn. Setelah itu, pergi begitu saja dengan wajah merah luar bias menahan amarah. Okeh, back to saat ini.Reyn melirikku sekilas, sebelum kembali fokus pada layar ponselnya. Meski begitu, dia tetap menjawab, "Tidak perlu berterima kasih. Aku hanya bekerja." "Bekerja? Jadi ... kamu bene