*Happy Reading* "Apa, Lik?! Lo gila, ya? Suami lo gimana, Anjir?!" Setelah sepanjang perjalanan Lika membungkam mulut dan hanya memberikanku senyum penuh arti, tiap kutanya apa yang terjadi antara dirinya dan Tylor. Akhirnya, Lika buka cerita saat kami sudah berada di tempat baru. Kali ini bukan mansion besar seperti sebelumnya. Tetapi rumah minimalis dengan lingkungan yang tetap asri. Tahu rumahnya Bella di film twiligt. Nah, rumahnya mirip itu. Okeh, mari kita skip pembahasan tentang rumah. Karena aku tidak berminat jadi sales property. Mari kembali pada Lika yang baru saja mengaku sudah melakukan ONS dengan Tylor. "Suami gue juga selingkuh kalau lo lupa." Lika menjawab acuh. "Dan gue, otw jadi janda," tambah Lika dengan jumawa. Seakan status janda itu sangat membanggakan. Mentang sekarang banyak hastag di media 'Janda makin di depan' dan 'Janda lebih menggoda'. Jadinya si Lika ini malah terinspirasi buat cepat jadi janda. Ah, jaman emang udah uedan! "Ya kan gak harus dib
*Happy Reading*Author pov"Bos." Reyn disambut beberapa anak buahnya saat tiba landasan hellypad Rumah sakit Setiawan Healthy. Mengangguk sejenak demi membalas sapaan sang anak buah. Reyn pun segera turun dari hellypad yang mengantarnya pulang, kemudian mengulurkan tangan untuk membantu Shabina turun. Tidak ada penolakan dari Shabina. Gadis itu menurut saja, bahkan ketika Reyn langsung menariknya masuk ke dalam rumah sakit dengan terburu-buru. Meski sampai tergopoh-gopoh mengejar langkah panjang Reyn, Shabina tetap mengunci mulutnya untuk tidak mengeluarkan protes. Setelah menuruni tiga lantai dari arah rooftop. Reyn membawa Shabina keluar lift, kemudian menuju ruang ICU. Kehadiran Reyn di sana tentu saja membuat Tylor dan Lika yang menunghuggu di depan ruangan, gusar seketika. "Jelaskan apa yang terjadi?" Reyn melepaskan tautan tangannya pada Shabina, dan mendekati Tylor dengan langkah tegap seperti seorang pemburu. "Maaf tuan Reyn. Saya lalai dalam menjalankan tugas." Tylor la
*Happy Reading*Arjuna memijat pelan keningnya yang tiba-tiba pening, dan membuang napas berat syarat akan kelelahan. Lelah mengurusi dua anak muda bar-bar, yang suka sekali bermain dengan nyawa orang. Beruntung tadi ada Kenneth, salah satu putra kembarnya hadir tepat waktu menghalau kegilaan Sella. Kalau tidak, sudah bisa dipastikan rumah sakitnya ini akan mendapat masalah dari ulah Sella. Bukannya mau sok suci dan baik hati ingin memaafkan penghianatan Tylor. Tetapi ... ya gak bunuh orang di sini juga, astaga! Ugh ... benar-benar dua remaja itu, ya? Memang paling jago bikin orang tua sepertinya sakit kepala. Kini, Kenneth dan Frans sudah berhasil mengamankan Tylor dan Sella. Membawa kedua orang, bertiga dengan selingkuhannya itu menjauh dari sini. Arjuna memang menyuruh Ken membawa Sella ke ruangan Karina. Arjuna yakin, Karina pasti bisa menenangkan gadis emosian berpikiran pendek mirip bapaknya itu. Sementara Tylor dan selingkuhannya, Arjuna percayakan pada Frans. Bagaimana pun
*Happy Reading*Reyn dan Malvino masih saling menatap dengan tajam. Seakan saling memperingatkan lewat tatapan masing-masing. Rahang keduanya menegang, tangan pun sudah mengepal keras siap menghajar lawannya. Mereka lalu saling bergerak maju dan ...."Stop, Dude!" Arjuna melerai cepat. Berdiri di tengah-tengah mengangkat kedua tangannya pada arah Reyn dan Malvino. Hingga keduanya berhenti melangkah dengan kompak."Jangan berkelahi di sini. Demi Tuhan, ini rumah sakit! Apa kalian tidak sadar pada sekitar?" Arjuna berusaha mengingatkan. Reyn dan Malvino tidak menjawab. Masih saling melemparkan tatapan tajam. Dengan dada berombak keras menahan emosi."Jika kalian memang sangat ingin berkelahi dan saling membunuh. Maka pergilah ke aula. Silahkan saling membunuh di sana."Shabina langsung menganga tak percaya mendengar kata-kata Arjuna selanjutnya. Gadis itu tak habis pikir dengan pria bule, yang masih sangat tampan di usianya yang tak muda lagi.Orang ingin saling bunuh kok di dukung? Pr
*Happy reading*Seharusnya, aku sudah tak asing dengan situasi ini. Bukannya sebelum ini, aku memang sudah tak pernah bertemu Reyn dan jarang mendapatkan kabarnya? Harusnya, aku sudah terbiasa hidup tanpa kehadirannya, ya kan?Anehnya, kenapa aku tetap merasa kosong, ya? Apa mungkin, ini karena dulu, meski Reyn tidak ada bersamaku dan jarang memberi kabar. Aku tahu dia tetap jadi bodyguardku dan memantau dari jauh. Makanya, meski jauh, aku tetap merasa tak sendirian. Sementara sekarang? Reyn benar-benar sudah menyatakan pengunduran dirinya, bahkan tidak menoleh kebelakang lagi saat tempo hari pergi membawa serta Lovely bersamanya. Ah, Lovely. Jujur saja, aku masih sangat penasaran sama gadis itu. Apa benar dia pacarnya Reyn, seperti yang kudengar dari Si gemoy di telepon tempo hari. Atau, jangan-jangan dia sama sepertiku. Hanya seorang yang Reyn lindungi. Entah kenapa, rasanya hatiku tak ingin percaya jika gadis manis itu pemilik hati Reyn. Gadis itu terlalu ... muda untuk Reyn, me
*Happy reading*"Sebetulnya, saya waktu itu hanya iseng saja melamar kamu. Sekaligus menguji kamu, kira-kira bisa gak saya ajak nikah settingan. Jujur saja, saya sudah pusing dirong-rong Tita waktu itu."Bangsul!Aku baru saja akan menyalak si duda resek itu. Tak terima dengan sahutan kurang ajarnya tadi. Sebelum tiba-tiba Bunda menggebrak meja dengan keras, bahkan langsung beranjak dari duduk seraya menyalak pada si papah. "Settingan! Settingan! Settingan aja terus! Sebenarnya anda ini pengusaha atau artis settingan, sih? Drama banget hidupnya?!"Mamam, tuh! Emang enak diomelin. Lagian benar kata bunda. Si duda itu tuh emang gak mirip pengusaha. Udah mah tukang bikin sensasi, eh hidupnya ternyata penuh settingan. Kan, kalah dah aku yang artis beneran. Eh, mantan artis. Kan udah pensiun dini. Mendengar omelan Bunda yang menggebu, Pak Vino pun hanya bisa menggaruk tengkuknya saja, pasti dia merasa tersindir dan bingung mau jawab apa."Bukan gitu, Tan. Cuma ... cuma ... waktu itu saya
*Happy Reading*"Masih belum nyerah dia?" Intan melirik Pak Vino yang sedang menemani Papa bermain catur di sofa, saat mengunjungiku siang itu. "Begitulah," desahku lelah."Lo gak usir?" Intan kembali bertanya."Udah berbusa mulut gue, Tan. Tapi ya ... gitu, deh." Lagi, aku membuang napas dengan berat."Ego cowok, Tan. Makin ditolak, makin keukeuh." Nurbaeti menimpali seraya asik mengunyah kwaci yang di bawanya. Akan tetapi, benar juga sih yang dikatakan si gemoy ini. Salah satu alasan dia keras kepala sama aku juga karena penolakan aku kali, ya? Namanya sultan biasanya kan apa bae gampang dapaetin maunya? Nah, sama aku malah ditolak. Makanya egonya tercubit. Begitu, kan? Tapi ... ya kali aku harus pura-pura nerima biar dia melepaskan aku. Ih, gak banget. "Tapi, emang lo gak capek di satronin dia kek gini terus?""Bukan lagi!" sahutku cepat. Menyuarakan uneg-uneg yang sudah lama aku pendam. "Seandainya bisa. Gue udah ngungsi kali ke planet Mars biar gak ketemu dia lagi!""Jangan ke
*Happy Reading*Sebenarnya aku tidak ingin terlalu memikirkan ucapan Tita. Bukan karena aku gak percaya atau menuduh Tita bohong. Aku tahu kok, anak kecil tidak akan bohong. Hanya saja, aku gak mau denial lagi. Mencoba tidak terpengaruh untuk kembali meluluhkan hati pada si duda. Okeh, mungkin sedikit rasa bersalah itu ada. Karena aku ternyata selama ini salah mengira. Si duda tidak memanfaatkan. Semuanya atas kemauan Tita sendiri. Lalu, aku harus apa? Itu tidak akan serta merta membuat aku langsung luluh dan membuka hati lagi. Ayolah! Aku sudah dua kali kecewa, loh. Masa aku masih segampang itu buat baper. Iya, kan? Kek gak ada belajarnya sama sekali. Lebih dari itu, aku sendiri ngerasa udah 'B' aja sama si duda. Rasa baper yang pernah aku rasakan dulu, sudah hilang entah kemana. Entah rasa itu akan hilang selamanya, atau hanya sementara. Untuk saat ini, pokoknya aku hanya ingin sendiri dulu. Menata hati kembali dan lebih selektif lagi dalam memilih pasangan. Aku gak mau gagal unt