Share

Pangeran Tanpa Kuda?

Terik mentari memantul dari jendela. Orang tua angkat Veronica telah selesai membuat tubuh molek itu terlihat semakin cantik dengan balutan gaun merah muda. Ia berkaca, melihat pantulan wajahnya yang dipenuhi oleh riasan bedak dan gincu merah merona. Hari ini adalah hari dimana ia dilamar seseorang. Untuk itulah ayah dan ibu memberinya pakaian mahal, sepatu indah, dan mendadani Veronica bak putri raja. Harusnya ia bahagia sekarang, tapi ia justru khawatir karena sosok itu belum pernah ia lihat wajahnya satu kalipun dalam hidup. 

"Kenapa kau murung begitu?" Seruan kecil membuat Veronica menoleh pada ibu. Dia adalah sosok yang sudah membesarkannya semenjak ia diambil dari panti asuhan dua belas tahun lalu. Dia sangat menyayangi Veronica, tapi gadis itu tidak mengerti mengapa kasih sayangnya kini berubah menjadi amarah dan benci. "Jangan cemberut! Kau bisa membuat tuan muda tidak tertarik denganmu karena wajah masammu itu," Meskipun terpaksa, akhirnya senyuman itu terukir manis di bibirnya.

"Nah, begitu. Kau terlihat cantik sekali jika tersenyum, sayangku." Ucap wanita bernama Marry itu. Veronica senang saat tangan lembut ibunya mengelus rambut dengan sayang. Ia sebenarnya tidak mau berpisah darinya sekejam apapun wanita itu memperlakukannya. Dia tetap ibunya.

"Ibu.. Apakah aku harus menerima perjodohan ini?" Ucapan Veronica seketika membuat sentuhan pada rambutnya terhenti. Senyuman Marry yang sedang mengembang itu menjadi kempis, digantikan dengan raut datar dan tatapan dingin. "Apa maksudmu?"

Veronica menelan ludah. Dia tidak bermaksud membuat ibunya marah, tapi Marry sepertinya sudah terlanjur terpancing. "Katakan sekali lagi kalau kau menolaknya, maka sekarang juga aku akan menendangmu dari rumah ini."

Perih, hati Veronica sangat sakit ketika mendengar itu. Marry adalah satu-satunya wanita paling berharga yang ia punya. Veronica menyayanginya. "A-aku.. Hanya tidak mau berpisah dengan kalian.."

"Hei, dengarkan." Sejumput rambut pirang emas itu dijambak dengan sengaja. "Kau pikir aku tidak mengeluarkan uang untuk menghidupimu selama ini?"

"Akh, ibu.."

"Sudah cukup kau menyusahkan kami hingga detik ini. Sekarang saatnya kau keluar dan merasakan bagaimana rasanya hidup di luar sana. Lagipula, calon suamimu itu kaya raya. Tuan Arliando punya segudang mobil dan berpetak-petak tanah yang bisa menghidupi dirimu bahkan sampai tujuh turunan anak cucumu. Kau hanya perlu duduk manis di rumah sembari melayani dia dengan makanan cukup dan tubuh molekmu!" Ucap Marry, kemudian memberikan tatapan lebar tanpa segan-segan. Sebulir air mata hampir jatuh di pipi Veronica, mengendap di kelopak matanya. Gadis itu hanya bisa membisu sembari menahan tangis pilu kuat-kuat.

"Apa kau mendengarnya?"

"I-iya, ibu.."

"Bagus. Sekarang bereskan bedakmu itu, kau harus tampil cantik dan menawan di depan tuan muda." Veronica mengangguk, Marry tersenyum puas dibuatnya.

Tak lama suara menderu terdengar mendekati rumah mereka. Marry dengan langkah setengah berlari menuju jendela, mengintip orang yang datang. "Ah, sepertinya dia sudah tiba!" Ia terlihat sangat sumringah, "Kau tunggulah disini sebentar, aku akan menemani ayahmu untuk menyambut tuan Arliando di depan rumah."

Wanita itu pergi keluar dari kamar. Veronica bergerak perlahan menuju jendela, turut mengintip ke luar. Tidak ia sangkal, Veronica juga diracuni oleh rasa penasaran luar biasa tentang sosok Arliando Magistra yang selalu kedua orang tuanya elu-elukan. Ibunya bilang, ia adalah sosok yang tampan sedangkan ayahnya berkata lelaki itu lebih gagah daripada lelaki gagah manapun. Apakah itu benar?

Perlahan tangannya meraih gorden jendela, menyibaknya pelan. Pupil berwarna coklat muda Veronica melebar perlahan. Ia terkejut melihat deretan mobil hitam yang terparkir di depan. Halaman rumahnya yang kecil hanya mampu menampung dua mobil saja, sehingga tiga mobil hitam yang lain berbaris di sepanjang pinggir jalan. Banyak orang keluar dari sana, tapi alih-alih para keluarga besar Arliando yang datang, orang-orang itu malah terlihat seperti para pembunuh bayaran.

Apakah mereka semua adalah bodyguard dari Arliando? Jika memang benar, alangkah pentingnya lelaki itu sehingga harus di dampingi oleh belasan penjaga seperti ini. Ia menjadi semakin bertanya-tanya tentang sosok sang tuan muda. 

Tak lama Veronica memperhatikan pintu mobil paling depan kedua terbuka perlahan. Ibu dan ayahnya yang berdiri menyambut menunjukkan sepertinya mobil itu adalah mobil utama yang ditumpangi calon suaminya. Kedua matanya terus memperhatikan lamat-lamat, sampai seorang pria keluar dari mobil itu, bulu mata lentik Veronica berkedip cepat. 

'Sebenarnya siapa kau, tuan Arliando?' Hati gadis cantik itu tak henti menuai pertanyaan. Sampai akhirnya pria yang ia tunggu benar-benar keluar dan berdiri di depan pintu mobil. Dari jendela Veronica bisa melihat betapa tegapnya tubuh tinggi itu. Garis rahangnya sangat tegas, parasnya rupawan seelok pangeran. Apakah salah jika Veronica memuji di dalam hati? Dia terpesona pada lelaki itu pada jarak sejauh ini. 

Veronica terdiam, berdiri di depan jendela sampai tidak sadar mata setajam elang itu bergulir padanya. Melirik ke arah dimana Veronica berada. 

Sraattt.. Gorden jendela ditutup cepat. Gadis cantik itu segera membalikkan badan agar Arliando tidak dapat melihatnya. Sebelum akhirnya dia kembali mengintip di balik kain transparan jendela, mengamati tuan muda diam-diam. 

"Tampan seperti pangeran.." Bibir itu berbisik pelan. Tanpa disadari detak jantung Veronica mulai berdetak kencang. Ia terhanyut dalam khayalan tentang seorang putri yang dijemput oleh pangeran berkuda dalam buku cerita yang saat kecil selalu ia baca. Tidak ia pungkiri, hingga detik ini ia masih memimpikan itu. Apakah Veronica akan menjadi gadis beruntung itu? Ia berdebar. Senyum kecil menghiasi bibirnya yang semanis gula. 

Rasa penasarannya membuncah. Veronica berjalan ke luar kamar dan mendekati tangga. Berdiri untuk melihat calon suaminya dari balik dinding tak jauh dari tempat Arliando berada. Dengan pelan Veronica membawa kepalanya mengintip ke ruang tamu, menumpukan pandangan tepat pada lelaki itu. Dia ada disana, calon suaminya. Tapi ntah mengapa lelaki itu tidak duduk dan mengobrol bersama kedua orangtua seperti bayangannya. Arliando berdiri sembari bersedekap dada, kedua matanya itu memandang ayah dan ibu Veronica bagai manusia rendahan. 

"Mana dia?"

"Dia masih di kamarnya, tuan."

"Cepat panggil si Veronica itu kemari,"

"Apakah anda tidak mau duduk dan minum teh dahulu?"

"Tidak perlu, aku sibuk dan tidak punya waktu berada disini lama-lama."

Kenapa? Kenapa dia sombong sekali? Kedua alis Veronica melengkung keheranan. Ia terkejut, sangat. Wajah itu memang tampan. Bahkan meski tidak bertatap muka secara langsung pun Veronica bisa melihat bagaimana wajah Arliando bak pangeran yang turun dari syurga. Tapi perilakunya itu sangat terbalik dengan apa yang ia bayangkan. Veronica mundur dengan kekagetan luar biasa, tangannya terkatup di depan bibir dengan wajah tak dapat dijelaskan.

"Veronica?" Panggilan sang ibu membuyarkan lamunannya. Derap langkah terdengar menuju ke arahnya. Dengan cepat gadis itu kembali masuk ke dalam kamar seperti tak terjadi apapun semenit lalu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status