Jennifer mengepalkan tangan erat di sisi tubuhnya. Tetap waspada, ia menjawab dengan mengatupkan rahangnya."Kau siapa beraninya mengurusi hidupku, hah?! Mau aku melakukan apapun dengan Max, itu bukan urusanmu!" Jennifer mendekat, suaranya nyaris berdengking.Sontak Ruth memundurkan tubuhnya satu langkah. Jennifer kembali menyerangnya dengan beberapa lontaran kalimat lagi."Dan kau tanya apa barusan? Apa hubungannya dengan Shada?! Banyak! Kau tidak tahu bagaimana usahaku sampai di titik ini!" nyalaknya semakin keras.Ruth menautkan kedua alisnya. "Aku tidak mengerti."Jennifer tergelak. Kini nyalinya semakin berani menghadapi Ruth. Sekarang ia sedang berada di atas kartu. "Tentu saja kau tidak mengerti. Hubunganku dan Shada tidak akan dimengerti oleh siapapun! Lagian apa kau indigo? Sok tahu, mengurusi hidup orang lain! Urus saja urusanmu!" tuding keras Jennifer.Ruth tertawa—sama sekali tak habis pikir dengan sikap Jennifer yang begitu bebal. Ia lantas maju mendekati Jennifer untuk k
"Lanjutkan," perintah Leo tatkala melihat Jennifer.Jennifer mengulum senyum kemenangannya singkat, kemudian berkata. "Ini semua karena Shada."Ruth melebarkan kedua matanya. Ia menoleh ke arah Jennifer seraya melipat wajahnya tidak terima. Ruth hendak protes namun ia menyadari bahwa Leo akan membentaknya lagi."Shada sudah mengadu domba antara saya dengan Ruth, Pak. Itu yang membuat Ruth melabrak saya tadi," lanjut Jennifer. Wajahnya terlihat tenang."Oh.. ternyata cuma masalah pribadi," tanggap Leo enteng. Matanya beralih menuju Ruth yang sedang menahan emosinya.Setelah itu, Leo menghela napas saat memandang Ruth. Ia berdeham lagi. "Sekarang giliranmu menjelaskan."Ruth menarik napas. Ia melihat Leo yang sedang memandangnya. Tak sengaja kedua tatapan mereka beradu, membuat Leo menyadari betapa ia menyukai kedua netra itu."Maaf, Pak. Tapi saya hanya ingin meluruskan agar Jennifer tidak mengganggu Shada lagi," aku Ruth terpaksa. Masa bodoh dengan Leo yang menganggapnya terlalu ikut
Ckiiit!Shada memejamkan kedua mata saat bunyi rem keras mendesak telinganya. Sial, mau menjalankan mobilnya pun tak bisa. Kendaraan besar di depannya masih penuh, bahkan belum bergerak sama sekali.Saat mata Shada terpejam rapat, ia masih bisa mendengar suara benturan keras di belakangnya. Tetapi... tidak terjadi apapun.Dengan rasa takut, Shada lantas membuka mata perlahan. Kedua netranya segera menjelajahi tubuhnya juga badan mobilnya. Tidak ada apa-apa.Shada segera memutar tubuhnya. Rasa terkejut cepat menyambarnya. Orang-orang sudah banyak berkumpul di belakang mobil yang sekarang ia tumpangi. Napas Shada tercekat ketika melihat sebuah mobil hitam dalam posisi melintang di jalan lantas tertutupi kumpulan massa.Shada lekas keluar, membaur dengan kerumunan manusia yang memiliki rasa penasaran yang sama. Shada membekap mulutnya sendiri tatkala melihat pria yang keluar dari mobil berposisi melintang. Mobil itu mungkin saja telah menghadangnya dari tabrakan mobil pertama yang melaju
Jantung Shada terlonjak. Dunianya seakan berputar kencang lalu berhenti saat itu juga. Kepala Shada mendadak pusing.Apa yang barusan ditangkap oleh indera pendengarnya salah kan?Tubuh Shada lemas, meskipun ia sendiri tak yakin. Shada menoleh. Menatap Jennifer dengan pandangan yang terkunci dan membisu.Jennifer memandangnya dengan tatapan remeh. Setelah menyunggingkan senyum miringnya, wanita itu segera mematikan sambungan teleponnya."Ada apa, Shada? Ada yang perlu kau tanyakan?"Shada membeku. Segala emosi langsung saja menyergapnya. Marah, benci, sakit hati, ingin menangis. Shada sampai bingung harus melampiaskan mana yang lebih dulu."Kau telepon siapa?" Hanya pertanyaan singkat nan dingin yang dapat keluar dari bibirnya."Oh, ini tadi ya? Temanku, kau kenal?" Jennifer mengangkat kedua alisnya, sengaja mempermainkan emosi Shada. Ekspresi mengejek terlihat jelas di guratan wajahnya."Bukan Max?"Jujur Shada membenci Jennifer yang sengaja mengulur-ulur waktunya. Shada sedang tidak
"Besok aku akan ambil cutiku sehari."Ruth yang sedang meneguk air mineral di gelas ketiga nyaris tersedak. Ia segera meletakkan gelas di atas meja, menyeka bibirnya yang basah lantas membelalakkan mata tak percaya."Kenapa tiba-tiba?""Aku penasaran dengan Demian. Katanya ia akan menunjukkan sesuatu," gumam Shada. Matanya tak bisa lepas dari pesan yang dikirim Demian. Ia bahkan bingung mau membalas apa."Apa kau tahu?" Shada mendongak tiba-tiba, menatap Ruth penuh harap.Ruth segera mengibaskan sebelah tangannya. "Eh, jangan tanya aku. Demian itu vampir yang sulit dimengerti. Aku tidak bisa menebaknya.""Bukannya harusnya kau bisa membaca pikiran orang lain?"Ruth menelan ludah. Padahal dulu ia sempat membohongi Shada. Tetapi justru dibahas lagi dengan temannya itu."S-siapa yang bilang? Kan aku dulu pernah menjelaskan kalau aku hanya peka dengan sifat dan karakter manusia," protes Ruth tak terima jika kebohongannya sampai terbongkar. Wajahnya sudah merah karena memanas."Oh iya.. ak
Shada berdiri saking terkejutnya. Kedua matanya mengerjap cepat. Cahaya merah itu dari beberapa hari lalu sudah menakutinya. Dari mana asal sinar tersebut?Sontak Shada berlari memasuki kamarnya. Ia mencari Ruth. Setelah menuruni beberapa anak tangga dan melihat Ruth sedang memasak, Shada memberitahunya dengan wajah yang sudah pucat pasi."Ruth, aku melihat cahaya itu lagi!"Ruth menghentikan kegiatannya. Ia memutar tubuh sambil memasang wajah heran. "Cahaya apa?" tanyanya masih kebingungan.Shada tergegau, ia belum menceritakan hal itu sama sekali kepada Ruth. Dengan panik, Shada langsung menarik tangan Ruth."Sini aku tunjukkan kepadamu," ujarnya masih erat memegang tangan Ruth."Eh, tunggu. Aku sedang memasak, nanti gosong." Ruth melepas pegangan Shada, lantas menuruni tangga demi mematikan kompor.Setelahnya, ia berlari menyusul Shada yang masih menunggunya di tangga. Mereka berjalan beriringan menuju balkon. Seketika angin kencang menyambut mereka.Cahaya itu masih ada. Berpendar
Pagi ini cuaca sangat cerah. Diselingi oleh burung-burung yang melayang bebas di udara yang cukup sejuk. Sesekali terdengar burung-burung itu mencericip menyukakan hati.Mobil Demian melesat membelah jalanan kota Toronto. Pagi yang cukup ramai bersamaan dengan jam-jam orang bekerja. Entah kenapa Shada senang. Suasana pagi cerah yang tak terlalu panas membuatnya selalu bersemangat. Beberapa kali ia sempat menikmati daun pepohonan yang mulai kecokelatan lalu berguguran.Ini sudah 45 menit sejak mereka meninggalkan kota Toronto. Semakin lama, udara di sekitar mereka semakin dingin. Shada juga menyadari pepohonan tinggi yang mulai meranggas memenuhi sisi kanan dan kiri jalan.Demian mengemudikan mobilnya sangat cepat. Roda mobilnya menghasilkan angin setelah melewati jalan sehingga membuat daun-daun yang berguguran terhempas bebas.Dahi Shada berkerut. "Ini dimana?"Shada mengedarkan pandang menyapu alam yang berada di luar mobil. Tempat yang cukup indah, namun belum ia kenali. Shada belu
"Bra ungu?" papar Demian santai, membuatnya langsung mendapat sebuah tamparan keras di pipi kirinya.Sontak Shada membalikkan badan. Di wajahnya muncul semburat merah. Ia menekuk wajah, merutuki setiap perbuatannya tanpa alasan yang jelas.Ini sangat memalukan! Erangnya dalam hati.Demian mengusap wajahnya panik. Kedua pipinya juga memerah ikut menanggung malu.Keduanya menjadi bingung. Shada yang tak membawa pakaian ganti, sementara Demian akan membawa Shada ke dua tempat lagi. Tidak mungkin Shada ia bawa dalam kondisi seperti itu.Mereka hening selama beberapa detik karena pikiran masing-masing. Shada menggigit jari sambil mengerutkan dahinya.Demian lalu teringat di dalam mobilnya terdapat kaos. Namun, ia sempat ragu karena kaos itu merupakan kaos untuk promosi."Hmm, Shada. Sebenarnya di mobilku ada kaos. Tapi..."Shada membalikkan badan dan merapatkan jaketnya. Ia menaikkan kedua alis menunggu ucapan Demian yang sempat menggantung."Tapi apa?""Itu kaos milik temanku," jawab Demi