Uzy mendekatkan kepala kepada Yandi. Pelan, Yandi berbisik,
“Dua juta ....”
Uzy terbelalak.
“Semahal itu!” seru Uzy.
Yandi tertawa melihat keterkejutan Uzy.
“Dia memang mahal. Aku sudah pernah bilang, kan?” bisik Yandi.
Uzy terdiam. Uangnya kurang, itu yang membuatnya kebingungan.
“Memangnya kamu punya uang berapa?” bisik Yandi lagi.
“Sembilan ratus,” gumam Uzy pelan.
Yandi memandang Uzy seperti sedang mempertimbangkan sesuatu. Sesaat kemudian, ia menggelengkan kepala.
“Kurang banyak. Kamu nabung saja dulu atau cari uang,” saran Yandi.
Uzy mengangguk.
“Mungkin bulan depan aku ada uang segitu,” kata Uzy.
“Bulan depan saja ketem
“Cari cewek lain, yang lebih sesuai untuk jadi istri,” jawab Dudi halus.Lantaran tidak enak membuka topik yang riskan ini, Dudi mengalihkan pandangan ke ponsel di tangannya.“Hm. Aku belum mikir menikah, sih. Masih jauh, kuliah saja baru mulai,” ungkap Uzy.“Apalagi begitu. Jangan main api, nanti kamu terbakar,” ujar Dudi.“Tuh, Zy. Dengarkan saran dari pakar,” timpal Mas Destan.Sedari tadi diam, tiba-tiba Mas Destan ikut menimbrung. Uzy memandang Dudi dan Mas Destan bergantian.“Pakar?” ulang Uzy. Mulutnya melongo, pertanda tak paham.“Pakar itu kata lain dari orang yang sudah memiliki pengalaman pahit,” sambung Mas Destan.Kemudian Mas Destan dan Dudi sama-sama tertawa. Bedanya, Mas Destan tertawa prihatin, sedangkan Dudi tertawa
Pengajian akbar yang dihadiri Uzy berlangsung lebih meriah daripada yang Uzy sangka sebelumnya. Sejak pagi-pagi sekali, sudah ramai para mahasiswa yang ingin ikut menghadiri acara tersebut. Uzy sendiri hadir lebih pagi dari jadwal acara untuk membantu panitia, karena tidak enak pada Hanif. “Ramai juga ya, Mas. Wajah-wajahnya asing, seperti bukan mahasiswa kampus ini. Dari mana saja mereka?” tanya Uzy heran. “Kami mengundang para mahasiswa dari kampus-kampus lain. Kan, UKM Islam antar kampus ada silaturahminya. Nah, mereka yang hadir itu adalah pengurus dan anggota UKM Islam dari kampus-kampus lain,” jelas Hanif seraya tersenyum. Uzy manggut-manggut. Ia baru tahu bahwa UKM antar universitas bisa memiliki komunitas juga. “Ayo, Zy. Tolong tata tambahan kursi bagi para hadirin lagi,” ajak Hanif. “Siap, Mas!” jawab Uzy sigap. Satu jam me
Uzy berhenti di dekat mobil hitam mewah tersebut.“Permisi,” kata Uzy cukup keras.Dua kepala muncul memenuhi panggilannya. Wajah cantik Candy dan wajah seorang bapak-bapak bertubuh kekar terlihat oleh Uzy.“Ehm, maaf. Saya mau ketemu Mbak Candy,” ujar Uzy grogi.“Ya? Ada apa, ya?” tanya Candy.Sepasang mata cantik Candy menyorotkan kebingungan. Dari pandangan matanya, jelas ia merasa Uzy merupakan orang asing. Terang saja, Candy baru pertama kali ini melihat Uzy secara serius.“Boleh bicara berdua saja, Mbak? Urusannya agak pribadi,” kata Uzy sungkan.“Boleh, boleh. Silakan masuk,” sahut Candy. Ia menyilakan Uzy untuk masuk ke ruang tamu.“Tunggu sebentar Pak Doni,” kata Candy pada bapak-bapak yang tadi ikut muncul.
“Assalamu’alaikum,” salam Hanif yang sudah kembali.“Zy. Betul itu dompet Pak Ratno. Beliau senang sekali dompet dan kartu-kartu pentingnya kembali. Aku sudah ceritakan bahwa kamu yang menemukannya. Sebagai rasa terima kasih, uang yang ada di dalam dompet beliau hadiahkan buatmu,” lapor Hanif.“Betul itu, Mas?” tanggap Uzy. Matanya berbinar. Kebetulan ia perlu uang buat ongkos dan merawat ibunya di rumah.“Alhamdulillah. Kebetulan saya memang sedang perlu uang, Mas. Barusan adik saya telepon mengabari bahwa Ibu sakit. Saya harus pulang sekarang juga,” ungkap Uzy.“Wah! Alhamdulillah kalau begitu, Zy. Tapi kamu nggak apa-apa pulang dalam kondisi begitu?” tanya Hanif. Kecemasannya terlihat tulus.“Nggak apa-apa, Mas. Saya khawatir dengan kondisi Ibu. Kata adik saya, Ibu memanggil nama saya terus,” ujar Uzy.&nbs
“Orang-orang apa, Bu?” desak Uzy yang semakin tak sabar.Tiba-tiba Ibu menangis. Hati Uzy serasa diremas karena merasa bersalah. Ia telah membuat ibunya bersedih. Sudut mata Uzty melirik Lilis, sebagai kode bahwa ia meminta penjelasan.Akan tetapi, Lilis malah asyik memandangi kuku-kuku jari tangannya. Sesekali, ia mencongkel kotoran yang terselip diantara kuku dengan kuku jari kelingking. Dari gaya Lilis saja Uzy sudah tahu bahwa adiknya itu sengaja berpura-pura tak melihat kode yang diberikannya.Uzy mendesah. Ia mengambil sebelah tangan Ibu lalu menggenggam erat-erat. Matanya menatap Ibu penuh kesungguhan.“Bu, maafkan Uzy yang telah berkata keras pada Ibu,” ujar Uzy lembut.Ibu mengusap air di sudut mata dengan punggung tangannya yang bebas, lalu membelai tangan Uzy yang menggenggam tangannya yang lain dengan tangan tersebut.&ldqu
“Ehe ... Aku nggak enak ngomongnya,” kata Lilis seraya cengengesan.“Apa karena ada Ibu? Anggap saja Ibu nggak ada,” seloroh Ibu.Lilis tertawa-tawa. Namun setelah itu ia tetap bungkam.“Punya apa sih, Lis? Mas jadi penasaran, nih,” desak Uzy tak sabar.Lilis memilin-milin rambutnya yang panjang sebahu. Matanya berkelana ke langit-langit kamar, seolah sedang mempertimbangkan ucapan Uzy.“Paling juga punya pacar,” celetuk Ibu mengagetkan.“Haaa ... Kok Ibu bisa tahu?” Mata Lilis terbelalak sempurna. Mulutnya juga ikut menganga. Ekspresi wajahnya sangat lucu dan imut di mata Uzy.“Betul, kan,” cetus Ibu seraya tersenyum.“Dari mana Ibu tahu, sih. Kan Ibu nggak pernah antar dan jemput aku sekolah,” desak Lilis penasaran.
Uzy pulang menggunakan bus antarkota. Berangkat pukul empat sore, ia tiba di rumah Paman Ali menjelang maghrib, pada pukul setengah enam. Kedatangannya disambut gembira oleh Paman Ali dan istri pamannya. Bahkan, Bibi memasakkan menu istimewa kesukaan Uzy, udang asam manis. Uzy makan bersama keluarga Paman Ali, termasuk bersama Zeo.“Makan yang banyak, biar kamu pinter dan cepet lulus,” ujar Bibi sambil menambahkan lauk udang ke piring Uzy.“Iya, Bi. Terima kasih.” Uzy menjawab takzim.“Bagaimana keadaan ibumu?” tanya Paman Ali.Uzy menceritakan penyakit dan kondisi terkini dari keadaan ibunya secara ringkas. Paman Ali juga menanyakan kabar Lilis. Uzy pun menceritakan perkembangan Lilis adiknya. Usai makan, Uzy pamit ke kamarnya untuk beristirahat.Uzy yang merasa gerah langsung memutuskan untuk mandi. Azan Maghrib berkumandang dari kejauhan, bertepatan dengan kaki Uzy yang melangkah keluar dari kamar mandi. Uzy langsung menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslim.Usai shalat, Uzy
Uzy melamun di perpustakaan saat mengerjakan makalah buat Rani. Sebelah tangannya bertopang di dagu, sementara tatap matanya nanar ke arah dinding perpustakaan yang kusam dan berdebu. Dalam kondisi itulah Milo menemukan Uzy di salah satu sudut perpustakaan.Uzy tidak melihat saat Milo datang mengendap-endap dari belakang dan menyapanya dengan cara tak biasa.“Hei! Serius banget, Zy? Lagi ngapain, nih?” sapa Milo seraya menepuk meja di depan Uzy, sampai Uzy terlonjak kaget karena bunyi tepukan di meja cukup keras.“Hah, ngangetin aku aja kamu, Mil! Aku lagi ngerjakan makalah buat Rani, nih. Lumayan dapat uang lelah.” Uzy menjawab sambil merendahkan suara, takut isi percakapan mereka didengarkan oleh petugas perpustakaan.Tanpa sepengetahuan Uzy, ada sepasang telinga yang mendengar pembicaraan antara dirinya dan Milo. Sosok itu tidak terlihat oleh Uzy karena berada di balik lemari buku yang ada di samping Uzy.“Kamu cari tambahan uang saku lagi? Bukannya kamu sudah kerja sama Masku? Apa