Happy Reading! ^^
Ben mengangkat telepon yang sedari tadi ia tunggu-tunggu dari anak buahnya. "Apa yang kau dapatkan?" ucapnya setelah mengatakan halo."Tuan, tidak ada hal khusus tentang Bapak Hendra. Soal masalah penganiayaan Nyonya Lisa oleh keluarganya, kami juga tidak mendengar apa pun. Kami hanya mendengar gosip bahwa Nyonya Lisa menggugurkan kandungannya tiga tahun lalu. Apakah gosip itu benar atau tidak, kami tidak bisa memastikannya. Tidak ada keterangan apapun yang membantu kami. Sepertinya gosip itu muncul setelah Nyonya Lisa hampir dua bulan tidak masuk sekolah karena alasan sakit.""Oh begitu," jawab Ben kecewa karena tidak mendapat kepastian apa-apa."Tapi, Tuan, kami malah mendapat fakta yang mungkin cukup mengejutkan Tuan, tentang istri dari Bapak Hendra.""Istrinya kenapa?" tanya Ben malas."Istrinya adalah Ibu Nafa, Tuan. Bukankah Ibu Nafa itu yang dulu menjual Nyonya Lisa pada Tuan?""Benarkah dia istrinya?" Ben cukup terkejut mendengarnya. Dia memang berencana untuk mencari tahu hub
Ben tersenyum melihat Damian tidak menyangkali ucapannya. Ternyata kabar bahwa Damian adalah anak dari hasil perselingkuhan adalah benar. "Tenang saja, untuk sementara ini rahasia ibumu aman kok asalkan kau mau menjawab semua pertanyaanku tentang ucapanmu tadi pagi pada Lisa." "Yang mana?" Damian mengerutkan kening. Sial sekali Ben mengancamnya. Dia tidak mungkin lagi bersikap ketus seperti tadi pada Ben. "Kau mengatakan bahwa kau ingin melindungi Lisa agar Lisa tidak dipukuli habis-habisan oleh Hendra seperti dulu." "Ya, memang seperti itu," lugas Damian. "Maksudnya, Hendra pernah memukuli Lisa habis-habisan?" tanya Ben memastikan. "Ya, Hendra menganiaya Lisa. Dia memukul dan menendangnya," jawab Damian apa adanya. "Kenapa dia melakukan itu? Apa Lisa berbuat kesalahan fatal?" Tanpa sadar kening Ben mengerut. "Lisa hamil tiga tahun lalu, jadi Hendra marah besar. Dia terus-terusan emosi melihat Lisa. Jadi kadang kala dia memukulnya atau sesekali menendangnya. Lisa menjadi stres
"Kenapa kebetulan sekali sih?" keluh Ben di dalam hati. Ia melangkah turun menghampiri Revin."Win, kau jangan salah paham. Om kebetulan saja berkunjung ke kafe ini. Tadinya Om hanya sekedar ingin santai melepas penat, tahu-tahu bertemu dengan Lisa," jelas Ben berbohong. Tentu saja kenyataannya dia sengaja datang ke kafe Lisa untuk menemui Lisa."Apa Om pikir aku percaya begitu saja? Kau jelas suka dengan Lisa! Kau datang kemari pasti dengan sengaja!" bentak Revin dengan nada marah, penuh rasa curiga, apalagi melihat Ben yang baru saja turun dari lantai atas, tempat di mana Lisa memiliki ruang privasi. Bentakan Revin membuat beberapa karyawan seketika menoleh pada mereka, mereka takut akan terjadi perkelahian.Ben mengatupkan mulutnya kesal. "Kau salah paham," tegasnya sengaja menaikkan suara.Rahang Revin mengeras. Tepat saat ia hendak membuka mulutnya, seorang karyawan perempuan menyusul di belakang Ben. Dia adalah Aisyah. Revin terdiam sejenak mencerna situasi. Tadinya dia berpikir
"Sebentar lagi kita akan bercerai, untuk apa menunjukkan status hubungan kita sekarang pada orang lain?" jawab Revin memberi alasan.Lisa paham. "Oh, tadinya kupikir Kakak malu mengaku sebagai suamiku."Revin terkekeh pelan. "Itu sudah pasti aku malu," tanggap Revin, tak peduli perasaan Lisa. "Tapi alasan utamanya adalah yang tadi, karena ujungnya kita akan bercerai sebentar lagi."Lisa diam sejenak, lalu ia berkata, "Sabarlah, Kak. Beberapa bulan lagi Kakak akan bebas. Yang ku minta cuma satu, supaya Kakak dan istri baru Kakak nanti tidak akan pernah bersikap kasar pada bayiku.""Untuk apa aku bersikap kasar padanya?" tanggap Revin. "Ngomong-ngomong, kau bilang, untuk sementara ini kau tidak mau papamu tahu kita akan bercerai. Tapi bagaimana nanti kau menghadapi papamu saat kita pada akhirnya bercerai?" tanya Revin sedikit ingin tahu.Lisa tersenyum kecil, 99% dia tidak akan mungkin menghadapi papanya. Dokter mengatakan tumor di rahimnya akan mengganas jika janin dan tumornya tidak se
Bohong jika Revin tidak terpukau dengan kecantikan Liliana. Liliana memiliki rambut hitam lurus sebahu dengan poni rata sealis. Memakai kaus putih lengan pendek dengan rok tutu merah muda selutut. Tas ransel mungil berwarna merah muda tersampir di kedua bahunya. Dia terlihat segar, muda dan energik."Liliana!" sapa Ben dengan hangat. "Apakah melelahkan?" ucapnya sambil mengusap pundak Liliana."Lumayan, Om," ucap Liliana tersenyum cerah. Matanya kemudian beralih pada Revin yang sedari tadi mengamatinya. "Siapa, Om? Kok nggak dikenalkan?" tanyanya dengan melempar senyum ramah pada Revin."Dia, Erwin, keponakan Om," jawab Ben singkat."Oh ya?" ucap Liliana agak terkejut. "Kok Om nggak pernah bilang punya keponakan se....?" Ucapan Liliana mengambang. Wajahnya mendadak merah, sementara Revin hanya tersenyum kecil."Se...apa maksudnya? seganteng itu?" tebak Ben blak-blakkan."Hussh! Om nggak boleh terlalu jujur. Tahu-tahu orangnya sudah ada yang punya," ucap Liliana malu sambil melirik pada
Lisa sedang berada di satu kamar saat Ben, Revin dan Liliana sudah tiba di rumah. Kamar itu bukan kamar Revin. Renatalah yang langsung menyuruhnya untuk langsung pindah kamar sebelum Liliana tiba. Renata memastikan pada Lisa bahwa Revin pasti akan setuju Lisa pindah kamar. Itu sebabnya dia berada di sini sekarang. Dia sibuk memasukkan pakaian dan beberapa barang miliknya ke dalam lemari. Setelah beres, Lisa langsung duduk sambil menyandarkan punggungnya di kepala ranjang. Tadi saat dia hendak memasuki kamar itu, Lisa sempat mendengar suara Renata yang menyambut ramah kedatangan Liliana.Lisa menghela napas. "Harusnya Kak Revin menyuruhku pulang saja. Sebenarnya untuk apa aku di sini? Bukankah kehadiranku sangat mengganggu?" keluhnya pelan.Suara ketukan terdengar."Mbak Lisa?" sapa seorang pelayan."Iya, Bi?" sahut Lisa dari dalam kamar hendak turun menemui pelayan itu."Mas Revin meminta Mbak Lisa segera turun untuk makan siang," ucap pelayan itu di balik pintu tanpa menunggu Lisa mem
"Bagaimana menurutmu gadis itu?" tanya Renata pada Revin dengan bersemangat."Ren, pelankan suaramu. Bagaimana kalau Liliana tiba-tiba turun dan muncul di sini?" ucap Alex."Dia kan baru dari sini, masa tiba-tiba datang ke sini lagi, Pa?" sahut Renata."Nanti saja membahas itu," jawab Revin."Baiklah. Mama mau menemui Om mu dulu ke kamarnya. Ada yang mau Mama bicarakan padanya." Renata langsung beranjak dari sofa."Ren, kau mau bilang apa ke Ben?" tanya Alex langsung ikut mengekori istrinya."Mama mau bilang kalau Mama suka banget dengan Liliana. Sudah cantik, ramah lagi," jawab Renata sambil berjalan menuju tangga bersama suaminya.Revin menghela napas pelan. Akhirnya, hanya dia dan Lisa saja di ruang itu. Matanya kembali berkilat melihat Lisa. Sejak tadi saat Lisa muncul di ambang pintu ruang makan, Revin menahan diri agar matanya tidak jelalatan memandangi istrinya itu. Dandanan Lisa hari ini menarik perhatian Revin. Lisa terlihat sangat cantik memakai dress hamilnya yang terbuat da
Revin mengatupkan mulutnya. Sebenarnya tepat setelah menampar, dia menjadi kasihan pada Lisa. Tapi Lisa sudah keterlaluan. Revin merasa dirinya tidak bisa bersikap lembek lagi seperti sebelumnya dengan mengabaikan kelakuan kasar Lisa."Apa kau sudah sadar apa kesalahanmu?" tanyanya.Dengan berurai air mata, Lisa menatap Revin dengan tatapan melawan. "Kalau aku tidak sadar akan kesalahanku, apa kau akan menamparku lagi?""Apa? Kau memukulku, waktu itu juga kau menamparku, sekarang mengabaikan dan melempar wajahku dengan bantal. Aku seorang suami, kepala rumah tangga yang harus kau hormati, apa pantas kau bersikap seperti itu?" tanya Revin.Lisa menunduk diam. Dada Lisa sedang sakit, dia hanya ingin beristirahat sebentar agar bisa menahan rasa sakitnya, tetapi Revin datang mengganggu. Itulah yang membuat Lisa labil dan tidak bisa mengendalikan emosinya dengan baik. Tetapi Revin sama sekali tidak tahu rasa sakit yang sedang dirasakan Lisa."Kenapa kau tidak menjawabku?" tuntut Revin."Maa