"Sebentar lagi kita akan bercerai, untuk apa menunjukkan status hubungan kita sekarang pada orang lain?" jawab Revin memberi alasan.Lisa paham. "Oh, tadinya kupikir Kakak malu mengaku sebagai suamiku."Revin terkekeh pelan. "Itu sudah pasti aku malu," tanggap Revin, tak peduli perasaan Lisa. "Tapi alasan utamanya adalah yang tadi, karena ujungnya kita akan bercerai sebentar lagi."Lisa diam sejenak, lalu ia berkata, "Sabarlah, Kak. Beberapa bulan lagi Kakak akan bebas. Yang ku minta cuma satu, supaya Kakak dan istri baru Kakak nanti tidak akan pernah bersikap kasar pada bayiku.""Untuk apa aku bersikap kasar padanya?" tanggap Revin. "Ngomong-ngomong, kau bilang, untuk sementara ini kau tidak mau papamu tahu kita akan bercerai. Tapi bagaimana nanti kau menghadapi papamu saat kita pada akhirnya bercerai?" tanya Revin sedikit ingin tahu.Lisa tersenyum kecil, 99% dia tidak akan mungkin menghadapi papanya. Dokter mengatakan tumor di rahimnya akan mengganas jika janin dan tumornya tidak se
Bohong jika Revin tidak terpukau dengan kecantikan Liliana. Liliana memiliki rambut hitam lurus sebahu dengan poni rata sealis. Memakai kaus putih lengan pendek dengan rok tutu merah muda selutut. Tas ransel mungil berwarna merah muda tersampir di kedua bahunya. Dia terlihat segar, muda dan energik."Liliana!" sapa Ben dengan hangat. "Apakah melelahkan?" ucapnya sambil mengusap pundak Liliana."Lumayan, Om," ucap Liliana tersenyum cerah. Matanya kemudian beralih pada Revin yang sedari tadi mengamatinya. "Siapa, Om? Kok nggak dikenalkan?" tanyanya dengan melempar senyum ramah pada Revin."Dia, Erwin, keponakan Om," jawab Ben singkat."Oh ya?" ucap Liliana agak terkejut. "Kok Om nggak pernah bilang punya keponakan se....?" Ucapan Liliana mengambang. Wajahnya mendadak merah, sementara Revin hanya tersenyum kecil."Se...apa maksudnya? seganteng itu?" tebak Ben blak-blakkan."Hussh! Om nggak boleh terlalu jujur. Tahu-tahu orangnya sudah ada yang punya," ucap Liliana malu sambil melirik pada
Lisa sedang berada di satu kamar saat Ben, Revin dan Liliana sudah tiba di rumah. Kamar itu bukan kamar Revin. Renatalah yang langsung menyuruhnya untuk langsung pindah kamar sebelum Liliana tiba. Renata memastikan pada Lisa bahwa Revin pasti akan setuju Lisa pindah kamar. Itu sebabnya dia berada di sini sekarang. Dia sibuk memasukkan pakaian dan beberapa barang miliknya ke dalam lemari. Setelah beres, Lisa langsung duduk sambil menyandarkan punggungnya di kepala ranjang. Tadi saat dia hendak memasuki kamar itu, Lisa sempat mendengar suara Renata yang menyambut ramah kedatangan Liliana.Lisa menghela napas. "Harusnya Kak Revin menyuruhku pulang saja. Sebenarnya untuk apa aku di sini? Bukankah kehadiranku sangat mengganggu?" keluhnya pelan.Suara ketukan terdengar."Mbak Lisa?" sapa seorang pelayan."Iya, Bi?" sahut Lisa dari dalam kamar hendak turun menemui pelayan itu."Mas Revin meminta Mbak Lisa segera turun untuk makan siang," ucap pelayan itu di balik pintu tanpa menunggu Lisa mem
"Bagaimana menurutmu gadis itu?" tanya Renata pada Revin dengan bersemangat."Ren, pelankan suaramu. Bagaimana kalau Liliana tiba-tiba turun dan muncul di sini?" ucap Alex."Dia kan baru dari sini, masa tiba-tiba datang ke sini lagi, Pa?" sahut Renata."Nanti saja membahas itu," jawab Revin."Baiklah. Mama mau menemui Om mu dulu ke kamarnya. Ada yang mau Mama bicarakan padanya." Renata langsung beranjak dari sofa."Ren, kau mau bilang apa ke Ben?" tanya Alex langsung ikut mengekori istrinya."Mama mau bilang kalau Mama suka banget dengan Liliana. Sudah cantik, ramah lagi," jawab Renata sambil berjalan menuju tangga bersama suaminya.Revin menghela napas pelan. Akhirnya, hanya dia dan Lisa saja di ruang itu. Matanya kembali berkilat melihat Lisa. Sejak tadi saat Lisa muncul di ambang pintu ruang makan, Revin menahan diri agar matanya tidak jelalatan memandangi istrinya itu. Dandanan Lisa hari ini menarik perhatian Revin. Lisa terlihat sangat cantik memakai dress hamilnya yang terbuat da
Revin mengatupkan mulutnya. Sebenarnya tepat setelah menampar, dia menjadi kasihan pada Lisa. Tapi Lisa sudah keterlaluan. Revin merasa dirinya tidak bisa bersikap lembek lagi seperti sebelumnya dengan mengabaikan kelakuan kasar Lisa."Apa kau sudah sadar apa kesalahanmu?" tanyanya.Dengan berurai air mata, Lisa menatap Revin dengan tatapan melawan. "Kalau aku tidak sadar akan kesalahanku, apa kau akan menamparku lagi?""Apa? Kau memukulku, waktu itu juga kau menamparku, sekarang mengabaikan dan melempar wajahku dengan bantal. Aku seorang suami, kepala rumah tangga yang harus kau hormati, apa pantas kau bersikap seperti itu?" tanya Revin.Lisa menunduk diam. Dada Lisa sedang sakit, dia hanya ingin beristirahat sebentar agar bisa menahan rasa sakitnya, tetapi Revin datang mengganggu. Itulah yang membuat Lisa labil dan tidak bisa mengendalikan emosinya dengan baik. Tetapi Revin sama sekali tidak tahu rasa sakit yang sedang dirasakan Lisa."Kenapa kau tidak menjawabku?" tuntut Revin."Maa
Revin hendak membuka pintu kamar Lisa, tapi dia ragu dan mengurungkan niatnya. Mungkin saja Lisa langsung kembali tidur. Dia akan mengganggunya jika memutuskan untuk masuk, bukan? Tapi baru sebentar dia berbalik, Revin langsung berubah pikiran dan kembali berhadapan dengan pintu kamar Lisa. Seperti biasa, tanpa mengetuk dia langsung membuka pintu kamar Lisa dan masuk ke dalam."Kenapa dia tidak menguncinya?" ucapnya agak kesal dalam hati. Hatinya selalu mencurigai Ben khususnya sejak Ben kedapatan berada di kafe Lisa malam itu. Tentu lebih baik bagi Revin jika Lisa selalu mengunci pintu kamar walaupun cukup merepotkan jika dia ingin masuk menemuinya.Di dalam kamar, Revin tidak mendapati Lisa di ranjang. "Katanya mau tidur," gumamnya lagi tak suka.Dia pun menghampiri pintu kamar mandi saat mendengar bunyi dari sana. Lisa sedang berada di dalam toilet rupanya. Saat Revin hendak mengetuk pintu toilet, tangannya tiba-tiba mengambang di udara karena mendengar suara tangis sayup-sayup dari
"Siapa yang main tangan!" bentak Revin tak mau kalah."Lalu kenapa Lisa sampai memintamu supaya jangan memukulnya?" tanya Ben dengan kening masih mengerut."Aku tidak tahu!" ketus Revin. "Aku sama sekali tidak ada niat untuk memukulnya. Dia saja yang aneh tiba-tiba berkata begitu saat kami berbicara serius."Revin seketika menoleh menatap Lisa dengan tajam. Lisa semakin menciut di sudut ruangan.Revin menyipitkan mata. Dia bingung, kadang kala Lisa menunjukkan tingkah yang agak ganjil menurutnya.Sementara itu, Ben tampak menimbang-nimbang situasi. Ekspresi Revin menunjukkan bahwa dia tidak berbohong, sementara Lisa tampak ketakutan di sudut sana."Sepertinya Lisa salah paham padamu. Mungkin kau berbicara cukup kasar atau berbicara dengan nada tinggi makanya Lisa berpikir kalau kau akan memukulnya," ucap Ben pada Revin.Revin langsung mengatupkan mulutnya sambil menatap Ben. Apa yang dikatakan Ben sepertinya benar. Tadi dia memang sedang marah saat Lisa menolak pelukannya. Karena harus
Apa yang dikatakan Lisa benar. Bukankah dia memang menghinanya sebagai wanita tak tahu diri saat Lisa mencoba mengutarakan keberatannya? Tapi sekarang Revin malah menanyainya."Kali ini aku yang bertanya, jadi aku tidak akan mengataimu seperti itu. Jadi katakan, apa kau keberatan atau tidak?" tanya Revin kembali seenak jidat.Lisa menatap ragu pada Revin yang masih sama-sama berbaring menghadapnya dengan tangan bertengger manis di pinggulnya itu.Lisa tidak paham jalan pikiran Revin. Kenapa Revin tiba-tiba ingin mengetahui pendapatnya? Bukankah pendapatnya sama sekali tidak penting bagi Revin? Bahkan Revin sangat benci saat Lisa mencoba protes karena Cherrine datang ke kantor Revin. Jadi, apa yang harus dia jawab?"Kenapa diam?" desak Revin sambil mulai meraba bokong istrinya itu. Lisa sedikit terkesiap. Dia langsung menahan tangan Revin agar tidak nakal."Aku suamimu," ucap Revin mulai kembali kesal."Bukankah kita...sedang berbicara serius?" ucap Lisa takut-takut."Kalau begitu, jawa