"Kak, sebenarnya tadi aku menunggu kakak, hanya saja aku tidak boleh sampai lewat jam makan karena aku sedang hamil. Aku baru saja mulai makan," jelas Lisa dengan wajah sendu.
Revin mendengkus. "Cara bicaramu seolah kau sungguh-sungguh peduli sama kandunganmu."
Kening Lisa mengerut. "Aku memang peduli sama kandunganku, Kak."
"Oh ya? Hmm bisa jadi," ucap Revin dengan nada mengejek. "Karena berkat janin itu kau bisa menjeratku. Seandainya janin itu tidak berguna, kau pasti akan menggugurkannya juga, kan?"
Menggugurkannya juga?
Lisa seketika berdiri, jantungnya berdebar. Apa Revin sudah tahu tentang kehamilannya di masa lalu? Tapi bagaimana bisa? Bukankah dulu papanya sudah menutup mulut orang-orang agar tidak menyebarkan berita itu? Jadi, mana mungkin suaminya tahu! Kalau pun tahu, tidak mungkin secepat ini, kan? Apa keluarga Abimana sehebat itu dalam mencari informasi?
&nbs
Di kamar, Lisa berbaring sedikit meringkuk di ranjang kecilnya. Beberapa saat kemudian, Lisa merasa kedinginan. Mungkin karena anemia dia jadi gampang kedinginan. Lisa beranjak dan mengenakan baju hangat, juga memakai selimut hingga menutupi lehernya. Beberapa menit kemudian, Lisa pun tertidur dengan nyaman. Sementara itu, Revin menuruni tangga menuju meja makan. Dia hendak makan malam. Tetapi terlebih dahulu dia mengambil gelas dan mengisinya dengan air putih. Dia pun menenggaknya karena merasa haus. Setelah itu, Revin membuka tudung saji. Disentuhnya makanan itu, sudah mulai dingin. Sebenarnya tidak masalah jika dia memakannya, kan itu baru dimasak beberapa waktu yang lalu. Tetapi Revin memutuskan untuk memanggil Lisa. Dia ingin Lisa meladeninya makan. Apa gunanya seorang istri seperti Lisa kalau bukan untuk melayani? "Lisa!" teriaknya. Tidak ada jawaban. "Lisa!!" teriaknya lagi lebih keras. Tetap juga tidak ada
Setelah berucap mengejek seperti itu, Revin berbalik dan mulai membersihkan sendiri beling-beling yang berserakan di lantai, lalu langsung makan tanpa meminta Lisa meladeninya. Sementara Lisa, dia mengobati kakinya. Untung dia sudah membeli kotak P3K, dan syukurnya juga, luka di kakinya cukup ringan.Lisa melihat Revin mengantar piring dan mangkuk kotor bekas lauk ke dapur. Dia merasa tidak enak karena tadi tidak jadi meladeni suaminya makan. Lisa pun melangkah pelan menuju dapur. Dia melihat Revin berdiri di depan wastafel."K-kak, biar...aku saja yang mencucinya nanti," ucap Lisa kikuk. Revin menolehkan kepalanya menatap Lisa."Siapa bilang aku mau mencuci piring? Besok ada pembantu mengerjakannya." Revin meletakkan piring kotor di wastafel.Mulut Lisa terbuka. "Aku sudah memberhentikannya, kak."Kali ini Revin berbalik badan dan bersedekap. "Kau pakai pembantu, tidak minta izi
Di rumah, Lisa menyalakan musik lalu melakukan pembersihan. Semua pakaian kotor dia masukkan ke mesin cuci. Dia melakukan pekerjaan rumah secara perlahan. Sebelum merasa capek, dia langsung duduk dulu sebentar. Bahkan di sela-sela pekerjaan, Lisa kadang berbaring di sofa. Lisa lalu melihat halaman kecil rumahnya, ada sampah daun, dia pun menyapu halaman dalam beberapa menit. Semua pekerjaan rumah dilakukannya dengan telaten walaupun memakan waktu cukup lama. Setelah beristirahat kembali, dia mengambil beberapa buah mangga dari kulkas dan mengupasnya, dia potong-potong, lalu dilahapnya perlahan sambil menonton televisi. Lisa berupaya menikmati waktunya di rumah, walaupun rasa sedih selalu menggelayuti hatinya. Besok ia akan berencana ke kampus dan membuat permohonan cuti. Selesai makan siang, Lisa tidur sebentar di kamar. Sorenya dia membuat puding buah. Lalu kemudian mandi. Habis itu, dia bersantai menonton televisi. Lisa mencoba memakan
"Brengsek!" umpat Revin seraya menendang pintu kamar Lisa.Bruaghh!Bunyinya cukup kuat. Lisa seketika menjauhi pintu kamarnya. Dia benar-benar sangat takut apalagi tadi Revin menyinggung soal perkosaan. Masih segar di ingatan Lisa betapa brutalnya Revin di malam pengantin mereka. Revin memerkosanya waktu itu. Tubuhnya sampai mengalami memar dan sakit semua di malam itu. Bahkan dia mendapat tamparan. Saat ini kandungannya sangat lemah, Lisa jelas tidak mau melayani Revin. Apalagi dokter juga sudah melarangnya.Beberapa saat kemudian, Revin menjauhi kamar Lisa, dia naik tangga menuju ke lantai atas. Jalannya semakin sempoyongan. Lisa masih berdiam menunggu beberapa saat lagi. Setelah itu dia mengintip keluar."Di mana, Kak Revin?" gumamnya pelan.Tidak ada tanda-tanda kehadiran suaminya di sana. Lisa harus keluar untuk ke toilet sekalian mengambil air hangat untuk meminum obat dan
Revin perlahan menarik tengkuk Lisa dan mencium bibirnya dengan lembut. Lisa terdiam merasakan bibir Revin yang bergerak lembut mencicipi mulut manisnya. Begitu pula dengan tangan Revin yang mengusap pelan punggungnya. Karena terus-terusan menghadapi sikap kasar dan dingin dari Revin, rasanya sudah lama sekali Lisa tidak merasakan kelembutan dan kehangatan seperti ini dari Revin. Lisa lambat laun terhanyut dan membalas ciuman lembut dan pelukan hangat itu. Perlahan Revin membalikkan posisi tubuh mereka dan kembali mencium Lisa. Kening Lisa mengerut saat ciuman Revin turun ke lehernya. Ini tidak boleh! Lisa kembali tersadar. "Kak...jangan..." ucap Lisa ragu-ragu, dia takut kemarahan Revin kambuh. Tetapi ternyata suaminya itu sudah tidak bergerak. "Kak?" panggilnya. Tidak ada jawaban, sementara wajah Revin masih terbenam di ceruk leher istrinya itu. Lisa perlahan mendoron
Di kamar mandi, Revin merasa tidak enak hati. Keningnya mengerut. Sebenarnya Lisa tadi berpura-pura atau tidak? Setelah menyikat giginya, Revin tidak langsung mandi, dia memutuskan keluar dari toilet untuk melihat Lisa. Ketika keluar, ternyata ia tidak mendapati Lisa di sana."Sialan, ternyata dia cuma pura-pura," gumamnya geram. Revin pun kembali ke dalam toilet dengan kesal hati.Sementara itu, Lisa muntah-muntah di toilet bawah. Wajahnya pucat sekali. Lutut, siku dan dagunya sakit, tapi terpaksa dia harus memaksakan diri untuk buru-buru turun daripada nanti ia muntah dan mengotori lantai kamar Revin, Revin pasti akan menendangnya! Ya, setelah melewati beberapa waktu, bagi Lisa, Revin adalah pria yang siap menendang dan memukulnya jika dia berbuat salah.Dalam waktu singkat, pemikiran Lisa terhadap Revin tanpa disadari sudah ada yang berubah. Jika sebelumnya Lisa beranggapan bahwa Revin tidak akan mungkin memukulnya, b
Sementara itu, Revin telah menghabiskan rotinya, dan sekarang dia tengah menyesap kopi sambil mengawasi Lisa yang sedari tadi hanya menunduk memandangi roti di piringnya. "Kenapa? Mau pura-pura sakit? Lagi akting tidak selera makan, ya?" ejek Revin, kemudian ia mendengkus. "Kau itu sungguh licik. Dasar, ular betina," ucapnya dingin. Revin teringat kejadian di kamarnya tadi di mana Lisa tampak tidak berdaya bahkan untuk bergerak sedikit saja sepertinya tidak bisa, tetapi baru beberapa menit dia berada di toilet, Lisa sudah menghilang dari kamarnya. Revin merasa nyaris tertipu dibuatnya. Tanpa berucap apa-apa, Lisa memakan roti itu perlahan. Revin kembali mendengkus, dan meminum kopinya, lalu beranjak pergi tanpa permisi. Kali ini Lisa hanya diam membisu menatap punggung Revin yang semakin menjauh dan lalu menghilang di balik pintu. • • Setelah meng
Setelah mendapat izin untuk cuti kuliah, Lisa melajukan mobil menuju kafe miliknya. Ponselnya berbunyi. Dia menepikan mobil lalu mengangkat telepon. Lisa terkejut, ternyata telepon itu berasal dari kantor polisi.Adik tirinya terlibat tawuran antar geng dari dua sekolah. Lisa mendesah, jujur saja ia keberatan pergi ke sana."Aneh sekali," keluhnya dengan suara pelan.Kenapa adik tirinya itu memintanya untuk mengurus masalahnya, kenapa tidak menghubungi ibunya saja? Selama ini pun mereka tidak pernah akrab. Jangankan akrab, berbicara saja nyaris tidak pernah. Tetapi sekarang, adik tirinya itu malah memintanya datang untuk mengeluarkannya dari kantor polisi. Lisa bukannya tidak mau menolong, masalahnya Lisa selalu berupaya sebisa mungkin untuk tidak berurusan dengan hal apa pun yang berkaitan dengan Nafa, ibu tirinya itu.Lisa menghela napas berat. Setelah berpikir beberapa saat akhirnya Lisa memutuska