Sepanjang usia pernikahan, baru kali ini suaminya membentaknya dengan begitu mengerikan. Memangnya apa yang salah dengan mencucikan dalaman suami sendiri? Kenapa hal yang wajib ia lakukan, malah salah di mata suaminya?
Lunar hanya bisa tertegun saat melihat Bira sudah berada di halaman belakang sedang menjemur sempaknya. Jika saja ia tidak sedang sakit, pasti ia akan balik marah pada suaminya yang ia nilai terlalu berlebihan padanya. "Buatkan Abang teh, Lunar," kata Bira memerintah. Wajah pria itu sama sekali tidak menampakan penyesalan karena sudah membentak istrinya. Lunar malas menyahut, ia berdiri untuk mengerjakan perintah suaminya. Bira ke depan untuk menemui Haris, tetapi kakaknya itu tidak ada. Bira pergi ke luar rumah, menoleh ke kanan dan ke kiri mencari keberadaan Haris, tetapi ia tidak menemukannya. "Mas Haris ke mana, Lunar?" tanya Bira saat Lunar meletakkan teh di atas meja ruang tamu. "Olah raga mungkin." Lunar menjawab tanpa semangat. Ia masuk ke dalam rumah umtuk menikmati sarapannya sendirian. Percuma jika ia menawari Bira makan, karena suaminya terbiasa sarapan di atas jam sembilan pagi. Tidak jarang juga, sarapan sekaligus makan siang. Lunar menyantap sop buatannya dengan begitu nikmat. Tanpa mempedulikan Bira. Hatinya masih dongkol karena dibentak lelaki itu dan suaminya bahkan tidak meminta maaf padanya. Suara deru mobil terdengar sember. Itu adalah mobil pengangkut sampah yang biasa berkeliling seminggu tiga kali mengangkut sampah warga. Dengan malas Lunar pergi ke dapur untuk mengangkat sampah untuk ia berikan pada mobil pengangkut sampah. Bira sedang menikmati teh sambil bermain ponsel. Ia menoleh sekilas pada siang Istri yang tengah membawa kantung sampah. Prak!Karena tubuhnya yang lemas, kantung plastik hitam tempat sampah, terlepas dari tangannya dan tentu saja sampah berserakan di teras. "Lunar, kalau masih lemas, kenapa repot sendiri sih? Sudah, ambil sapu sana!" Bira mengegelengkan kepalanya. Lunar masuk ke dalam rumah untuk mengambil sapu. "Bang, tunggu! Masih ada sampah nih, jatuh tadi!" Teriak Bira pada petugas sampah, sembari membantu Lunar untuk membereskan sampah yang berserakan di lantai teras. Lunar kembali tidak bersuara, ia masuk ke dalam rumah untuk berbaring. Biarlah nanti suaminya kalau ingin makan, bisa ambil sendiri karena sayurnya sudah matang. Baru saja berbaring, Bira sudah membuka pintu kamar dengan kasar. "Apa ini, Lunar? Kamu tes pack lagi? Ini lihat, hasilnya masih garis satu! Percuma kamu setiap bulan periksa, kalau belum waktunya dikasih, ya pasti gak dikasih. Buang-buang uang saja beli alat tes pack untuk cek kehamilan. Memangnya kamu ragu dengan kemampuan saya memberikan benih di rahim kamu? Iya, apa ini bentuk keraguan kamu?" cecar Bira tanpa jeda membuat Lunar sangat sakit hati. Wanita itu mengepalkan tangannya menahan amarah yang sudah sangat ia tahan sejak tadi. "Kamu sudah cukup aneh hari ini, Bang, tolong jangan berkata-kata yang membuat aku rasanya menyesal punya suami seperti kamu." Ucapan itu terlontar begitu saja dari bibir Lunar. Tanpa ia tahu, Bira tersentak dan sadar bahwa ia telah melakukan kesalahan. "Hhm... maafkan Abang, Lunar. Abang kemarin lagi banyak pasien yang sakitnya parah, jadi kepikiran sampai rumah. Mempengaruhi emosi juga jadinya. Maafkan ya, Lunar." Bira menyentuh pundak istrinya. Lalu memberikan kecupan di rambut wanita itu. "Jangan diulangi lagi, Bang, Abang bikin aku tambah sedih." Lunar tidak kuasa menahan air mata yang sejak tadi ia tahan. Bira memeluk Lunar dan merasakan bahwa suhu tubuh istrinya masih hangat. "Maafin, Abang. Abang ambilkan obat pereda panas di belakang ya." Bira pun beranjak dari kamar untuk mencari obat panas yang disimpan istrinya di dapur. Segelas air hangat pun ia bawa sekalian. "Lunar mungkin masuk angin, Bira, coba saja dikerok," kata Haris yang tiba-tiba sudah berada di rumah. "Eh, kaget, kapan masuknya, Mas? Habis olahraga ya?" tanya Bira dengan sedikit kaget. "Tadi, udah ngaso di teras. Mau mandi sekarang. Udah, urus bini lu sana, nanti baru kita ngobrol." Bira pun mengangguk. Lalu masuk ke dalam kamar. "Lunar, sehabis minum obat, biar Abang kerok saja. Siapatahu masuk angin." Bira memberikan obat pereda panas sekaligus air putih di dalam gelas. Lunar pun pasrah saat baju dasternya ditarik ke atas oleh Bira, lalu pria itu membuka kaitan bra istrinya. Baju daster Lunar dipakai untuk menutupi pinggang hingga ke belakang. Bira kemudian mengambil minyak urut untuk ia oleskan di punggung putih mulus sang Istri. Bohong kalau ia tidak bereaksi atas tubuh Lunar, tetapi ini bukan malam sabtu, ia harus menahannya dan akan ia lampiaskan pada pasien yang hari ini sudah janjian akan datang pukul empat sore. Bira mulai mengerikan Lunar dengan sangat hati-hati. Garis miring berwarna merah tercetak cukup tebal di punggung wanita itu. Desahan Lunar menahan sakit karena kerikan, membuat Bira semakin tersulut gairah. Lunar tersenyum saat merasakan napas suaminya semakin berat di belakang tubuhnya. "Bang, malam sabtu masih dua malam lagi, kelamaan, saya lagi mau dicumbu nih," bisik Lunar sambil menggigit bibirnya. "Sayang, kalau Abang langgar aturan guru pijat Abang, nanti kemampuan pijat Abang bisa luntur. Sabar ya, dua malam lagi gak lama kok." Jawaban Bira disertai tangan nakal yang sudah meremas cepat dada sang Istri. "Sudah selesai, pakai lagi bajunya. Abang mau ke depan bicara dengan Mas Haris." Mereka tidak tahu saja, pintu kamar yang tidak tertutup rapat, membuat seorang Haris, duda tanpa anak itu melihat punggung polos iparnya. Sudah dua tahun hasratnya ia kubur dalam-dalam setelah berpisah dari istri cantiknya yang berselingkuh. Pria itu segera beranjak dari sana, saat melihat Bira akan keluar dari kamar. Duduk di teras sambil menaikkan kedua kakinya, berharap sisi liat prianya yang baru saja bangun, bisa kembali tidur dengan cepat. Satu hal yang menjadi pertanyaannya, kenapa ada pantangan untuk menyentuh istri? "Mas, gimana? Katanya ada yang mau diobrolin?" tanya Bira yang sudah duduk di tembok, depan kursi yang sedang diduduki Haris. "Oh, iya, Mas Haris mau nginep berapa lama?""Lu ngusir gue?" tanya Haris dengan logat tidak terima."Bukan, Mas, cuma tanya." Bira memutar bola mata malasnya. "Namanya ipar lelaki, gak mungkin tinggal lama di rumah adiknya yang istrinya seharian di rumah. Mas paham maksud saya kan?" Haris mengangguk yakin. "Iye, gue paham, Bira! Jam sepuluh ini gue wawancara, doakan aja gue lolos jadi ajudan di sana, biar gue bisa langsung kerja besok. Gue juga paham sama kondisi lu dan Lunar." Bira mengangguk paham. Ia memang sudah tahu kalau kakaknya ini orang baik yang pengertian, sehingga saat kita bicara sedikit saja, ia sudah bisa menangkap maksud dari ucapan kita. Kakaknya juga lebih dewasa dalam bersikap, serta cenderung pendiam sebenarnya, sehingga mantan istrinya selingkuh karena merasa bosan dengan Haris yang terlalu kalem. Bira memang sedang berbincang cukup serius dengan Haris, tetapi tangannya lihai mengetik pesan pada seseorang. Neli, saya ganti jadwal pijat kamu jadi jam sebelas ya. Ingat, gak perlu pakai dalaman, biar lebih cepat proses pembersihannya. Pasien NBaik Bang Bira, nanti saya ke klinik jam sebelas. Bira tersenyum puas dalam hati. Harus segera ia tuntaskan keinginan nakalnya hari ini agar ia tidak penasaran dan bisa bekerja lebih fokus."Abang mau ke mana sudah mandi?" tanya Lunar saat melihat suaminya masuk ke kamar dalam keadaan memakai handuk saja dari pinggang sampai betis. "Hari ini Abang dapat panggilan pijat pejabat. Panggilan ke rumahnya. Lumayan, biasanya bayarannya gede. Kamu di rumah saja, Abang berangkat sama Mas Haris. Mas Haris mau wawancara kerja hari ini." Bira menyemprotkan parfum di seluruh tubuhnya, sebelum ia memakai baju kaus yang baru saja diambil di dalam lemari. Setelah kaus terpasang rapi, Bira pun memakai celana bahan berwarna hitam. Lunar hanya bisa memperhatikan tanpa rasa curiga sama sekali. "Jangan lupa minum obat, Abang berangkat ya." Bira mencium kening Lunar yang masih hangat. Ia nampak terburu-buru, karena mau mengantar kakaknya terlebih dahulu. Lunar turun dari tempat tidur ingin mengantar kepergian suaminya. Kakak iparnya sudah berpakaian rapi dengan kemeja hitam dengan bet kancing di pundak dan juga memiliki jantung di bagian depan. Celananya berwarna hitam juga, pas di tubuh at
Lunar begitu cemas dengan penemuan pil KB yang bukan miliknya dari dalam lemari. Tidak mungkin ada orang lain yang masuk ke kamarnya selain dirinya dan juga suaminya. Tidak mungkin juga milik kakak iparnya karena Haris sudah lama menduda. Lunar mengambil ponsel, lalu menekan kontak suaminya. Semakin ia tahan, maka semakin besar rasa penasarannya. Ia harus tahu obat itu milik siapa dan kenapa bisa ada di dalam lemarinya. Namun sayang, Bira tidak kunjung mengangkat telepon darinya. Bukan hanya satu kali, tapi berkali-kali ia mencoba menghubungi suaminya tetap saja tidak diangkat. Ini masih pukul satu siang, harusnya suaminya sudah selesai memijat. "Halo, Mbak Citra lagi di mana?""Masih di rumah, Nar, kenapa?""Kalau Mbak nanti sampai di klinik pijat Mas Bira, tolong sampaikan untuk menelepon saya balik ya, Mbak.""Oh, gitu, gak aktif ya HP-nya.""Iya, Mbak.""Oke, nanti begitu sampai di sana, Mbak suruh Bira telepon kamu."Lunar masih memegang plastik berisi tiga pack obat KB. Tanga
"Ya ampun, kenapa sampai nunggu bengkak begini baru dibawa ke sini?" Bira memperhatikan kaki Budi yang memang benar-benar membesar. Ini bukan sekedar pijat, ia harus benar-benar harus hati-hati dan juga pelan dalam mengobati kaki suami Citra. "Iya, nih, Bar, kata saya juga langsung ke Bira aja, tapi Citra gak nurut, akhirnya salah deh nih." Pria itu meringis saat merasakan linu pada kedua kakinya. Wanita bernama Citra hanya bisa terdiam sambil menunduk kikuk. "Gak papa, saya coba obati pelan-pelan ya, tapi ini kayaknya gak bisa satu atau dua kali sembuh." Bira memegang wajah Budi. Lalu berpindah pada kepalanya. Tepatnya memegang ubun-ubun Budi. "Hawanya panas. Apa Mas Budi jatuh di dekat pohon?" lelaki bernama Budi itu mengangguk pelan. Dari mana Bira tahu ia jatuh di dekat pohon? Batin pria itu. "Mas, ditanyai Bira tuh, jatuh dekat pohon nggak?" tegur Citra pada suaminya. "Iya, jatuh di bawah pohon. Saya mengantuk, terus, tiba-tiba mata kayak ada yang tutupi, tidur untuk sekian
"Bang, kenapa diam? Kenapa ada banyak pil KB di dalam lemari? Untuk apa dan punya siapa?""Ya ampun, Lunar, jadi obat itu ada di dalam lemari kita? Pasti Abang lupa, Abang kirain jatoh. Jadi waktu Abang mau pulang, Bu Dasmi nitip obat itu untuk putrinya. Dia kan gak ada motor mau ke apotek, Abang taruh di jaket. Abang kirain jatoh, rupanya ada di dalam lemari. Nih, kalau kamu gak percaya, nanti kamu telepon saja Bu Dasmi. Syukur deh kalau gitu, jadi Abang gak kena gantiin beli lagi. Makasih atas informasinya ya, Neng. Simpankan dulu saja, besok baru ingatkan Abang untuk bawa obat itu ya. Abang kerja lagi, assalamu'alaikum."Lunar bahkan belum membuka mulut untuk menanyakan hal lain lagi, tetapi suaminya sudah menutup panggilan. Hatinya yang cemas karena teka-teki pil KB, kini sudah mereda. Ucapan suaminya sangat masuk di akal bahwa obat itu titipan Bu Dasmi. Wanita itu bahkan diminta menelepon Bu Dasmi untuk konfirmasi. Tentu saja hal itu tidak akan ia lakukan, karena pasti akan sang
Tentu saja sebuah kesialan baginya menjelang tutup prakte, malah mendapatkan pasien lelaki, tetapi mengaku wanita. Baru kali ini ia mendapatkan ku stoner seperti tadi. Hal itu membuat Bira kesal, sekaligus geli."Bu Dasmi, besok plang di depan klinik, ditambahin tulisan lebih spesifik ya. 'Tidak menerima pasien dengan jenis kelamin abu-abu.'"Bu Dasmi yang baru saja menutup buku pendaftaran, tentu saja merasa heran dengan tugas dari bosnya."Bang Bira, bukannya kalau jenis kelamin teh warnanya coklat, saya baru tahu kalau ada warna abu-abu. Apa diwarnai? Dipilok?" Bira menghela napas. Sakit darah tinggi yang sudah tidak lama kambuh, bisa saja kambuh mendadak, bila berbicara dengan Bu Dasmi terlalu lama."Maksud saya, lelaki yang mengaku perempuan, maupun sebaliknya. Pokoknya bikin catatan di plang seperti yang saya bilang tadi. Jangan ditambahin lagi, jangan dikurangin. Besok, sebelum praktek, saya mau lihat udah terpasang di depan jalan sana." Bira meletakkan uang dua ratus ribu rupi
Seandainya saja ia mempunyai ilmu bisa menghilang, tentu sudah ia gunakan saat ini. Bagaimana bisa, daster tidak terkancing dengan baik dan ia pun tidak memakai bra saat itu. Haris, kakak sepupu suaminya pasti melihat walau tidak sempurna. Namun, tetap saja pria itu melihatnya. Lunar kebingungan sendiri karena ia harus keluar kamar untuk memasak sarapan. Peristiwa tadi membuatnya sangat malu. "Lunar, Bira, saya berangkat!" Seru Haris dari balik pintu. Wanita itu menghela napas lega. Ia berjalan ke jendela untuk memastikan Haris sudah pergi dari rumahnya. Dengan memakai kaus biasa dan celana panjang jeans, Haris berjalan keluar rumah adik sepupunya sambil membawa ransel. Lekas ia keluar kamar untuk mandi. Sebuah kejutan lagi di hari kamis pagi, darah sedikit pekat tercetak di celananya yang berwarna crem. Padahal ia ingin di cumbu suaminya malam sabtu nanti, malah sekarang ia yang datang bulan. Mood-nya benar-benar berantakan. Setelah mandi, Lunar yang tadinya ingin memasak sarapan,
Motor Bira melaju di jalanan tanah basah yang sempit. Penuh pepohonan bambu yang sangat rimbun. Lokasi rumah seseorang yang ia akui sebagai guru spritual itu letaknya jauh dari jalanan raya ibu kota. Bahkan harus melewati hutan bambu yang luasnya mungkin sekitar satu hektar. Sepanjang jalan, pantangan bagi Bira untuk menoleh ke belakang ataupun melirik spion kanan dan kiri. Ia sudah terbiasa akan hal itu dan sangat hapal, sehingga ia biasa saja saat melewati tengah hutan. Setelah berkendara semakin masuk ke dalam hutan, Bira sampai di jalanan bebatuan yang sudah tidak begitu rimbun pepohonan. Ada lampu jalan juga di beberapa titik, tetapi rumah antar warga sangat jauh. Dalam jarak lima ratus meter, barulah bisa menemukan rumah yang lainnya. Pasokan listrik di daerah ini sepertinya belum merata, terbukti keadaan jalan sangat lengang dan juga tidak nampak terpasang antena TV di atap rumah warga. Bira memarkirkan motornya di sebuah rumah sederhana, model jaman dahulu kala. Bentuk jend
Lunar benar-benar membulatkan tekadnya untuk mengunjungi klinik pijat suaminya sore ini. Ia sudah siap jika Bira marah atau mungkin mengusirnya, tetapi ia tidak akan mundur. Paling tidak ia bisa melihat dengan mata kepala sendiri bahwa suaminy benar-benar bekerja sebagai tukang pijat patah tulang dan keseleo, bukan yang lain. "Loh, kenapa, Mas?" tanya Lunar saat motor ojek online berhenti di pinggir jalan raya. "Maaf, Mbak, sepertinya ban motor saya bocor. Saya cari tambal ban dulu ya, Mbak. Mbak mau ikut saya atau menunggu di sini. Setelah saya selesai menambal, nanti saya balik lagi," kata pemuda itu pada Lunar dengan wajah bersalah. "Yah, di mana tukang tambalnya? Kalau jauh, saya buang-buang energi dan waktu. Ini saya bayar aja deh, saya mau naik ojek online lain saja!" Lunar mengeluarkan uang lima puluh lima ribu dari dompetnya. Belum setengah perjalanan, sudah ada saja kendala. "Makasih, Mbak, mohon maaf ya. Jangan kasih bintang satu ya, Mbak." Pemuda itu menatap Lunar deng