Share

7. Lunar Merajuk

Sepanjang usia pernikahan, baru kali ini suaminya membentaknya dengan begitu mengerikan. Memangnya apa yang salah dengan mencucikan dalaman suami sendiri? Kenapa hal yang wajib ia lakukan, malah salah di mata suaminya? 

Lunar hanya bisa tertegun saat melihat Bira sudah berada di halaman belakang sedang menjemur sempaknya. Jika saja ia tidak sedang sakit, pasti ia akan balik marah pada suaminya yang ia nilai terlalu berlebihan padanya. 

"Buatkan Abang teh, Lunar," kata Bira memerintah. Wajah pria itu sama sekali tidak menampakan penyesalan karena sudah membentak istrinya. Lunar malas menyahut, ia berdiri untuk mengerjakan perintah suaminya. 

Bira ke depan untuk menemui Haris, tetapi kakaknya itu tidak ada. Bira pergi ke luar rumah, menoleh ke kanan dan ke kiri mencari keberadaan Haris, tetapi ia tidak menemukannya. 

"Mas Haris ke mana, Lunar?" tanya Bira saat Lunar meletakkan teh di atas meja ruang tamu. 

"Olah raga mungkin." Lunar menjawab tanpa semangat. Ia masuk ke dalam rumah umtuk menikmati sarapannya sendirian. Percuma jika ia menawari Bira makan, karena suaminya terbiasa sarapan di atas jam sembilan pagi. Tidak jarang juga, sarapan sekaligus makan siang. 

Lunar menyantap sop buatannya dengan begitu nikmat. Tanpa mempedulikan Bira. Hatinya masih dongkol karena dibentak lelaki itu dan suaminya bahkan tidak meminta maaf padanya. 

Suara deru mobil terdengar sember. Itu adalah mobil pengangkut sampah yang biasa berkeliling seminggu tiga kali mengangkut sampah warga. Dengan malas Lunar pergi ke dapur untuk mengangkat sampah untuk ia berikan pada mobil pengangkut sampah. 

Bira sedang menikmati teh sambil bermain ponsel. Ia menoleh sekilas pada siang Istri yang tengah membawa kantung sampah. 

Prak!

Karena tubuhnya yang lemas, kantung plastik hitam tempat sampah, terlepas dari tangannya dan tentu saja sampah berserakan di teras. 

"Lunar, kalau masih lemas, kenapa repot sendiri sih? Sudah, ambil sapu sana!" Bira mengegelengkan kepalanya. Lunar masuk ke dalam rumah untuk mengambil sapu. 

"Bang, tunggu! Masih ada sampah nih, jatuh tadi!" Teriak Bira pada petugas sampah, sembari membantu Lunar untuk membereskan sampah yang berserakan di lantai teras. Lunar kembali tidak bersuara, ia masuk ke dalam rumah untuk berbaring. Biarlah nanti suaminya kalau ingin makan, bisa ambil sendiri karena sayurnya sudah matang. Baru saja berbaring, Bira sudah membuka pintu kamar dengan kasar. 

"Apa ini, Lunar? Kamu tes pack lagi? Ini lihat, hasilnya masih garis satu! Percuma kamu setiap bulan periksa, kalau belum waktunya dikasih, ya pasti gak dikasih. Buang-buang uang saja beli alat tes pack untuk cek kehamilan. Memangnya kamu ragu dengan kemampuan saya memberikan benih di rahim kamu? Iya, apa ini bentuk keraguan kamu?" cecar Bira tanpa jeda membuat Lunar sangat sakit hati. Wanita itu mengepalkan tangannya menahan amarah yang sudah sangat ia tahan sejak tadi. 

"Kamu sudah cukup aneh hari ini, Bang, tolong jangan berkata-kata yang membuat aku rasanya menyesal punya suami seperti kamu." Ucapan itu terlontar begitu saja dari bibir Lunar. Tanpa ia tahu, Bira tersentak dan sadar bahwa ia telah melakukan kesalahan. 

"Hhm... maafkan Abang, Lunar. Abang kemarin lagi banyak pasien yang sakitnya parah, jadi kepikiran sampai rumah. Mempengaruhi emosi juga jadinya. Maafkan ya, Lunar." Bira menyentuh pundak istrinya. Lalu memberikan kecupan di rambut wanita itu. 

"Jangan diulangi lagi, Bang, Abang bikin aku tambah sedih." Lunar tidak kuasa menahan air mata yang sejak tadi ia tahan. Bira memeluk Lunar dan merasakan bahwa suhu tubuh istrinya masih hangat. 

"Maafin, Abang. Abang ambilkan obat pereda panas di belakang ya." Bira pun beranjak dari kamar untuk mencari obat panas yang disimpan istrinya di dapur. Segelas air hangat pun ia bawa sekalian. 

"Lunar mungkin masuk angin, Bira, coba saja dikerok," kata Haris yang tiba-tiba sudah berada di rumah. 

"Eh, kaget, kapan masuknya, Mas? Habis olahraga ya?" tanya Bira dengan sedikit kaget. 

"Tadi, udah ngaso di teras. Mau mandi sekarang. Udah, urus bini lu sana, nanti baru kita ngobrol." Bira pun mengangguk. Lalu masuk ke dalam kamar. 

"Lunar, sehabis minum obat, biar Abang kerok saja. Siapatahu masuk angin." Bira memberikan obat pereda panas sekaligus air putih di dalam gelas. 

Lunar pun pasrah saat baju dasternya ditarik ke atas oleh Bira, lalu pria itu membuka kaitan bra istrinya. Baju daster Lunar dipakai untuk menutupi pinggang hingga ke belakang. Bira kemudian mengambil minyak urut untuk ia oleskan di punggung putih mulus sang Istri. Bohong kalau ia tidak bereaksi atas tubuh Lunar, tetapi ini bukan malam sabtu, ia harus menahannya dan akan ia lampiaskan pada pasien yang hari ini sudah janjian akan datang pukul empat sore. 

Bira mulai mengerikan Lunar dengan sangat hati-hati. Garis miring berwarna merah tercetak cukup tebal di punggung wanita itu. Desahan Lunar menahan sakit karena kerikan, membuat Bira semakin tersulut gairah. Lunar tersenyum saat merasakan napas suaminya semakin berat di belakang tubuhnya. 

"Bang, malam sabtu masih dua malam lagi, kelamaan, saya lagi mau dicumbu nih," bisik Lunar sambil menggigit bibirnya. 

"Sayang, kalau Abang langgar aturan guru pijat Abang, nanti kemampuan pijat Abang bisa luntur. Sabar ya, dua malam lagi gak lama kok." Jawaban Bira disertai tangan nakal yang sudah meremas cepat dada sang Istri. 

"Sudah selesai, pakai lagi bajunya. Abang mau ke depan bicara dengan Mas Haris." Mereka tidak tahu saja, pintu kamar yang tidak tertutup rapat, membuat seorang Haris, duda tanpa anak itu melihat punggung polos iparnya. Sudah dua tahun hasratnya ia kubur dalam-dalam setelah berpisah dari istri cantiknya yang berselingkuh. 

Pria itu segera beranjak dari sana, saat melihat Bira akan keluar dari kamar. Duduk di teras sambil menaikkan kedua kakinya, berharap sisi liat prianya yang baru saja bangun, bisa kembali tidur dengan cepat. Satu hal yang menjadi pertanyaannya, kenapa ada pantangan untuk menyentuh istri? 

"Mas, gimana? Katanya ada yang mau diobrolin?" tanya Bira yang sudah duduk di tembok, depan kursi yang sedang diduduki Haris. 

"Oh, iya, Mas Haris mau nginep berapa lama?"

"Lu ngusir gue?" tanya Haris dengan logat tidak terima.

"Bukan, Mas, cuma tanya." Bira memutar bola mata malasnya. 

"Namanya ipar lelaki, gak mungkin tinggal lama di rumah adiknya yang istrinya seharian di rumah. Mas paham maksud saya kan?" Haris mengangguk yakin. 

"Iye, gue paham, Bira! Jam sepuluh ini gue wawancara, doakan aja gue lolos jadi ajudan di sana, biar gue bisa langsung kerja besok. Gue juga paham sama kondisi lu dan Lunar." Bira mengangguk paham. Ia memang sudah tahu kalau kakaknya ini orang baik yang pengertian, sehingga saat kita bicara sedikit saja, ia sudah bisa menangkap maksud dari ucapan kita. Kakaknya juga lebih dewasa dalam bersikap, serta cenderung pendiam sebenarnya, sehingga mantan istrinya selingkuh karena merasa bosan dengan Haris yang terlalu kalem. 

Bira memang sedang berbincang cukup serius dengan Haris, tetapi tangannya lihai mengetik pesan pada seseorang. 

Neli, saya ganti jadwal pijat kamu jadi jam sebelas ya. Ingat, gak perlu pakai dalaman, biar lebih cepat proses pembersihannya. 

Pasien N

Baik Bang Bira, nanti saya ke klinik jam sebelas. 

Bira tersenyum puas dalam hati. Harus segera ia tuntaskan keinginan nakalnya hari ini agar ia tidak penasaran dan bisa  bekerja lebih fokus. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status