"Abang mau ke mana sudah mandi?" tanya Lunar saat melihat suaminya masuk ke kamar dalam keadaan memakai handuk saja dari pinggang sampai betis.
"Hari ini Abang dapat panggilan pijat pejabat. Panggilan ke rumahnya. Lumayan, biasanya bayarannya gede. Kamu di rumah saja, Abang berangkat sama Mas Haris. Mas Haris mau wawancara kerja hari ini." Bira menyemprotkan parfum di seluruh tubuhnya, sebelum ia memakai baju kaus yang baru saja diambil di dalam lemari. Setelah kaus terpasang rapi, Bira pun memakai celana bahan berwarna hitam. Lunar hanya bisa memperhatikan tanpa rasa curiga sama sekali. "Jangan lupa minum obat, Abang berangkat ya." Bira mencium kening Lunar yang masih hangat. Ia nampak terburu-buru, karena mau mengantar kakaknya terlebih dahulu. Lunar turun dari tempat tidur ingin mengantar kepergian suaminya. Kakak iparnya sudah berpakaian rapi dengan kemeja hitam dengan bet kancing di pundak dan juga memiliki jantung di bagian depan. Celananya berwarna hitam juga, pas di tubuh atletis kakak iparnya itu. Mereka kakak adik yang sama persis, bagaikan kembar, padahal hanya kakak sepupu, tetapi karena sejak bayi sudah diurus oleh ibu dari suaminya, maka Mas Haris adalah sulung yang cukup disegani di keluarganya. Terakhir dinas di rumah mentri sebagai tenaga keamanan rumah tinggal. Jadi tidak heran dengan postur tubuhnya yang tingi besar layaknya aparat berbaju loreng. "Doakan wawancara saya berhasil ya, Nar, " ujar Haris yang sudah duduk di boncengan Bira, saat melihat adik iparnya itu sudah berdiri di depan pintu rumah. "Semangat." Luna tersenyum, lalu melambaikan tangan pada keduanya. Ia sungguh merasa jenuh dan bosan. Menonton acara TV tidak terlalu gemar, ngobrol ke rumah tetangga juga tidak hobi. Memasak sudah, menyapu tidak perlu karena rumah masih rapi. Cucian piring pun tidak ada, karena Haris sudah membantu mensucikan perabotan masak dan makan itu. Kring! Kring! Sering ponsel begitu nyaring hingga terdengar sampai ke dapur. Lunar bergegas melihat siapa yang meneleponnya. Citra. "Halo, assalamu'alaikum, ya Mbak Citra.""Wa'alaykumussalam, Lunar, kamu di mana?""Di rumah, Mbak, kenapa?""Ada Bira gak?" "Udah berangkat, ada pasien yang minta Bang Bira ke rumahnya. Tulang pijat panggilan gitu.""Oh, ya sudah, bagikan saya alamat kliniknya. Mas Budi kemarin jatuh dari motor, udah dibawa ke tukang urut, malah sekarang gak bisa jalan. Makanya Mbak mau bawa Mas Budi ke Bira saja. Ada saudara bisa mijat, kenapa harus pijat di tempat orang lain, jadinya ga bisa jalan deh tuh.""Baik, Mbak, nanti saya kirimkan alamat klinik Bang Bira. Bukanya sore ya, Mbak. Jam empat, tapi biasanya antre. Jadi sebelum jam empat, Mbak sudah ada di sana.""Oke, terima kasih, Lunar. Mbak tunggu alamatnya ya."Lunar langsung mengirimkan pesan berupa alamat klinik suaminya yang sampai saat ini belum pernah ia kunjungi. Dari klinik pertama sampai ini klinik kedua karena pindahan dari yang lama, ia belum pernah ke sana. Kalau kata Bira, jika tidak terlalu urgen, gak boleh ke klinik karena pantangannya seperti itu. Citra adalah sepupu yang sebenarnya berusia masih sangat muda. Mungkin dua puluh tiga tahun, hanya saja karena ayahnya adalah abang dari bapaknya Lunar, sehingga Lunar menghormatinya dengan memanggil Mbak. Usia Luna sendiri memasuki dua puluh delapan tahun, sedangkan Bira tiga puluh satu tahun. Karena bukan dalam jam kerja klinik, Lunar memberitahu suaminya bahwa Mbak Citra akan ke klinik untuk memijat suaminya yang berumur. Ya, Citra menikahi suami orang dan dijadikan istri kedua. Pesannya tidak langsung dibalas oleh suaminya karena Bira sedang sibuk. Ya, sibuk melakukan praktek asusila pada pasien wanita bernama Neli di klinik pijatnya. ***Bira merasa senang karena Neli, sang Janda kembang sudah berhasil ia berikan obat tidur tanpa sepengetahuan wanita itu. Tidak mungkin ia menuntaskan hasratnya jika pasiennya dalam keadaan sadar, karena bisa saja mereka menolak. Kalau sekedar pijat kaki, tangan, dan pundak, rata-rata pasien wanitanya masih menerima, tetapi jika lebih dari itu, tidak semuanya nekat ia tawarkan pijatan yang lebih berani. Bira sampai menggigit bibirnya karena gemas dengan tubuh setengah polos pasiennya. Ia pun memulai aksi nakal yang hanya ia saja yang tahu. Bu Dasmi asisten pendaftaran saja tidak pernah tahu apa yang dilakukan Bira di dalam ruangannya sambil menyetel musik relaksasi itu. Tuntas dengan keinginannya. Bira kembali memakaikan baju Neli. Sebelumnya ia mengoleskan minyak urut pada kaki, tangan, dan juga pundak wanita itu. Ia pun tidak lupa untuk memasukkan bungkus kontrasepsi yang baru saja ia pakai ke dalam plastik hitam. Saat pulang nanti malam, barulah ia membuangnya di jalanan. Bira membiarkan selama satu jam rasa lelahnya menghilang, barulah ia membangunkan pasiennya. "Neli, bangun! Pijatnya sudah selesai." Bira berbisik sambil menyentuh pundak wanita itu yang sudah ia pakaikan bajunya. Dengan malas dan kelopak mata yang masih sangat berat, pasien itu pun mencoba bergerak dengan menggeser kaki dan juga menggerakkan tangannya. "Eh, sudah selesai ya, Bang. Maaf ya, saya sampai ketiduran," ujar Wanita itu merasa tidak enak hati. "Gak papa, banyak kok pasien yang dipijat saya, langsung pules, karena memang benar-benar enak katanya. Ini, silakan diminum ya." Bira memberikan obat yang sudah ia hancurkan dan ia beri sedikit madu. Neli memicingkan matanya saat merasakan obat yang masuk ke dalam mulutnya amat pahit. Namun harus ia telan demi kesembuhannya dan mengembalikan cinta suaminya padanya. "Terima kasih Bang Bira sudah mau menolong saya. Ini uangnya!" Neli meletakkan uang seratus ribu di dalam box yang ada di meja Bira. "Sama-sama Mbak Neli. Ingat, ini baru satu kali pijatan ya. Harus lima kali baru ampuh untuk menaklukan suami. Jangan lupa gerakan wajib yang harus Mbak Neli lakukan di rumah ya." Wanita itu mengangguk paham, lalu pergi keluar dari ruangan Bira. Lelaki itu tertawa puas tanpa suara. Gerakan yang ia minta adalah gerakan kegel yang sangat berguna untuk otot kewanitaan. Pijat di tempatnya hanya sebagai pemanis saja karena ia memanfaatkan kepolosan wanita, terutama wanita yang diabaikan urusan ranjangnya oleh suami. Tubuhnya yang lengket, membuatnya masuk ke kamar mandi untuk mandi. Ia akan tidur di klinik sampai menunggu waktu sore tiba. Sebelum benar-benar, tidur, Bira memeriksa laci obat. Semua obat yang biasa ia butuhkan ada, hanya saja ada obat yang baru kemarin ia beli sebanyak dua pack, tetapi tidak ada. Bira mencarinya ke seluruh sudut ruangan, tetapi ia tidak menemukannya. Jika ada obat yang tercecer, sudah pasti Bu Dari beritahukan padanya. Lalu ke mana obat yang belum sempat ia racik tersebut. ***Sementara itu, Lunar terbangun saat ada suara kurir paket di depan rumahnya. Ia bangun dan mengambil uang lima puluh ribu rupiah untuk membayar paket COD tersebut. "Paket!" Seru suara kurir itu lagi. "Bentar, Mas, saya ambil dulu duitnya!" Jawab Lunar sambil berteriak. Tidak ada yang lima puluh ribuan di dompetnya. Hanya ada seratus ribuan tiga lembar dan dua puluh ribu satu lembar. Srak!"Apa ini"? Gumam Lunar saat tanpa sengaja ia menjatuhkan plastik hitam kecil dari balik lipatan baju. Lunar membuka bungkusan itu dengan penasaran. Matanya terbelalak saat mengetahui isi plastik hitam itu adalah pil KB. "Pil KB? Pil KB siapa?" jantungnya mendadak berdetak begitu cepat.Lunar begitu cemas dengan penemuan pil KB yang bukan miliknya dari dalam lemari. Tidak mungkin ada orang lain yang masuk ke kamarnya selain dirinya dan juga suaminya. Tidak mungkin juga milik kakak iparnya karena Haris sudah lama menduda. Lunar mengambil ponsel, lalu menekan kontak suaminya. Semakin ia tahan, maka semakin besar rasa penasarannya. Ia harus tahu obat itu milik siapa dan kenapa bisa ada di dalam lemarinya. Namun sayang, Bira tidak kunjung mengangkat telepon darinya. Bukan hanya satu kali, tapi berkali-kali ia mencoba menghubungi suaminya tetap saja tidak diangkat. Ini masih pukul satu siang, harusnya suaminya sudah selesai memijat. "Halo, Mbak Citra lagi di mana?""Masih di rumah, Nar, kenapa?""Kalau Mbak nanti sampai di klinik pijat Mas Bira, tolong sampaikan untuk menelepon saya balik ya, Mbak.""Oh, gitu, gak aktif ya HP-nya.""Iya, Mbak.""Oke, nanti begitu sampai di sana, Mbak suruh Bira telepon kamu."Lunar masih memegang plastik berisi tiga pack obat KB. Tanga
"Ya ampun, kenapa sampai nunggu bengkak begini baru dibawa ke sini?" Bira memperhatikan kaki Budi yang memang benar-benar membesar. Ini bukan sekedar pijat, ia harus benar-benar harus hati-hati dan juga pelan dalam mengobati kaki suami Citra. "Iya, nih, Bar, kata saya juga langsung ke Bira aja, tapi Citra gak nurut, akhirnya salah deh nih." Pria itu meringis saat merasakan linu pada kedua kakinya. Wanita bernama Citra hanya bisa terdiam sambil menunduk kikuk. "Gak papa, saya coba obati pelan-pelan ya, tapi ini kayaknya gak bisa satu atau dua kali sembuh." Bira memegang wajah Budi. Lalu berpindah pada kepalanya. Tepatnya memegang ubun-ubun Budi. "Hawanya panas. Apa Mas Budi jatuh di dekat pohon?" lelaki bernama Budi itu mengangguk pelan. Dari mana Bira tahu ia jatuh di dekat pohon? Batin pria itu. "Mas, ditanyai Bira tuh, jatuh dekat pohon nggak?" tegur Citra pada suaminya. "Iya, jatuh di bawah pohon. Saya mengantuk, terus, tiba-tiba mata kayak ada yang tutupi, tidur untuk sekian
"Bang, kenapa diam? Kenapa ada banyak pil KB di dalam lemari? Untuk apa dan punya siapa?""Ya ampun, Lunar, jadi obat itu ada di dalam lemari kita? Pasti Abang lupa, Abang kirain jatoh. Jadi waktu Abang mau pulang, Bu Dasmi nitip obat itu untuk putrinya. Dia kan gak ada motor mau ke apotek, Abang taruh di jaket. Abang kirain jatoh, rupanya ada di dalam lemari. Nih, kalau kamu gak percaya, nanti kamu telepon saja Bu Dasmi. Syukur deh kalau gitu, jadi Abang gak kena gantiin beli lagi. Makasih atas informasinya ya, Neng. Simpankan dulu saja, besok baru ingatkan Abang untuk bawa obat itu ya. Abang kerja lagi, assalamu'alaikum."Lunar bahkan belum membuka mulut untuk menanyakan hal lain lagi, tetapi suaminya sudah menutup panggilan. Hatinya yang cemas karena teka-teki pil KB, kini sudah mereda. Ucapan suaminya sangat masuk di akal bahwa obat itu titipan Bu Dasmi. Wanita itu bahkan diminta menelepon Bu Dasmi untuk konfirmasi. Tentu saja hal itu tidak akan ia lakukan, karena pasti akan sang
Tentu saja sebuah kesialan baginya menjelang tutup prakte, malah mendapatkan pasien lelaki, tetapi mengaku wanita. Baru kali ini ia mendapatkan ku stoner seperti tadi. Hal itu membuat Bira kesal, sekaligus geli."Bu Dasmi, besok plang di depan klinik, ditambahin tulisan lebih spesifik ya. 'Tidak menerima pasien dengan jenis kelamin abu-abu.'"Bu Dasmi yang baru saja menutup buku pendaftaran, tentu saja merasa heran dengan tugas dari bosnya."Bang Bira, bukannya kalau jenis kelamin teh warnanya coklat, saya baru tahu kalau ada warna abu-abu. Apa diwarnai? Dipilok?" Bira menghela napas. Sakit darah tinggi yang sudah tidak lama kambuh, bisa saja kambuh mendadak, bila berbicara dengan Bu Dasmi terlalu lama."Maksud saya, lelaki yang mengaku perempuan, maupun sebaliknya. Pokoknya bikin catatan di plang seperti yang saya bilang tadi. Jangan ditambahin lagi, jangan dikurangin. Besok, sebelum praktek, saya mau lihat udah terpasang di depan jalan sana." Bira meletakkan uang dua ratus ribu rupi
Seandainya saja ia mempunyai ilmu bisa menghilang, tentu sudah ia gunakan saat ini. Bagaimana bisa, daster tidak terkancing dengan baik dan ia pun tidak memakai bra saat itu. Haris, kakak sepupu suaminya pasti melihat walau tidak sempurna. Namun, tetap saja pria itu melihatnya. Lunar kebingungan sendiri karena ia harus keluar kamar untuk memasak sarapan. Peristiwa tadi membuatnya sangat malu. "Lunar, Bira, saya berangkat!" Seru Haris dari balik pintu. Wanita itu menghela napas lega. Ia berjalan ke jendela untuk memastikan Haris sudah pergi dari rumahnya. Dengan memakai kaus biasa dan celana panjang jeans, Haris berjalan keluar rumah adik sepupunya sambil membawa ransel. Lekas ia keluar kamar untuk mandi. Sebuah kejutan lagi di hari kamis pagi, darah sedikit pekat tercetak di celananya yang berwarna crem. Padahal ia ingin di cumbu suaminya malam sabtu nanti, malah sekarang ia yang datang bulan. Mood-nya benar-benar berantakan. Setelah mandi, Lunar yang tadinya ingin memasak sarapan,
Motor Bira melaju di jalanan tanah basah yang sempit. Penuh pepohonan bambu yang sangat rimbun. Lokasi rumah seseorang yang ia akui sebagai guru spritual itu letaknya jauh dari jalanan raya ibu kota. Bahkan harus melewati hutan bambu yang luasnya mungkin sekitar satu hektar. Sepanjang jalan, pantangan bagi Bira untuk menoleh ke belakang ataupun melirik spion kanan dan kiri. Ia sudah terbiasa akan hal itu dan sangat hapal, sehingga ia biasa saja saat melewati tengah hutan. Setelah berkendara semakin masuk ke dalam hutan, Bira sampai di jalanan bebatuan yang sudah tidak begitu rimbun pepohonan. Ada lampu jalan juga di beberapa titik, tetapi rumah antar warga sangat jauh. Dalam jarak lima ratus meter, barulah bisa menemukan rumah yang lainnya. Pasokan listrik di daerah ini sepertinya belum merata, terbukti keadaan jalan sangat lengang dan juga tidak nampak terpasang antena TV di atap rumah warga. Bira memarkirkan motornya di sebuah rumah sederhana, model jaman dahulu kala. Bentuk jend
Lunar benar-benar membulatkan tekadnya untuk mengunjungi klinik pijat suaminya sore ini. Ia sudah siap jika Bira marah atau mungkin mengusirnya, tetapi ia tidak akan mundur. Paling tidak ia bisa melihat dengan mata kepala sendiri bahwa suaminy benar-benar bekerja sebagai tukang pijat patah tulang dan keseleo, bukan yang lain. "Loh, kenapa, Mas?" tanya Lunar saat motor ojek online berhenti di pinggir jalan raya. "Maaf, Mbak, sepertinya ban motor saya bocor. Saya cari tambal ban dulu ya, Mbak. Mbak mau ikut saya atau menunggu di sini. Setelah saya selesai menambal, nanti saya balik lagi," kata pemuda itu pada Lunar dengan wajah bersalah. "Yah, di mana tukang tambalnya? Kalau jauh, saya buang-buang energi dan waktu. Ini saya bayar aja deh, saya mau naik ojek online lain saja!" Lunar mengeluarkan uang lima puluh lima ribu dari dompetnya. Belum setengah perjalanan, sudah ada saja kendala. "Makasih, Mbak, mohon maaf ya. Jangan kasih bintang satu ya, Mbak." Pemuda itu menatap Lunar deng
"Ini sudah larut, Mbak Citra pasti kemaleman kalau masih ingin berbincang dengan Lunar. Lunar, kamu masuk dulu saja." Kedua wanita bersaudara itu kebingungan sendiri dengan situasi saat ini. Namun, Citra memilih menuruti kalimat Bira karena memang ini sudah malam dan ia sendirian datang ke sini. "Lain kali kita ngobrol ya, Lunar, saya pamit dulu." Citra mencium pipi kanan dan kiri Lunar, lalu mengangguk tipis pada Bira. Pria itu menarik Lunar masuk ke dalam ruangan klinik. Lalu ia keluar kembali membisikkan sesuatu pada Bu Dasmi. Pintu tertutup, Bira bahkan menguncinya. "Ada apa kamu ke sini? Bukankah saya sudah pernah katakan bahwa kamu tidak perlu datang ke sini?" Bira menahan amarahnya. Ia harus bisa menguasai diri agar tidak bertengkar dengan istrinya di saat pasien di luar sana masih banyak yang menunggu. "Saya hanya ingin memastikan pekerjaan suami saya. Apa itu gak boleh?" tantang Lunar dengan sorot mata tajam suaminya. "Kamu kira pekerjaan aku apa, Lunar? Jelas-jelas aku