Share

8. Bira yang Licik

"Abang mau ke mana sudah mandi?" tanya Lunar saat melihat suaminya masuk ke kamar dalam keadaan memakai handuk saja dari pinggang sampai betis. 

"Hari ini Abang dapat panggilan pijat pejabat. Panggilan ke rumahnya. Lumayan, biasanya bayarannya gede. Kamu di rumah saja, Abang berangkat sama Mas Haris. Mas Haris mau wawancara kerja hari ini." Bira menyemprotkan parfum di seluruh tubuhnya, sebelum ia memakai baju kaus yang baru saja diambil di dalam lemari. Setelah kaus terpasang rapi, Bira pun memakai celana bahan berwarna hitam. Lunar hanya bisa memperhatikan tanpa rasa curiga sama sekali. 

"Jangan lupa minum obat, Abang berangkat ya." Bira mencium kening Lunar yang masih hangat. Ia nampak terburu-buru, karena mau mengantar kakaknya terlebih dahulu. Lunar turun dari tempat tidur ingin mengantar kepergian suaminya. Kakak iparnya sudah berpakaian rapi dengan kemeja hitam dengan bet kancing di pundak dan juga memiliki jantung di bagian depan. Celananya berwarna hitam juga, pas di tubuh atletis kakak iparnya itu. Mereka kakak adik yang sama persis, bagaikan kembar, padahal hanya kakak sepupu, tetapi karena sejak bayi sudah diurus oleh ibu dari suaminya, maka Mas Haris adalah sulung yang cukup disegani di keluarganya. 

Terakhir dinas di rumah mentri sebagai tenaga keamanan rumah tinggal. Jadi tidak heran dengan postur tubuhnya yang tingi besar layaknya aparat berbaju loreng. 

"Doakan wawancara saya berhasil ya, Nar, " ujar Haris yang sudah duduk di boncengan Bira, saat melihat adik iparnya itu sudah berdiri di depan pintu rumah. 

"Semangat." Luna tersenyum, lalu melambaikan tangan pada keduanya. Ia sungguh merasa jenuh dan bosan. Menonton acara TV tidak terlalu gemar, ngobrol ke rumah tetangga juga tidak hobi. Memasak sudah, menyapu tidak perlu karena rumah masih rapi. Cucian piring pun tidak ada, karena Haris sudah membantu mensucikan perabotan masak dan makan itu. 

Kring! Kring! 

Sering ponsel begitu nyaring hingga terdengar sampai ke dapur. Lunar bergegas melihat siapa yang meneleponnya. Citra. 

"Halo, assalamu'alaikum, ya Mbak Citra."

"Wa'alaykumussalam, Lunar, kamu di mana?"

"Di rumah, Mbak, kenapa?"

"Ada Bira gak?" 

"Udah berangkat, ada pasien yang minta Bang Bira ke rumahnya. Tulang pijat panggilan gitu."

"Oh, ya sudah, bagikan saya alamat kliniknya. Mas Budi kemarin jatuh dari motor, udah dibawa ke tukang urut, malah sekarang gak bisa jalan. Makanya Mbak mau bawa Mas Budi ke Bira saja. Ada saudara bisa mijat, kenapa harus pijat di tempat orang lain, jadinya ga bisa jalan deh tuh."

"Baik, Mbak, nanti saya kirimkan alamat klinik Bang Bira. Bukanya sore ya, Mbak. Jam empat, tapi biasanya antre. Jadi sebelum jam empat, Mbak sudah ada di sana."

"Oke, terima kasih, Lunar. Mbak tunggu alamatnya ya."

Lunar langsung mengirimkan pesan berupa alamat klinik suaminya yang sampai saat ini belum pernah ia kunjungi. Dari klinik pertama sampai ini klinik kedua karena pindahan dari yang lama, ia belum pernah ke sana. Kalau kata Bira, jika tidak terlalu urgen, gak boleh ke klinik karena pantangannya seperti itu. 

Citra adalah sepupu yang sebenarnya berusia masih sangat muda. Mungkin dua puluh tiga tahun, hanya saja karena ayahnya adalah abang dari bapaknya Lunar, sehingga Lunar menghormatinya dengan memanggil Mbak. Usia Luna sendiri memasuki dua puluh delapan tahun, sedangkan Bira tiga puluh satu tahun. 

Karena bukan dalam jam kerja klinik, Lunar memberitahu suaminya bahwa Mbak Citra akan ke klinik untuk memijat suaminya yang berumur. Ya, Citra menikahi suami orang dan dijadikan istri kedua. 

Pesannya tidak langsung dibalas oleh suaminya karena Bira sedang sibuk. Ya, sibuk melakukan praktek asusila pada pasien wanita bernama Neli di klinik pijatnya. 

***

Bira merasa senang karena Neli, sang Janda kembang sudah berhasil ia berikan obat tidur tanpa sepengetahuan wanita itu. Tidak mungkin ia menuntaskan hasratnya jika pasiennya dalam keadaan sadar, karena bisa saja mereka menolak. Kalau sekedar pijat kaki, tangan, dan pundak, rata-rata pasien wanitanya masih menerima, tetapi jika lebih dari itu, tidak semuanya nekat ia tawarkan pijatan yang lebih berani. 

Bira sampai menggigit bibirnya karena gemas dengan tubuh setengah polos pasiennya. Ia pun memulai aksi nakal yang hanya ia saja yang tahu. Bu Dasmi asisten pendaftaran saja tidak pernah tahu apa yang dilakukan Bira di dalam ruangannya sambil menyetel musik relaksasi itu. 

Tuntas dengan keinginannya. Bira kembali memakaikan baju Neli. Sebelumnya ia mengoleskan minyak urut pada kaki, tangan, dan juga pundak wanita itu. Ia pun tidak lupa untuk memasukkan bungkus kontrasepsi yang baru saja ia pakai ke dalam plastik hitam. Saat pulang nanti malam, barulah ia membuangnya di jalanan. Bira membiarkan selama satu jam rasa lelahnya menghilang, barulah ia membangunkan pasiennya. 

"Neli, bangun! Pijatnya sudah selesai." Bira berbisik sambil menyentuh pundak wanita itu yang sudah ia pakaikan bajunya. 

Dengan malas dan kelopak mata yang masih sangat berat, pasien itu pun mencoba bergerak dengan menggeser kaki dan juga menggerakkan tangannya. 

"Eh, sudah selesai ya, Bang. Maaf ya, saya sampai ketiduran," ujar Wanita itu merasa tidak enak hati. 

"Gak papa, banyak kok pasien yang dipijat saya, langsung pules, karena memang benar-benar enak katanya. Ini, silakan diminum ya." Bira memberikan obat yang sudah ia hancurkan dan ia beri sedikit madu. 

Neli memicingkan matanya saat merasakan obat yang masuk ke dalam mulutnya amat pahit. Namun harus ia telan demi kesembuhannya dan mengembalikan cinta suaminya padanya. 

"Terima kasih Bang Bira sudah mau menolong saya. Ini uangnya!" Neli meletakkan uang seratus ribu di dalam box yang ada di meja Bira. 

"Sama-sama Mbak Neli. Ingat, ini baru satu kali pijatan ya. Harus lima kali baru ampuh untuk menaklukan suami. Jangan lupa gerakan wajib yang harus Mbak Neli lakukan di rumah ya." Wanita itu mengangguk paham, lalu pergi keluar dari ruangan Bira. 

Lelaki itu tertawa puas tanpa suara. Gerakan yang ia minta adalah gerakan kegel yang sangat berguna untuk otot kewanitaan. Pijat di tempatnya hanya sebagai pemanis saja karena ia memanfaatkan kepolosan wanita, terutama wanita yang diabaikan urusan ranjangnya oleh suami. 

Tubuhnya yang lengket, membuatnya masuk ke kamar mandi untuk mandi. Ia akan tidur di klinik sampai menunggu waktu sore tiba. Sebelum benar-benar, tidur, Bira memeriksa laci obat. Semua obat yang biasa ia butuhkan ada, hanya saja ada obat yang baru kemarin ia beli sebanyak dua pack, tetapi tidak ada. 

Bira mencarinya ke seluruh sudut ruangan, tetapi ia tidak menemukannya. Jika ada obat yang tercecer, sudah pasti Bu Dari beritahukan padanya. Lalu ke mana obat yang belum sempat ia racik tersebut. 

***

Sementara itu, Lunar terbangun saat ada suara kurir paket di depan rumahnya. Ia bangun dan mengambil uang lima puluh ribu rupiah untuk membayar paket COD tersebut. 

"Paket!" Seru suara kurir itu lagi. 

"Bentar, Mas, saya ambil dulu duitnya!" Jawab Lunar sambil berteriak. Tidak ada yang lima puluh ribuan di dompetnya. Hanya ada seratus ribuan tiga lembar dan dua puluh ribu satu lembar. 

Srak!

"Apa ini"? Gumam Lunar saat tanpa sengaja ia menjatuhkan plastik hitam kecil dari balik lipatan baju. Lunar membuka bungkusan itu dengan penasaran. Matanya terbelalak saat mengetahui isi plastik hitam itu adalah pil KB. 

"Pil KB? Pil KB siapa?" jantungnya mendadak berdetak begitu cepat. 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Khoirun Nida
bagai mana cara mendapat koin agar bisa membaca
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status