Share

bab 3

"Saya bersedia."

Hannah berucap lemah di samping pria bertopeng yang sudah lebih dulu mengikrarkan janji setianya.

"Kalian sudah diikat dengan ikatan suci pernikahan, mempelai pria bisa mencium mempelai wanita." Sang pendeta berucap.

Alby melirik gadis yang matanya sudah mengembun, tetap membalik tubuh menghadapnya. Mengikuti ritual pernikahan dengan sangat baik meski dunianya sudah berantakan. Meski kepercayaannya dihianati oleh keluarganya sendiri.

"Tidak perlu."

Hannah mendongak, menatap Alby yang bahkan tak menoleh padanya dan tetap melihat lurus ke depan. Menghadap sang pendeta.

"Kami bisa melakukannya di tempat yang lebih pribadi," lanjut lelaki bertopeng itu.

Hannah masih menatap, bukan hanya dia yang tak menginginkan pernikahan ini, Alby pun sama. Hingga, ciuman pernikahan itu tak perlu terjadi.

_________

"Selamat datang Hannah."

Seorang wanita bergaun merah marun menyambut Hannah di rumah besar kakek John Moris Klien. Pemegang tertinggi saat ini di keluarga itu.

"Aku Irene, kakanya Alby."

"Saya tau. Kakak sangat terkenal."

Irene terkekeh, "Kamu bisa saja, ayo masuk," ajaknya merangkul lengan Hannah begitu hangat."Oh, iya, jangan bicara dengan bahasa formal begitu. Biasa saja, santai. Huumm?" ucapnya akrab.

"Alby, kenapa diam saja, cepat bawa barang-barang adik ipar!" perintahnya pada Alby, yang seketika membuat Hannah terkejut. Kenapa kakaknya sendiri bisa begitu ketus pada Alby? Apakah memang separah itu posisinya, hingga tidak dihargai? Namun, wanita bergaun merah itu malah tersenyum ramah pada Hannah. Membuat Hannah bingung.

"Dia memang begitu," tukas Alby mengangkat koper milik Hannah. Mematahkan kebingungan Hannah. Ah, sikap ketus sayang rupanya.

"Hannah, santai saja ya. Kakek dan yang lainnya udah menunggu."

Masuk ke dalam ruang utama. Sekali lihat, Hannah sudah tau ada siapa saja di sana. Keluarga Klien adalah keluarga besar dan terkenal. Kesemuanya memiliki pamor dan pengaruh. Tapi, yang paling menonjol karismanya, jelas kakek JM Klien.

"Kakek, lihatlah ini, menantu Kakek sudah datang," kata Irene.

"Wah, inikah bintang hari ini? Cantik juga," celetuk Morgan sepupu Alby yang duduk di sofa.

"Sayang, jangan menggoda wanita lain di depanku," tegur Ivana, tunangan Morgan merangkul dan menyender pada pria yang duduk di sebelahnya.

"Aku tidak menggoda, sayang. Hanya memuji," elak Morgan mengusap kepala Ivana.

"Benar, Morgan. Jangan membuat mama malu dengan menggoda istri sepupumu sendiri," cetus bibi Joana tersenyum sinis."Lagi pula, dia tak sebanding dengan Ivana yang memiliki lattar belakang keluarga. Kita bahkan tau kenapa dia dinikahi."

"Joana!"

"Bibi!"

Kakek JM menatap anak sulungnya tajam. Suaranya bersamaan keluar dengan Irene yang tak suka pada bibinya itu.

"Jaga bicaramu di pertemuan keluarga ini." Kakek JM membuka suara lagi.

"UPS, maaf, Ayah. Aku kelepasan," kata bibi Joana terkekeh, tanpa rasa empati ataupun bersalah."Maaf, ya Hannah," sambungnya menatap Hannah yang tersenyum kecut. Setidaknya, Hannah tau bagaimana harus bersikap pada bibi Joana ini.

"Aahh, Ayah, pertemuan ini sudah cukup kan? Kami semua sudah tau, kami masih ada urusan yang lebih penting," kata bibi Joana lagi terlihat malas. Menoleh pada pria di sampingnya,"Ayo sayang, kita pergi," ajaknya pada paman Jess, suaminya.

Lelaki berkumis dan berjambang tebal itu berdiri.

"Ayah, kami pergi."

Hanya itu yang keluar dari mulutnya. Di susul oleh bibi Joana.

"Selamat ya, Alby. Hannah. Semoga betah tinggal di sini," ucap wanita itu lalu pergi.

"Kami juga harus pergi," kata Ivana beranjak. Tak ingin berlama-lama di sana. Apalagi, ada Alby yang membuatnya tak nyaman. "Ayo sayang, kita masih ada acara lain."

Morgan berdecak, namun ia berdiri juga. Menatap Hannah dan Alby bergantian,"Selamat."

Lalu pergi dengan bergandengan dengan tunangannya.

Irene membuang muka kesal. Keluarga dari mendiang ayahnya begitu menyebalkan.

"Kenapa sih, bibi Joana begitu menyebalkan!" umpatnya lirih.

Di ruangan itu masih ada satu bibi lagi, Feronica. Tersenyum begitu hangat pada Hannah. Walau keadaan keluarga yang begitu toxic.

"Selamat datang di keluarga Klien. Jangan terlalu diambil pusing, ya. Hal seperti ini biasa terjadi, nanti juga kamu akan mengerti," katanya beranjak dari duduknya mengusap lengan Hannah.

"Iya, Bi," sahut Hannah.

"Ayah, aku juga harus pergi," pamitnya pada kakek JM.

Kakek JM berdecih, "Pergi kemana lagi? Jangan pergi dengan orang tak jelas lagi."

"Apa sih, ayah. Aku ada janji dengan teman-temanku." Bibi Fero malu skaligus kesal.

"Itu bibi Feronica," bisik Irene pada Hannah,"Dari semua saudara mendiang ayah, hanya dia yang belum menikah."

Hannah menatap punggung wanita bergaun ungu itu. Entah harus iba padanya karena jadi satu-satunya orang yang belum memiliki keturunan apalagi pewaris, tapi hebatnya, Bibi Fero memiliki posisi yang cukup kuat dalam keluarga. Dan Hannah merasa kagum dengannya.

"Hannah, istirahatlah dulu di kamar. Kamu pasti lelah," ucap kakek JM. Lalu berpindah menatap kepala pelayan yang juga hadir di ruangan itu.

"Moa, antarkan nona Hannah ke kamarnya," perintahnya pada sang kepala pelayan.

"Baik, tuan besar," tunduk Moa patuh, mempersilahkan Hannah untuk berjalan lebih dulu.

"Alby, ada yang mau kakek bicarakan denganmu." Kakek JM bersuara saat melihat Alby juga ikut beranjak. Lelaki bertopeng itu kembali duduk setelah mendesah pelan.

"Kamu punya istri sekarang yang harus dihidupi. Bekerjalah di perusahaan." Kakek JM meminta, Sementara Hannah masih melangkah pelan mengikuti Moa, menoleh sedikit sebelum langkahnya keluar dari ruang utama.

"Nona Hannah, ini kamar nona dan tuan muda Alby," ucap Kepala pelayan Moa begitu masuk ke dalam sebuah kamar, sembari tangannya menyimpan koper Hannah di sisi gadis itu berdiri.

Hannah mengedarkan pandangan mata berkeliling. Ruangan itu tak banyak hiasan, hanya ranjang dengan king size, meja, sofa melingkar di sudut kamar, dan lemari yang menyatu dengan dinding kamar. Walau tampak simpel dan lengang, namun kamar itu di desain dengan warna putih dan hitam yang tampak elegan.

"Nona bisa menyimpan barang-barang nona di lemari sebelah sana," tutur Moa lagi seraya menunjuk walk in close. Hannah mengangguk paham.

"Kalau begitu, saya tinggalkan nona di sini," pamitnya menunduk.

"Baik, terima kasih, pak Moa."

Kepala pelayan Moa menatap sebentar nona barunya, dengan pandangan yang Hannah tak bisa jabarkan. Moa memang tak pernah mendapatkan ucapan terimakasih untuk hal seperti ini dari majikannya. Hingga ia merasa aneh saat Hannah mengatakannya. Sayangnya, Hannah tak tau itu.

"Panggil saja, Moa. Nona Hannah," pinta lelaki berkumis putih itu dengan senyum tipis.

Hannah mengangguk dan tersenyum ramah padanya. Dan lelaki itu benar-benar meninggalkannya seorang diri di kamar itu.

Sementara itu di ruang utama,

"Alby, saatnya kamu kembali ke publik. Kamu sudah memiliki seorang istri untuk dihidupi. Sebentar lagi, bahkan kalian akan memiliki anak. Lahirkan seorang anak lelaki agar garis keturunan Klien tidak terputus." Kakek JM memberi mandat pada cucu kesayangannya.

"Benar, Alby. Kamu lihat bagaimana bibi Joana begitu berambisi menguasai semua. Sekarang ini, hanya kamu satu-satunya penerus dari garis yang kuat." Irene menimpali.

"Akan aku pikirkan nanti. Aku pikir sudah cukup dengan aku menikah. Rupanya, kakek masih menuntutku untuk hal lain juga." Alby berdiri dari duduknya. Melangkah hendak kembali ke kamar."Aku lelah, biarkan aku istirahat bersama istriku. Mungkin saja setelah aku masuk ke sana, akan ada kabar gembira tentang cucu yang begitu kakek idamkan itu."

Ucapan Alby terasa begitu tajam dan penuh sindirian. Hingga baik kakek JM, maupun Irene dan suaminya membungkam. Mereka bahkan lebih tau bagaimana Alby. Korban selamat dari sebuah kebakaran besar yang merengut kedua orangnya. Saat itu, Irene dan keluarga barunya sedang berlibur hingga mereka bisa lolos dari kebakaran. Berbeda dengan ayah, ibu dan juga Alby.

*_*

"Aku tidur dimana?"

Alby yang hendak menaiki ranjang kamarnya, terhenti sejenak. Menoleh, menatap wanita asing yang kini harus berbagi kamar dengannya.

"Terserah," jawab pria yang kini memakai piyama satin berwarna hitam itu menaiki ranjangnya.

Hannah gelisah. Ini pertama kalinya ia sekamar dengan seorang pria. Hanya ada satu ranjang, itu artinya, mereka harus berbagi ranjang. Atau, salah satu dari mereka tidur di lantai.

Melihat tuan muda bertopeng ini sudah menaiki ranjang dan berbaring di sana, otomatis, Hannah lah yang harus tidur di lantai, atau, sofa melingkar itu.

"Baiklah, aku bisa tidur dimana saja," gumam gadis itu berjalan ke arah sofa dan membaringkan tubuhnya di sana. Hanya berbantal sofa, tanpa selimut yang menaungi.

Keesokan paginya, Hannah bangun, merasa heran karena ada selimut di atas tubuhnya. Padahal, waktu tidur semalam, selimut itu belum ada. Hannah mendongak, menatap Alby yang masih nyenyak di bawah selimut tebal dan ranjang yang empuk. Dan Hannah tak ingin memikirkan tentang selimut sekarang. Lekas ia membersihkan diri di kamar mandi.

"Kakek."

Hannah mencoba memberanikan diri bicara saat ikut sarapan pagi itu.

"Ada apa Hannah?"

"Eemm, sebenarnya," ucap Hannah ragu, "sebenarnya, saya bekerja di sebuah foodtruk pinggir jalan. Dan hari ini saya harus ke sana," sambungnya menatap kakek JM penuh harap."Bolehkah?"

Kakek JM menatap Hannah lama, dan itu membuat Hannah gugup, berasa sedang dikuliti.

"Alby."

Alby yang duduk di depan Hannah menoleh pada kakek JM yang duduk di kepala meja.

"Kamu mau ke kantor pagi ini atau ikut Hannah bekerja?"

Mata Hannah melebar tak percaya, kenapa Alby jadi harus ikut dengannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status