"Yonna," tegur Akia mendapati Yonna duduk di luar pagar sekolah menahan tangis.
"Aku nggak tahu kenapa aku lari, Ki. Aku percaya sama Luther, tapi kenapa rasanya sakit banget?!" curah Yonna tak sanggup menahan air matanya.
"Wajar, kok. Itu reflek dari emosi kamu, saya juga pasti akan melakukan hal yang sama."
"Aku nggak tahu harus bersikap bagaimana, Ki."
"Yonna!" Luther berteriak ketika melihat keberadaan Yonna.
Akia membantu Yonna berdiri, terlihat jelas Yonna masih ingin menjaga jarak dengan pacarnya.
"Kamu jangan salah paham tentang apa pun yang kamu lihat, tadi."
"Iya."
"Yonna, tolong. Aku nggak mau kita jadi renggang karena salah paham yang konyol ini."
"Kamu bilang ini konyol?"
"Aku nggak terima kue itu." Luther meraih pergelangan tangan Yonna.
"Ma?" Yonna menuang segelas air putih. "Iya, sayang?" balas Yulissa mengalihkan tatapannya dari laptop. "Ayah ada kerja di luar kota? Sudah tiga hari ini nggak pulang ke rumah." Yonna mempertanyakan apa yang membuat ayahnya pergi selama ini. Yulissa menurunkan bahunya. Tanpa menatap Yonna, Yuliisa menjawab, "Tidak tahu, Nak. Ayahmu tidak dapat dihubungi." Menahan kesedihan di dalam dirinya, Yonna duduk di kursi yang bersebelahan dengan Yulissa. "Sampai kapan kalian akan bertengkar? Yonna merindukan kebersamaan kita seperti dulu, Ma." Jujur, perkataan anaknya membuat hati Yulissa teriris, ia sungguh merasa bersalah. "Maafkan Mama dan Ayah. Sudah hampir belasan tahun ini kami melalui lika-liku kehidupan berumah tangga, Mama merasa masalah kali ini adalah yang lebih rumit. Mama benar-benar minta maaf, sayang." "Maaf, Ma. Tapi Yonna tidak kuat melihat
Keesokan harinya, hubungan pertemanan antara Petunia dan yang lainnya sudah membaik. Walau masih ada murid lain yang berbisik dan menggiring opini yang berkembang, mereka tidak ambil pusing. Termasuk kelompok yang suka menggosip, Rasia dan teman-temannya. Bahkan, Gisel kembali mengingatkan Yonna agar langsung menjauhi Petunia, sebelum Petunia berhasil menggoda Luther lebih jauh. Tetapi Yonna tidak acuh, ia tetap ingin menjaga pertemanannya dengan Petunia. "Hari ini, kalian tanding?" Malilah bertanya pada Dovis. "Nggak, kami besok baru tanding. Hari ini antar SMA Garuda dan Merah Putih," jawab Dovis. "Jadi, kita nonton apa hari ini?" "Basket ajalah." Clovis yang terus menatap Yonna, beralih memandang Petunia. Dia masih memikirkan kejadian kemarin. Clovis begitu khawatir dengan perasaan Yonna, ia pasti sangat terluka. Bahkan keik yang ingin Yo
Polisi yang datang meminta Yonna dan teman sekelasnya agar berkumpul di satu ruangan, untuk melakukan interogasi terkait tindakan bunuh diri Gisel. "Jadi, tidak ada kaitannya dengan tragedi yang baru saja terjadi?" "Tidak ada, Pak. Walaupun sejujurnya kami terkadang kesal dengan omongan Gisel, kami tidak pernah berniat membalasnya apalagi hingga menghasutnya untuk melakukan itu." "Betul, Pak! Mungkin Gisel punya masalah pribadi." Malilah menghadap Rasia, "Gisel nggak ada ngomong apa-apa soal ini, Ras?" "Nggak ada sama sekali, Lil! Gisel nggak pernah cerita kalau dia punya masalah sama orang tuanya, palingan cuma debat-debat kecil aja. Itupun nggak sampai dua hari, sudah selesai." "Mungkin dia nggak cerita ke kau." Malika menatap iba Rasia. "Sumpah! Aku nggak habis pikir dengan jalan pikirannya. Kenapa tiba-tiba s
"Ma? Ada apa ini? Siapa wanita di luar itu?" Yonna menetralkan wajahnya yang terlihat sendu. "Be-begini, Nak. Itu, dia adalah-" "Dia pacar Ayah," Karlo—Ayah Yonna—mengatakan hal yang sebenarnya. "Mas!" Yulissa menghentakkan kakinya. "Maksud Ayah? Ayah nggak lagi bercanda, 'kan?" Yonna melirik wanita di luar, yang kini tengah tersenyum puas ke arahnya. "Apa wajah Ayah terlihat sedang bercanda? Apa keadaan ini terlihat seperti permainan?" Karlo menghempaskan genggaman Yulissa pada lengan jasnya. "A-ayah selingkuh?" tanya Yonna yang tak dapat menahan air matanya keluar. "Iya, dan dia lebih bisa membahagiakan Ayah daripada Mamamu ini!" "Ayah! Kenapa Ayah bisa setega ini?! Mama kurang apa, Yah?!" "Banyak, Nak! Banyak yang kurang dari dia." "Mas! Ayo, kita bahas
"Ma?" panggil Yonna dengan suara seraknya. Saat ini, mereka masih terduduk lemas di tempat semula, teras depan rumah. "Maafkan Mama, Nak. Mama kira semua ini masih bisa diperbaiki, ternyata tidak." Yulissa bangkit, dan berjalan tergontai-gontai memasuki rumah. Tidak ingin berdiam diri di luar terlalu lama, Yonna pun memilih ikut masuk ke dalam. Tetapi saat sedang memungut tas yang tadi ia lemparkan, Yonna menangkap tubuh Yulissa keluar dari kamarnya sembari membawa koper besar. "Ma? Mama mau ke mana?" tanya Yonna mulai panik. "Mama perlu menenangkan diri dulu, Nak. Maaf." "Kenapa Mama harus tinggalin Yonna juga? Ayah aja nggak cukup?" Air mata Yonna kembali mengalir. "Mama tidak meninggalkan kamu, Nak! Mama hanya perlu waktu sendiri untuk menenangkan pikiran. Apa yang Mama alami hari ini, sangat berat, Nak." &n
Di lain tempat dan waktu yang jauh berbeda. Seorang pria berjas menerima panggilan masuk dari telepon kantornya, dia tengah mengusahakan sesuatu. "Ada apa? Tumben sekali kamu meminta saya menelepon jam segini," ucap pria berkacamata di seberang telepon. Pria berjas memperbaiki posisi duduknya. "Kamu bisa bantu saya tidak?" "Saya selalu bisa membantumu, kawan. Katakan saja." "Tetapi masalah kali ini lebih besar dan berat." "Oh, apa ini berkaitan dengan kasus korupsi yang kamu lakukan?" "Iya. Tolong saya, ini yang terakhir." "Jangan berkata seperti itu, kawan. Saya siap membantumu kapan saja. Apa yang kamu ingin saya lakukan?" "Apa kamu bisa membuat berita yang meliput kasus saya terkubur oleh berita yang lebih panas secepat mungkin?" "Kami ingin saya membuat
"Luther!" Yonna berlari ke dalam pelukan Luther usai pacarnya itu sampai untuk menjemputnya. Tanpa berkata apa-apa, Luther melayangkan pelukan terhangat yang dapat dia berikan. Mengecup puncak kepala Yonna, dan mengelus lembut punggung gadisnya. "Kamu mau kita pergi ke mana sekarang?" Luther bertanya lembut sembari menatap teduh Yonna. "Aku mau minta tolong sama kamu Luther," pinta Yonna dengan kedua tangannya memeras erat kedua tepi jaket Luther. "Katakan kamu mau apa?" "Bantu aku melupakan kejadian tadi untuk hari ini saja, Luther." "Tentu, aku bisa melakukannya, sayang. Kamu mau apa? Jalan ke mana?" "Aku mau kita melakukan itu," lirih Yonna Yang masih dapat didengar Luther. "Itu ... Apa?" Mendapati Luther yang tidak mengerti maksudnya, ia berjinjit untuk meraih tel
"Aku yakin, Luther." "Maaf, sayang." Tanpa membuang waktu, Luther langsung kembali menyerbu bibir Yonna yang membengkak akibat ulahnya. Kedua tangannya pun mulai bergerak menangkup tubuh bagian atas Yonna, sebab tidak ingin diam saja. Suara kecapan diiringi erangan, memenuhi seisi ruangan yang memang dibangun kedap suara. Menambah sisi nakal mereka makin menguasai tindakan. Menurunkan tubuhnya, Luther mengecup leher diiringi gigitan-gigitan kecil. Kemudian turun menuju d**a Yonna yang masih terbungkus pakaian. Sadar tatapan Luther, Yonna secepat mungkin melepaskan atasannya, menampilkan tubuh atasnya yang hanya tertutupi dalaman bagian d**a. Memancing Luther untuk segera meninggalkan sejumlah tanpa kepemilikan di sana. Kecupan itu pun mulai turun ke perut. Menggesekkan hidungnya di perut rata Yonna, membuat perempuan itu te