Mama kini terkekeh. “Pintar sekali kamu cari istri, Nak. Dia periang sekali,” ucap wanita berjilbab itu sambil menatap ke arah anak lakinya. Sedangkan aku yang mendengar sanjungan itu kini menahan malu. Apakah sikapku memang masih ke kanak-kanakan yang seperti orang bilang?Aku mengoles selai nanas untuk Om Zuan, lalu memberikan roti yang sudah siap di makan itu di piringnya. Ia menatap tajam ke arahku, sambil melirik ke arah wanita di sebelahnya, seperti memberikan kode kepadaku. Aku yang langsung paham bergegas mengambil roti dari tangan Mama mertuaku dan mengoleskan selai untuknya.“Biar mama sendiri, Zi!” ucap wanita itu sambil berusaha meraih roti yang ku pegang.“Jangan, Ma. Ini sudah kerjaan, Zi! Menyiapkan sarapan pagi dan makan siang,” ucapku sambil memamerkan senyum.“Kamu rajin sekali, Zi! Mama sayang sekali denganmu,” ucap wanita itu sambil meraih punggunggku. Diusapnya punggung itu sambil memamerkan senyum indahnya.“Gimana kabar, Mama? Kenapa mendadak sekali pulangnya?”
“Om, jalannya pelanan dikit,” protesku, ketika lelaki di depanku melangkah begitu cepat. Apalagi jarak langkah nya begitu lebar, berbeda sekali denganku.“Kamu yang terlalu lelet.”Aku tertatih mengimbangi jalannya Om Zuan.“Selamat pagi, Pak Zuan.”Seorang lelaki cukup umur menyapa, berseragam rapi dengan jas warna Dongker.“Selamat pagi juga, Pak.”“Ada yang bisa saya bantu?”“Tidak, Pak. Saya hanya ingin mampir saja.”Om Zuan kembali melangkah dan aku terus mengekori di belakangnya.“Kelasmu di mana, Zi?”Aku menggeleng.“Zi?” “Aku beneran gak tahu, Om. Waktu Rendra mengantarku ia buru-buru. Aku belum sempat lihat tempat ini, habisnya Om sih, wajibin bikin makan siang jam dua belas tepat. Aku gak punya banyak waktu.”“Zi, bisa gak sih kalau jawab sesingkat-singkatnya saja. Aku gak tanya rumus luaa, yang harus dijelaskan panjang kali lebarnya.”“Maaf, Om!”“Di mana kelasmu?”“Gak tahu, Om!”“Mata kuliahmu apa hari ini?”“Jam delapan ada kelas bahasa, jam sepuluh ada kelas akutansi.
Ssstt...Motor terhenti begitu saja, hingga aku seakan terpental dan duduk mendekati Aga. Tubuh kita tampak menyatu di jok yang tak rata ini.“Ma-maaf,” ucapku sambil kembali mundur ke jok semula yang ku duduki. “Apa maksudmu tidak tahu alamatmu?”“Aku beneran gak tahu, Ga! Aku tinggal di rumah Om Zuan. Apa kamu tahu rumah Om Zuan?”“Zuan tetanggaku yang berprofesi jadi tukang ojek?”Aku menggeleng.“Om Zuan mu telfon, di mana alamatnya.”“Aku gak punya ponsel, Ga!” “Jaman sekarang gak punya ponsel, Zi? “Aku menggeleng.“Sudahlah, kita balik kampus saja kalau begitu.”Aga tampak menarik gas motornya kembali hingga motor ini kembali melaju cepat.“Ga, kenapa berhenti di sini?” tanyaku sambil menatap jalanan.“Aku haus, Zi! Kita beli es cendol dulu ya.” Ia turun dari motornya, sedangkan tatapanku mengarah kepada Abang penjual es, mirip sekali dengan Om Zuan . Aku mengucek mataku dan kembali memperhatikannya, wajahnya kini berubah menjadi lelaki dekil dengan pakaian lusuh.“Sini, Zi!”
Kamu kenapa, Zi?” Ia menatapku dengan pandangan berbeda.“Gak apa, Om.”“Jangan bohong. Kamu kenapa?”“Aku lapar, Om. Tadi pagi gak sarapan nasi, Zi belum kenyang. Ini sudah saatnya makan siang tapi gak ada yang Zi makan. Tadi mau dapat cendol gratisan, eh gak jadi Zi minum gara-gara keduluan Om datang dan marah.”“Kamu nyalahin aku, Zi?”“Enggak, Om. Kan tadi Om yang tanya Zi kenapa? Ini Zi jawab, tetap saja kena marahan juga.”“Kalau tadi pagi kamu lapar, kenapa gak makan siang di kampus. Kantin di sana kan banyak? Cerdas dikit dong, Zi!”“Uang dari mana, Om? Zi kan budak yang terbeli, jadi gak dapat upah. Zi mana bisa jajan.”Lelaki di sebelahku bangun dan kembali meraih sepatunya, ia menarik lenganku untuk mengikuti.“Mau ke mana, Om?” “Jangan banyak bicara.”“Tapi, Om!”Ia tak bergeming, masih fokus menyusuri anak tangga.“Om, pelanan dikit jalannya.”Mataku membulat sempurna ketika lelaki itu melepaskan pegangan tangannya. Ia kini mendekat dan mengangkat ku begitu saja. Wajahn
Uhuk ...Om Zuan terbatuk ketika meneguk minuman dingin berkuah santan itu.“Kamu kenapa, Om? Makanya kalau mau makan atau minum baca doa dulu, supaya setan tidak melintas dan bikin tersedak seperti sekarang.”“Setannya itu kamu, Zi. Yang bikin aku tersedak.”“Hus, gak boleh lo Om menyamakan manusia dengan setan, derajatnya berbeda di depan Allah meskipun sama-sama makhluknya. Setan tak pernah mau menurut perintah Allah, berbeda sekali dengan Zi, Om?”“Sudah ceramahnya? Bu ustadzah laper dan haus kan? Sana habiskan dulu.”Aku menatap berbagai macam makanan di depanku. Ayam goreng sambal lalapan, oseng teri, cah kangkung, orek telur. Benar-benar membuat nafsu makanku bertambah.“Ayo, Om kita makan dulu.”“Habiskan saja, Zi. Menu makan siang ku hanya sup ayam jahe.”Aku menatap lelaki di depanku, yang kini mencoba meraih cendol dari gelasnya. Ia sama sekali tak tertarik dengan makanan yang menggoyang lidah di depannya. Bahkan kini kurasakan lidahku ingin menari untuk segera menyantapnya
Cup !!!Lelaki itu membentuk jari jemarinya berbentuk bibir dan di kecupkan di dahiku.“Zi, sudah kubilang kan jangan pakai perasaan kepadaku!”“Siapa yang pakai perasaan, Om? Zi ini masih menunggu Om Zuan melepas sabuk pengamannya.”Klik, laki – laki itu kini menjauh dan membuka pintu keluar dari dalam mobilnya. Sedangkan aku membuang nafas kasar, sambil menata detak jantungku yang kini mengalir tak karuan.Aku mengikuti Om Zuan keluar mobil dan mengekorinya tanpa tahu tujuan yang jelas. Memasuki bangunan yang besar, bahkan sangat besar.“Apakah ini yang namanya Mol, Om?” Aku memandang sekitar di mana banyak dagangan mereka pasarkan, barang-barang branded yang hanya pernah ku dengar tanpa sama sekali menyentuhnya.“Om, apa itu merk Chanel yang pernah dipakai Syahrini? “ tanyaku kepada laki-laki di depanku, yang sama sekali tak mengindahkanku walaupun jalanku tertatih. Jari telunjukku mengarah kepada ruangan besar yang berlogo bentuk C yang saling menempel. Beberapa wanita dengan pen
“Maaf ya, Om. Pinjam Zi bentar saja.”Aga menarik lenganku dan membawaku pergi begitu saja. Menaiki ruang berlapis baja dan Aga menekan tombol di dalamnya. Ketakutanku kembali menyeruak, aku benar-benar hendak terjatuh ketika benda ini terasa bergetar.“Kamu tak apa, Zi?” tanya Aga sambil memegang lenganku, memastikan aku baik-baik saja, dan memberikan aku kenyamanan tersendiri.Tak selang lama pintunya pun terbuka, aku bergegas melangkah untuk segera ke luar dari tempat menakutkan itu, jujur lebih baik aku memilih menaiki tangga dari pada memakai lift itu kembali.Aku kesalAku galauAku kacauAku cemburu karena kamuAku cintaTapi gengsiAku rinduIngin bertemu sama kamuCinta yang membuatku beginiCinta yang buatku lupa diriKau dimana kau beradaSaat aku membutuhkan dirimuKamu acuhkan dirikuBibirku bergerak ke atas dan ke bawah tanpa sadar, mengikuti lirik yang diucap Syahrini, musik membawaku ke dalam alunan melodi , Dua bola mataku menatap Syahrini dengan berbinar, rasanya sep
POV ZuanDear Hanum, Maafkan aku, Sayang. Aku tak segera menyusulmu ke surga, menempatkan anak kita dalam pangkuanku, dan kita hidup kekal di dalamnya. Aku belum bisa –Jari jemariku terhenti, surat yang ku tulis untuk Hanum kembali terpotong sepeti biasanya. Ya, beberapa hari ini suratku tak pernah selesai, padahal sudah lebih dari dua tahun ini aku selalu menyelesaikan surat cinta untuk kekasihku Hanum, sekedar menyapa sebelum aku terlelap dengan mimpi.“Om, Zi lapar.” Wajah polos dengan ekspresi kelaparan itu selalu saja mengisi memoriku, Entah mulai kapan ia duduk di dalam syaraf otak dan selalu membayangiku.Aku membuka kembali layar laptop di depanku, barang peninggalan Hanum satu-satunya, hadiah ulang tahunku kala itu.“Happy Birthday, Sayang.” Wanita cantik berhati emas itu membangunkanku di tengah malam, tepat pukul 00 dini hari, dalam temaram lilin yang ia tancapkan di kue brownis itu, aku mengucap doa untuk selalu bersama, kupejamkan mata dan membayangkan wajah Hanum yang