Uhuk ...Om Zuan terbatuk ketika meneguk minuman dingin berkuah santan itu.“Kamu kenapa, Om? Makanya kalau mau makan atau minum baca doa dulu, supaya setan tidak melintas dan bikin tersedak seperti sekarang.”“Setannya itu kamu, Zi. Yang bikin aku tersedak.”“Hus, gak boleh lo Om menyamakan manusia dengan setan, derajatnya berbeda di depan Allah meskipun sama-sama makhluknya. Setan tak pernah mau menurut perintah Allah, berbeda sekali dengan Zi, Om?”“Sudah ceramahnya? Bu ustadzah laper dan haus kan? Sana habiskan dulu.”Aku menatap berbagai macam makanan di depanku. Ayam goreng sambal lalapan, oseng teri, cah kangkung, orek telur. Benar-benar membuat nafsu makanku bertambah.“Ayo, Om kita makan dulu.”“Habiskan saja, Zi. Menu makan siang ku hanya sup ayam jahe.”Aku menatap lelaki di depanku, yang kini mencoba meraih cendol dari gelasnya. Ia sama sekali tak tertarik dengan makanan yang menggoyang lidah di depannya. Bahkan kini kurasakan lidahku ingin menari untuk segera menyantapnya
Cup !!!Lelaki itu membentuk jari jemarinya berbentuk bibir dan di kecupkan di dahiku.“Zi, sudah kubilang kan jangan pakai perasaan kepadaku!”“Siapa yang pakai perasaan, Om? Zi ini masih menunggu Om Zuan melepas sabuk pengamannya.”Klik, laki – laki itu kini menjauh dan membuka pintu keluar dari dalam mobilnya. Sedangkan aku membuang nafas kasar, sambil menata detak jantungku yang kini mengalir tak karuan.Aku mengikuti Om Zuan keluar mobil dan mengekorinya tanpa tahu tujuan yang jelas. Memasuki bangunan yang besar, bahkan sangat besar.“Apakah ini yang namanya Mol, Om?” Aku memandang sekitar di mana banyak dagangan mereka pasarkan, barang-barang branded yang hanya pernah ku dengar tanpa sama sekali menyentuhnya.“Om, apa itu merk Chanel yang pernah dipakai Syahrini? “ tanyaku kepada laki-laki di depanku, yang sama sekali tak mengindahkanku walaupun jalanku tertatih. Jari telunjukku mengarah kepada ruangan besar yang berlogo bentuk C yang saling menempel. Beberapa wanita dengan pen
“Maaf ya, Om. Pinjam Zi bentar saja.”Aga menarik lenganku dan membawaku pergi begitu saja. Menaiki ruang berlapis baja dan Aga menekan tombol di dalamnya. Ketakutanku kembali menyeruak, aku benar-benar hendak terjatuh ketika benda ini terasa bergetar.“Kamu tak apa, Zi?” tanya Aga sambil memegang lenganku, memastikan aku baik-baik saja, dan memberikan aku kenyamanan tersendiri.Tak selang lama pintunya pun terbuka, aku bergegas melangkah untuk segera ke luar dari tempat menakutkan itu, jujur lebih baik aku memilih menaiki tangga dari pada memakai lift itu kembali.Aku kesalAku galauAku kacauAku cemburu karena kamuAku cintaTapi gengsiAku rinduIngin bertemu sama kamuCinta yang membuatku beginiCinta yang buatku lupa diriKau dimana kau beradaSaat aku membutuhkan dirimuKamu acuhkan dirikuBibirku bergerak ke atas dan ke bawah tanpa sadar, mengikuti lirik yang diucap Syahrini, musik membawaku ke dalam alunan melodi , Dua bola mataku menatap Syahrini dengan berbinar, rasanya sep
POV ZuanDear Hanum, Maafkan aku, Sayang. Aku tak segera menyusulmu ke surga, menempatkan anak kita dalam pangkuanku, dan kita hidup kekal di dalamnya. Aku belum bisa –Jari jemariku terhenti, surat yang ku tulis untuk Hanum kembali terpotong sepeti biasanya. Ya, beberapa hari ini suratku tak pernah selesai, padahal sudah lebih dari dua tahun ini aku selalu menyelesaikan surat cinta untuk kekasihku Hanum, sekedar menyapa sebelum aku terlelap dengan mimpi.“Om, Zi lapar.” Wajah polos dengan ekspresi kelaparan itu selalu saja mengisi memoriku, Entah mulai kapan ia duduk di dalam syaraf otak dan selalu membayangiku.Aku membuka kembali layar laptop di depanku, barang peninggalan Hanum satu-satunya, hadiah ulang tahunku kala itu.“Happy Birthday, Sayang.” Wanita cantik berhati emas itu membangunkanku di tengah malam, tepat pukul 00 dini hari, dalam temaram lilin yang ia tancapkan di kue brownis itu, aku mengucap doa untuk selalu bersama, kupejamkan mata dan membayangkan wajah Hanum yang
“Bapak mau apa?” tanyaku khawatir ketika ia memintaku turun dan menarikku ke semak-semak.“Sudahlah, Ning. Nurut saja!”“Gak mau, Pak! Zi gak mau ikut bapak. Tubuh Zi akan gatal-gatal kalau melewati ilalang yang meninggi itu,” ucapku sambil menatap semak dalam kegelapan.“Justru bagus, Ning. Kalau gatal nanti bapak garukkan!”Aku terkejut ketika lelaki itu menarik dan menggendong tubuhku, dibawanya aku ke dalam ilalang yang meninggi tanpa tahu arah ia membawaku. Aku begitu takut, beberapa kali ku sebut nama Om Zuan namun ia tak pernah datang.“Lepaskan pakaianmu, Ning! Kita akan bercinta di bawah temaram cahaya rembulan.”“Tidak, Pak. Sadar, Pak. Ini itu dosa.”“Ya sudah kalau dengan cara lembut kamu tak mau, biar dengan caraku saja.”Sekuat tenaga ia menarikku, merengkuh dalam pelukannya, dan berusaha melepas pakaian yang ku kenakan. “Lepas, Pak. Jangan lepas pakaiannya Zi!” ucapku sambil mencoba melepas genggamannya yang kuat.Aku mendorong tubuh paruh baya itu.Sreekk ...Pakaian
“Zi mana punya uang, Om! Kalau punya gak mungkin Zi kelaparan kayak tadi,” ucapku setengah berbisik di dekat telinga Om Zuan.“Apa bisa bayar pakai kartu ini?” tanya Om Zuan sambil mengambil kartu berwarna biru yang bertuliskan salah satu bank swasta.“Maaf, Pak. Ini rumah makan kecil, hanya menerima uang cash.”Wajah Om Zuan terlihat semakin panik, dirogohnya saku celana dan mengambil ponsel miliknya.Tit ... Tit ...Layar yang disentuh Om Zuan kembali padam.“Hah, sial. Kenapa saat seperti ini harus mati?” ucap Om Zuan di depan ponselnya. Sungguh aneh lelaki itu, berbicara dengan benda mati.“Pak, apa boleh saya bayar pakai jam saya? Atau saya tinggalin identitas saya. Besok saya bayar lunas uangnya,” ucap Om Zuan sambil menunjukkan jam mewah yang melingkari lengannya.“Maaf, Pak. Hanya menerima uang cash. Besok saya juga sudah tidak jualan, karena mau pulang kampung. Jadi identitas bapak bakal tertahan lama sama saya.”“Hah.” Om Zuan mengacak rambutnya frustasi.“Kalau bapak gak p
Om Zuan kini menatap spedometer mobilnya. “Sial. Kenapa harus kehabisan bahan bakar?” tanya lelaki itu sambil mengacak rambutnya.“Ya Allah, Om! Cobaan apalagi ini? Apa om Zuan sudah bangkrut dan tak kuat beli bahan bakar? Zi tak apa kalau melepas kuliah Zi. Di sana memang biayanya mahal, Om! Zi minta maaf, bahkan untuk beli bahan bakar maupun beli makanan om tak sanggup.”“Diam kamu, Zi!”“Tapi Zi merasa bersalah, Om! Semua gara-gara, Zi! Om –““Hentikan. Atau kamu ku tinggal di sini sendirian.”“Bagaimana Om Zuan ninggalin, Zi! Om saja tak punya uang.”“Hah, Sial!”Kami ke luar dari mobil. Berharap ada kendaraan yang melewati jalan ini untuk kami tumpangi. Tapi lagi-lagi apes masih menyelimuti. Jalan sepi, tak ada siapapun yang lewat selain angin sepoi yang terus menyapa. Aku melirik jarum jam yang melingkar di lengan Om Zuan, waktu telah menunjukkan pukul 3 dini hari. Pantas saja aku terus saja menguap. Kantukku benar-benar tak tertahan.“Om. Apa gak sebaiknya kita istirahat di si
Fokus mata Om Zuan kini menjelajahi tubuhku.“Kamu tak ingin aku ke neraka, Zi?” tanya lelaki itu yang menatapku tajam. Pandangannya kini menerobos ke indraku, seakan mencari tahu ke dalamannya di sana.“Iya, Om!”“Kenapa?”“Karena Om Zuan adalah suamiku. Aku tak ingin imamku ke neraka.”“Jika aku ke surga apa kamu tak keberatan. Hanum telah menungguku di sana, tak mungkin juga aku mengabaikannya.”Lelaki itu tersenyum penuh arti. Yang aku sendiri tak mampu memahaminya. Aku terhenyak. Jujur sakit mendengarnya. Namun bagaimanapun aku tak boleh terbawa alur perasaan kepadanya. Sesuai kesepakatan awal tak ada cinta di dalam rumah tangga ini.“Aku tak keberatan. Bagiku kebahagiaan Om Zuan sudah cukup untukku.”Aku menahan sesak dalam hatiku, Zi yang terlihat ceria dan selalu baik-baik saja, ternyata turut merasakan sakit ketika hatinya tergores.“Baiklah, aku tak ingin terseret ke neraka. Ingat, aku berangkat kerja bukan karena kamu, melainkan karena Hanum telah menungguku.”Aku menganggu