“Boleh tidak Zi minta dibeliin minum. Zi haus.” Aku menunjuk salah bangunan tak berukuran besar yang di hampiri beberapa pengunjung. Banyak di antara mereka yang ke luar dengan membawa teh berbentuk gelas. Beberapa di antaranya, terlihat duduk dengan beberapa cemilan di depannya. “Atau, kalau Om capek. Biar Zi saja yang beli,” imbuhku lagi. “Ya sudah kita ke sana bersama.”Dengan jarak sepuluh meter itu, akhirnya kita sampai juga di tempatnya. Aku memesan teh dingin sedangkan Om Zuan memesan air mineral saja. Tidak lupa beberapa cemilan yang akan menjadi pengganjal perutku untuk kembali mengelilingi tempat ini. “Ini Mbak minuman dan cemilannya.”Wanita petugas itu memberikan menu yang kita pesan di atas nampan.“Ambil, Zi. Kenapa dibiarkan saja,” ucap Om Zuan sambil memberikan beberapa lembar uang untuk membayarnya.“Tapi, Om. Ini ....”Aku melirik ke arah tanganku yang masih di genggam erat, seketika ia melepasnya. Dan petugas wanita itu tampak menahan senyumnya.Kami duduk saling
Aku menengok ke sumber suara ketika nama lelaki di depanku disebut. Wanita berparas ayu dengan memakai celana jeans dan kaos ketat itu menghampiri kami. Wajahnya cantik dengan warna lipstik yang menyala. Ia memeluk Om Zuan begitu saja. Siapa dia, Om? Kenapa hati Zi sakit.“Kamu?” ucap wanita itu sambil menatap ke arahku.“Tolong bawakan tasku ini dong. Berat.” Ia melepas tas punggung yang dikenakannya.“Eh dengar gak sih kamu?” Aku masih melongo menatapnya, berparas cantik dengan mata sipit dan bibir tipis, khas wanita-wanita Korea. Tapi kenapa unggah ungguhnya sama sekali tak punya.“Jaga sikapmu, Re.”“Zuan, kenapa kamu masih sama? Di luar dingin di dalam hangat.” Ia tersenyum manja.Apa maksud omongan wanita itu? Di dalam hangat. Itu artinya?“Eh, ini cepat ambil. Bawakan tasku!” Wanita tak punya sopan santun itu meneriakiku. Dengan sigap aku menerima tasnya dan melemparnya ke tong sampah yang tak jauh dariku. “Kamu?” Dua bola mata wanita itu melotot kepadaku. Tamparan hampir
Aku mendelik ke arahnya. Kepada lelaki yang telah membuatku berbunga -bunga setiap hari tapi juga selalu membuatku sebal setiap bersamanya. “Hm.”“Tuh kan cuek lagi.”“Aku harus jawab apa, Zi? Kamu sendiri kan yang meminta untuk menghabiskan waktu bersama kita hanya dalam sebulan. Tidak, ini masih bersisa dua Minggu saja.”“Om Zuan!”“Apalagi? Jangan membuatku kesal dengan menciummu seperti tadi pagi.” Aku kembali mendelik ke arahnya. Mengingat kejadian tempo hari yang membuatku malu. Terlebih lagi saat seseorang memergoki mobil yang kita tumpangi bergoyang. “Jangan!” Aku menjerit sekenanya sambil menutup mata.“Kamu kenapa, Zi.” Om Zuan yang terkaget mendengar jeritanku kini menatapku penuh khawatir, manik mata coklat dengan rahang simetris itu benar-benar ketakutan terjadi sesuatu kepadaku.Tit ....Klakson terdengar begitu keras, serta cahaya yang lampu yang memasuki kornea mataku begitu menyilaukan. Hingga akhirnya pandangan mata ini menjadi kabur dan gelap. Aku mencoba memb
Aku mencoba bangkit dari keterpurukan, sebisa mungkin aku harus sehat. Aku butuh jawaban dan penjelasan atas semua yang aku dengar.“Ren,” ucapku lirih sambil menatapnya.Lagi-lagi kulihat matanya mengembun. Sepersekian detik air mata hendak menetes, sebelum ia menyekanya.Sungguh sesak, membayangkan saja teramat menyakitkan. Bukankah dia baru bilang juga mencintaiku? Lalu kenapa semua harus berakhir seperti ini? “Nona Zi yang sabar ya. Saya yakin Nona kuat.”Dukungan itu ia tujukan kepada hatiku yang rapuh, bagai ranting kering yang terinjak dan terhempas oleh angin. Menyakitkan. Semua terasa berat untuk aku jalani.“Om Zuan, Ren?”Rendra memberikanku ponsel miliknya, berita kecelakaan itu terekspose media. Di mana Om Zuan banting setir dan menabrak pohon besar, Om Zuan masih sempat sadar, berbeda sekali denganku. Ia terlihat berusaha menarikku keluar dari mobil, dan berteriak meminta bantuan. Wajah paniknya saat memelukku terlihat begitu jelas. Namun naas, umur memang tak pernah ad
Air mata ini terus luruh, meskipun aku menyekanya, setiap kejadian demi kejadian dengan Om Zuan seakan terus berjalan di memoriku, bahkan tak memberiku sedikit saja waktu, sekedar beristirahat melupakan tentangnya. Lelaki yang telihat dingin, namun begitu hangat, lelaki yang terlihat cuek, tapi terus saja perhatian. Lelaki yang penuh kasih sayang dengan caranya sendiri. Jari jemariku terus menyusuri ponsel Om Zuan, selama ini aku tak pernah mengotak ngatik handphonenya, meskipun barang pribadinya ini tanpa sandi. Lagi-lagi sudut mataku kembali mengembun, ketika membaca draft dari ponsel yang saat ini kupegang. Pesan-pesan untuk kontak bernama Zi , yang tak pernah terkirim.[ Zi, kenapa kamu menciumku hanya tiap aku tertidur? Apakah aku harus selamnya jadi pangeran tidur untuk terus mendapatkan itu semua darimu?] Aku sedikit melengkungkan bibir, meskipun hatiku masih terasa begitu sakit. Om Zuan mengetahui semuanya? Dan dia melakukan hal biasa, seperti tak terjadi apa-apa?[ Zi, ken
Mentari yang terang, kini berubah menjadi gelap, apalagi mendung terus menyelimuti langit yang seakan mengetahui bagaimana hatiku saat ini. Tak ada cahaya dari bintang maupun bulan, yang ada hanya kegelapan dan kebisuan. Aku menatap meja kerja Om Zuan, tempat di mana aku selalu memandangnya sebelum tidur, berjibaku dengan tulisan dan laporan. “Om Zuan,” ucapku lirih ketika mendapatinya duduk di tempat yang sama. Beberapa detik kemudian Ia kembali berlalu begitu saja. Aku benar-benar menggila olehnya, lelaki yang mampu membuat hariku berwarna setiap harinya. “Om Zuan.” Aku kembali menatap lelaki itu yang kini terbaring di ranjang, bersebelahan denganku. Tangannya diangkat ke atas seperti biasa dan meninggalkan parfum khas dirinya. “Zi.”Suara panggilan itu membuat tubuh Om Zuan kembali menghilang, Wanita bergamis panjang dengan jilbab menjuntai telah berdiri di ambang pintu. “Maaf, Mama mengganggu istirahatmu. Bolehkan malam ini Mama bermalam denganmu?”Aku mengangguk, dan mempe
“Tentu, Nona Zi.”“Tolong nanti sepulang kuliah, antar Zi ke panti. Bunga pasti telah menunggu, pasalnya kami telah berjanji untuk mengadopsinya.”Meskipun Om Zuan sudah tak ada, aku ingin sekali tetap bersama gadis kecil itu. Semoga Ibu panti mengijinkan aku mengadopsi Bunga dialah yang akan selalu mengingatkan tentang Om Zuan. “Baik, Nona Zi.”**“Zi, baru lihat kamu. “ Aga mengekoriku setelah memasuki gerbang universitas. “Ada yang Rindu, nich.”Tama yang mengekori kami, tersenyum senang. “Om Zuan baru saja meninggal, Ga!” ucapku sembari duduk di salah satu bangku kelas, mataku yang kosong menatap papan putih yang tergantung di dinding dekat dosen.“Tukang ojek?”“Jangan pernah hina Om Zuan, Ga.”Sontak aku berucap dengan nada tinggi, ketika mendengar lelakiku itu dihina.“Ma-maaf, Zi. Saya kira aku bisa menghiburmu.”Aga menampakkan wajah menyesal, dan itu membuatku tak tega dan merasa bersalah. Tama yang duduk di sebelahnya mengedipkan mata, seakan memberi isyarat untuk memin
“Rendra.”Aku meneriaki lelaki itu sebelum berlalu. Ia menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap ke arahku.“Untuk apa kamu ke sini? Ada keperluan apa?”“Nona Zi. Bukankah hari ini Nona ada kelas pagi?” Lelaki itu kini berbalik tanya ke arahku, yang justru membuatku gemetaran.“Zi .. Zi ... Zi dikeluarkan dari kelas,” ucapku malu. ‘Ah, itu tidak penting. Bukankah di sini aku yang menjadi bosnya? ‘“Kenapa pertanyaanku tidak dijawab, Ren?”Lelaki itu tampak gugup, ia merapikan jas yang dikenakannya. “Saya menyampaikan amanat dari Tuan Zuan, Nona. Memberikan bantuan kepada yayasan.”“Tuan Zuan?”“Iya. Sebenarnya amanat ini sudah di sampaikan beberapa Minggu yang lalu, tapi belum sempat. Maafkan saya Nona Zi!” Aku mengangguk mengerti, dan mempersilahkan ia pergi. Aku yang tadinya memiliki.segudang harapan dengan kehidupan Om Zuan, kini kembali menelan pil kekecewaan. Kenapa kamu pergi, Om? Aku kembali ke ruang kelas, pintunya masih tertutup rapi, dengan suara dosen wanita yang m