"Pak Bastian, Awaaass!!" teriak Pak Nurhadi, dalam waktu beberapa detik, tubuh Bastian sudah terpental didorong Pak Nurhadi.
Sebuah Crane yang membawa balok Besi, tiba-tiba muatannya terlepas tepat di atas Bastian, Pak Nurhadi yang tanpa sengaja melihatnya segera mendorong tubuh Bastian, namun karena ukuran Balok besi itu yang panjang walau tidak terlalu besar tetapi karena terbuat dari logam besi, maka bisa berakibat fatal. Balok besi itu tetap menimpa Bastian, bagian kakinya bahkan terjepit timpahan balok.
Sementara Pak Nurhadi sendiri tubuhnya bahkan tertimpa sepenuhnya. Kecelakaan itu tepat ketika para pekerja kembali ke lokasi setelah istirahat makan siang, sehingga para pekerja beramai-ramai membantu mereka. Darah segar mengalir dari pelipis Pak Nurhadi, sementara Bastian kakinya cidera berat. Kedua orang tersebut tidak sadarkan diri, hingga sebuah Ambulance membawa mereka ke Rumah Sakit terdekat. Kabar kecelakaan itu menyebar dengan cepat di kantor pusat bahkan
Sementara itu, seorang wanita muda yang berwajah cantik dan manis, wajah perempuan itu nampak begitu polos, senyumnyapun begitu manis. Tutur katanya di depan khalayak sangat manis dan membius, terkesan dia wanita baik, ramah bak ibu peri. Siapa yang menyangka jika di balik wajah polos yang rupawan itu tersimpan kelakuan bejatnya, dialah Susanti Mahira.Di hadapan Santi kini duduk sepasang suami istri, Gunadi Winata dan Helena. Dengan susah payah, akhirnya Santi menemukan rumah mewah Fauzan. Santi sangat gembira, dia begitu bersemangat ketika mendengar bahwa Fauzan adalah seorang Direktur utama di sebuah perusahaan, kini melihat kondisi rumahnya itu membuat Santi bertambah-tambah amunisi untuk menggaet Fauzan."Tante ... Om ... saya ini ibu kandung anak yang itu," kata Santi.'Ya Ampun ... aku lupa menanyakan nama anak itu pada Rahma,' batinnya, tanpa disadarinya tangannya menutup mulutnya."Kalau kau ibu kandungnya, kenapa anakmu dirawat perempu
Romi gelisah ketika bertakziah ke pemakaman Pak Nurhadi. Pikirannya kalut memikirkan Bastian, kenapa anak itu blusukan ke lokasi pembangunan segala. Apakah kecelakaan itu benar-benar murni kecelakaan atau ada unsur kesengajaan?'Ah, aku harus menyelidikinya.' Batinnya.Pak Sagala meminta maaf pada keluarga Pak Nurhadi secara resmi, dia memberikan santunan dari perusahaan yang tidak sedikit, anak-anak Pak Nurhadi yang berjumlah tiga orang, Lukman masih SMA kelas tiga, dan kedua adiknya di beri beasiswa hingga tamat perguruan tinggi. Keluarga Pak Nurhadi berterima kasih pada Pak Sagala, dia tidak menuntut perusahaan, jika kepala keluarga mereka yang hanya seorang sekretaris, kenapa berada di lokasi pembangunan. Mereka pasrah dan ikhlas menghadapi semua itu, mereka juga ikut berduka karena Presdir perusahaan tempat bernaung ayah mereka ikut menjadi korban.Sepulang dari pemakaman, Romi didampingi beberapa karyawan dan Security perusahaan meninjau lokasi kecel
Sepulang pengajian, hari sudah sore. Segera Rahma mandi membersihkan diri, perutnya lapar tapi dia tidak berselera makan. Akhirnya dia hanya mengambil biskuit di toples untuk camilan. Tak lupa membuat secangkir teh. Sambil rebahan di ruang tengah yang dialasi kasur lantai, dia memakan biskuit itu. Entah kenapa seharian dia tidak bersemangat, ikut pengajian Fitri tadi cukup membuatnya melupakan semua masalah, tetapi jika sedang sendirian seperti ini, perasaan galau mulai merasukinya. Diraih ponselnya di atas nakas, masih dimatikan. Segera diaktifkan ponselnya itu, iseng-iseng melihat pesan yang masuk, tidak ada satupun dari Bastian, dilihatnya panggilan tak terjawab, juga tidak ada nama lelaki itu tertera di sana. Dipandanginya nomor ponsel lelaki itu yang pernah dia blokir, iseng-iseng di tekan memanggil, mata Rahma sukses membulat ketika mendengar nada panggilan di ponselnya tersambung, dadanya berdegup kencang. Sampai panggilan itu
'Oh ... orang tua Fauzan? Mau apa ke sini? Mungkin dulu aku pernah ketemu dengan mereka waktu masih kuliah, tapi kapan?' Rahma masih bengong dengan pikirannya sendiri."Boleh kami masuk?" tanya wanita paruh baya di hadapannya.Penampilannya sungguh elegan, memakai gaun selutut dan perhiasan emas putih dengan liontin berlian berbentuk hati yang berkilau, rambutnya disanggul dengan sasak bunga-bunga."Silahkan Tante ...," kata Rahma canggung, dia segera berlalu ke dapur menyiapkan dua cangkir teh."Silahkan diminum tehnya." Rahma menghidangkan teh di atas meja kemudian duduk di hadapan mereka."Mana anak yang bernama Alif sekarang?" tanya Helena to the point"Alif? Dia masuk asrama tahfidz, Tante.""Asrama apa?" Wanita itu mengernyit, sepertinya tidak paham dengan perkataaan Rahma."Asrama khusus penghapal Alquran," kata Rahma menjelaskan."Loh,
"Hei Pelakor, tidak perlu kau cari muka menunggui anakku!" Teriak Virda.Ketika sampai rumah sakit, dilihatnya Asti tengah menunggu Bastian di depan Ruang ICU.Bella yang melihat kejadian itu terkejut, dia benar-benar tidak tahu jika Asti bukan ibu kandung Presdir. Dia tidak menyangka wanita yang begitu lembut dan santun itu ternyata seorang perusak rumah tangga Bos besarnya.Ditelisiknya penampilan wanita yang baru saja berteriak, dia benar-benar cantik seperti super model, walau usianya sudah tua, namun wanita itu tampak masih awet muda. 'Ah, padahal istri pertamanya lebih cantik ke mana-mana, kenapa Pak Sagala menikah lagi? Pasti perempuan itu yang menggodanya,' Batin Bella Ardina tersenyum sinis ke arah Bunda Asti."Virda! Apa-apaan sih, kamu? Ini rumah sakit, jangan bikin keributan, kasihan Bastian," kata Bunda Asti dengan tenang, dia sudah biasa diperlakukan tidak baik oleh Virda, jadi dia selalu menganggap angin lalu perkataan wanita itu. Hal itulah yang justru membuat Virda s
Romi melangkahkan kaki ke kantor pusat, sebenarnya dia malas menjejakkan kaki di kantor ini, kantor perusahaan yang sudah dirintis Papa tirinya, membuatnya tidak nyaman. Romi lebih suka bekerja di perusahaan yang dirintisnya bersama Bastian, walaupun perusahaan itu masih kecil, penghasilannya juga belum besar, namun merintis sendiri usaha itu rasanya beda, ada kepuasan tersendiri. Diapun bekerja sesuka hatinya mengeluarkan ide dan gagasan, dia memikirkan resiko, jika dia bangkrut dia hanya bertanggung jawab pada dirinya sendiri, tapi di sini? Tanggung jawab itu pada orang banyak, terutama para pemegang saham.Akan tetapi dia tidak bisa mengabaikan permintaan Papa Sagala, walaupun hanya Papa tiri, namun Romi cukup hormat dan menyayangi laki-laki itu."Kalau bukan kau yang menggantikan Bastian, siapa lagi? Tolong Papa, Rom. Gantikan sementara tempat Bastian hingga dia siuman, hingga dia sembuh.""Tapi, Pap. Romi rasanya tidak mampu memikul tanggung jaw
Setelah rapat dengan staf perencanaan, Romi segera mempelajari berkas-berkas sebelum menandatangani. Hari pertama bekerja menggantikan Bastian, punggungnya sudah pegal. Dilihat jam di tangannya sudah jam setengah dua siang. Dari pagi dia sama sekali belum istirahat.Segera dia hentikan pekerjaannya dan melangkah menuju musola, setelah salat zuhur, dia segera menemukan seorang OB untuk membelikan makan siang. Dengan gontai dia kembali ke ruangannya untuk melanjutkan pekerjaannya."Lihat gak Presdir gadungan salat?" Terdengar sebuah suara yang berasal dari ruang fotocopy. Romi segera berhenti, didengarkan pembicaraan tiga orang karyawan, satu pria dan dua wanita di ruangan itu."Percuma salat kalau hatinya busuk.""Ah, palingan salatnya untuk pencitraan.""Anak pelakor ya nurun kayak emaknya. Emaknya gerebut laki orang, dia ngerebut jabatan sama harta saudara tiri."Me
"Papa, maafkan aku. Sepertinya aku tidak bisa menggantikan Bastian, aku orang yang terlalu lemah. Aku tidak mampu duduk di pucak pimpinan walau hanya sehari, aku hanya bisa menjadi seorang asisten. Maafkan aku, Pa," kata Romi ketika pulang kerja, dia langsung menemui Pak Sagala."Kamu kenapa, Rom? Kamu tidak mau membantu sahabatmu?" tanya Bunda Asti, dia kesal melihat putranya seperti itu."Bukan lantaran itu, di kantor aku sudah difitnah, ada yang menyebar rumor kalau aku yang mencelakai Bastian dan ingin merebut kedudukannya. Aku lelah bukan lantaran pekerjaan, tapi emosiku benar-benar tidak bisa terkontrol menghadapi situasi seperti itu," kata Romi, biarlah orang tuanya tahu, dia akan mengadu pada siapa kalau bukan orang tuanya."Benarkah? Siapa yang berani meniupkan rumor seperti itu? Ya, sudah. Kau urus proyek kita yang tertunda di Manado saja, biar Papa yang mengambil pucuk pimpinan," kata Pak Sagala meradang."Tapi Pap, Papa belum sembuh betul, ber