Menimbang-nimbang, apakah sepadan jika aku hancurkan usahaku untuk melupakannya hanya karena satu kata itu?Apa semua akan baik-baik aja kalau aku memberi respon? Selama ini...Aku sudah cukup sabar.Aku mengalah, bahkan ketika Yogi membuatku berada di urutan terakhir dari kepentingannya, aku terima. Semua maaf yang gak pernah aku terima tapi tetap aku maafkan. Saat aku butuh pembelaannya, butuh kata-kata menenangkan darinya, dan yang aku hadapi hanya kesendirian.Berusaha keras agar tidak menjadi beban di tengah beban perkerjaanya hingga aku lupa kalau aku juga manusia, aku punya perasaan. Rasanya sudah cukup sih, aku diperlakukan seperti itu. Aku gak peduli apa yang dia dengar tentangku, dan darimana dia dapat nomor ponsel baruku ini.Alih-alih menjawab Yogi, aku menghubungi Jessica dengan tenang, seolah hatiku tidak baru saja jatuh karena menerima pesan dari mantan suamiku itu.“...Tenang aja, gue gak bilang lo hamil kok.”Seenggaknya, dia hubungin aku bukan karena tau aku hamil.H
Aku terdiam dari seguk tangis.Membiarkan Yogi berjalan dengan gontai dari depan pintuku hingga suara langkahnya menghilang.Mencera kalimatnya yang membuaiku hingga membuka pintu meski terlambat. Yogi sudah gak disana lagi, meninggalkan aku yang bercucur air mata menatap lorong kosong itu.Aku duduk di bangku yang tadi ia duduk, membayangkan posisinya yang duduk disana berjam-jam menungguku membuka pintu. Menangisi ketulusannya yang terasa begitu dekat tapi begitu jauh.Aku tahu aku gak seharusnya berkejar dengan waktu. Prinsipku selalu goyah ketika semua sudah terlambat.Tapi di lain sisi, aku bersyukur karena Yogi sudah pergi sebelum aku membuka pintu dengan penuh air mata dan memeluknya. Membayangkan hal itu saja aku malu, menyedihkan sekali.Biarkan saja aku menangis duduk disini merenungi kepergiannya.Kalau bisa aku tidur saja di bangku yang tadi diduduki Yogi, aku gak mau pindah.Aku gak akan-"Dira."Yogi memanggilku di ujung lorong, memegang sebuah plastik bening yang ku yak
Seberapa inginpun aku ingin mendengar jawabannya, aku tahu aku gak akan sanggup.Hingga aku melanjutkan kalimatku sebelum Yogi dapat menjawab."Harusnya aku sadar, kalau kamu gak pernah cinta sama aku. Mungkin kamu pernah suka, atau tertarik sama aku. Mungkin beberapa sikap aku cocok untuk kamu yang gak mau direpotkan orang, tapi kamu gak pernah yakin kalau aku adalah orang yang akan kamu cintai sampai tua.Mau seberapa keras aku berusaha untuk bikin kamu yakin pun gak ada guna, karna sebenarnya itu bukan tugas aku untuk yakinin kamu tentang perasaan kamu sendiri.Harusnya sebelum menikah sama aku, kamu harus udah yakin kalau aku adalah wanita yang gampang kamu cintai, yang kesalahannya akan kamu maafkan setelah dengar penjelasan dari aku, dan bukan yang kamu tunggu-tunggu untuk membuat kesalahan supaya bisa langsung kamu ceraikan."You never love me from the first place and I wish I was aware from the beginning.""Dira..."Aku cuma menyunggingkan senyum mengabaikan muka ku yang basah
Aku baru selesai cuci piring pas gabung sama mas Yogi di ruang TV.Duduknya santai banget, sebelah tangan megang gelas wine, sebelah lago memegang remot TV. Nonton pembukaan world-cup.Aku gak ngerti bola tapi mencoba untuk ikut nonton juga supaya bisa menghabiskan waktu dengan suamiku yang jarang berada dirumah ini.Kami adalah pengantin baru yang gak keliatan penganting barunya sama sekali.Baru saja duduk, mas Yogi ngeliat dari ujung matanya kalau aku lagi memutar gelas wine sambil mendengus.“Kok kamu minum?”Aku menoleh, tidak jadi menyesap minumanku padalah gelasnya sudah menempel diujung bibir.“Emangnya kenapa, Mas?”Dia diam tanpa menjawab.Tapi karena dia sudah bertanya aku jadi penasaran dengan apa yang ada dalam pikirannya.Aku sejujurnya sangat segan dengan Mas Yogi.Kami baru menikah dua minggu dan ibunya adalah salah satu pelanggan VIP di bank tempatku berkerja. Selama dua minggu menikah aku kayak merasa lagi kerja lembur dengan bos besarku.“…Aku kira mas nyuruh buka b
"Sini. Aku cuma suruh kamu duduk disini bukan suruh kamu telanjangin diri depan aku." ucap Yogi sekali lagi.Gak tau kenapa aku takut banget kalau sampai ngelakuin sesuatu yang sekiranya bisa bikin Yogi marah.Kayak takut banget, padahal dia gak pernah nunjukin marahnya sih. Belum....Akhirnya dengan ragu-ragu, aku pindah duduk, dari yang tadinya di sofa yang berbeda, jadi satu sofa walau masih berjauhan."Deketan lagi, jarak kita masih 3 meter." Gila ya, jarak aja dia bisa tau dengan detail loh. Aku bedain kanan kiri aja susah!"H-huh, iya-iya."Aku gak tau kenapa tapi Yogi kayaknya terlalu banyak minum wine, sampai dia cium aku, passionate banget. Tangannya di atas paha aku dan sebelah lagi dia buat untuk rangkul aku dari belakang.Nafasku tersengal dan Yogi cuma ngomong dengan muka datar, "Udah kerasa kan, wine-nya? Mulai besok jangan minum alkohol apapun lagi."Dia cium aku cuma untuk nyicipin wine yang dia minum, langsung dari bibirnya??Sebenernya ga susah sih nyesuain diri sama
Kalo biasanya aku terlalu formal dan sopan, entah kenapa malem ini aku melihat senyum Yogi tuh beda. Kayak senyum tipis yang flirty gitu. Kalau masalah flirting, aku jagonya. Menyamakan mimik tubuh dengan Yogi yang santai tapi terkesan tertarik, aku sedikit bersandar dikonter meja dapur sembari melintir rambut tipis-tipis."Coba Mas tebak.""Hmm apa yaa, merah?"Aku naikin alis denger tebakannya yang jauh dari kata benar."Kok merah?" Yogi naikin kedua bahunya cuek, "Karena daleman kamu banyak warna merah."Oke. Aku gak jadi flirting kalo dia bawa-bawa urusan ranjang. Males."Yaudah-yaudah, apa jadinya? Orang nanya malah disuruh nebak." Bujuk Yogi yang langsung sadar kalau aku merajuk.Kesel aja karena dia emang gak tau apa-apa tentang aku selain masalah seks. Kalau urusan itu kayaknya emang dia paling tau, dia pawangnya.Kenapa ya, orang yang kalau dikantor keliatan serius dan passionate akan kerjanya, ada sisi berbeda yang nakal banget kalau digali?Apa ini bagian dari stress reliev
Stop. Aku harus stop karena emosi yang daritadi aku simpan sekarang sudah melegak sepenuhnya.Tantangan Yogi untuk ribut gak seharusnya aku ladenin karena pasti berujung panjang. Aku gak mau bertengkar cuma karena hal kecil. Lebih-lebih kami berada di teras rumah sekarang.Menarik nafas dalam-dalam, aku telan lagi seluruh kekesalan pagi itu dan mencoba tenang menjawab pertanyaannya."Itu Joon, kalo gak salah namanya itu. Kita cuma pernah papasan beberapa kali pas aku jalan kedepan kompleks. Kita gak pernah ngobrol.”"Nah itu bisa jawab yang bener. Jawab pertanyaan simple aja susah." Gila. Ini orang nyebelin banget.Ada beberapa kemungkinan dia marah. Yang pertama mungkin karena aku jawab pertanyaan dia gak becus, yang kedua karena dia belum percaya kalau aku bisa jaga nama baik dia, yang ketiga agak konyol sih kalau dipikirin, tapi bisa aja Yogi insecure.Ego laki-laki itu tinggi.Dan bisa aja Yogi merasa kalah saing dengan tubuh atletis tetangga kami, karena serutin-rutinnya dia olah
"Kamu mau kabur pun percuma, gak akan aku biarin kamu lepas tangan dari semuanya. You stay here with me, do what i told you to do."Udah pikiran ku bercabang, Yogi juga gak bantuin aku ngarang cerita, eh, dia malah ninggalin aku di Villa sama keluarganya untuk pergi sama papanya mancing seharian.Aku bingung karena cuma di briefing dikit banget tentang kabar 'kehamilan' ini. Cuma bisa senyum canggung pas diajak saudara ipar ku berkumpul di teras villa sambil minum teh.Beberapa candaan jorok mereka membuat mukaku merah sampai telinga!"Hebat juga ya Yogi, baru beberapa bulan udah langsung gol aja. Kirain bakal nunda dulu loh!" ucap kak Shinta yang memang belum memiliki kehendak untuk hamil, begitupun suaminya.Mereka seperti masih pacaran dan mungkin heran kenapa kami terlihat terburu-buru.Dipikir-pikir, iya juga sih.Kalaupun aku hamil beneran, kayaknya emang terlalu cepat. Aku gak ngerti sama permintaan Yogi dan untungnya berani nekat ngambil langkah untuk menunda hal itu secara se