BAB 129 “Iya, ini aku, Yu. Dan ini suamiku,” sahut Citra lalu menoleh pada Dokter Ardian. “Ayo masuk dulu, Mbak. Kita ngobrol di dalam,” ucap Ayu seraya menarik tangan Citra. Citra dan Dokter Ardian pun masuk ke dalam rumah Ayu. “Bentar, ya. Aku buatkan minum,” ucap Ayu setelah Citra dan Dokter Ardian duduk di kursi ruang tamu. Citra menahan Ayu agar tidak pergi dengan menarik tangannya. “Nggak usah repot-repot, Yu. Aku ke sini mau ajak kamu tinggal di rumah Ibuk. Ibuk kan habis jatuh dan sakit. Aku mau minta tolong, kamu jaga Ibuk, ya. Nanti aku kasih uang jajan deh,” ujar Citra. “Loh, Bu De sakit? Kok nggak ada yang kasih tahu Ayu,” sahut Ayu terkejut. “Sekarang sudah mendingan kok, Yu. Makanya Aku mau minta tolong kamu jagain Ibuk karena aku mau pulang ke kota,” balas Citra. “Siap, Mbak!” sahut Ayu dengan antusias. “Segera kemasi pakaian kamu. Mbak tunggu di sini,” ujar Citra dengan tidak sabar. “Mbak Citra pulang saja dulu. Nanti Ayu ke sana bawa motor,” balas Ayu. “Ya s
BAB 131 “Untuk kali ini, kamu tenang saja. Aku janji akan membantu persalinan kamu dengan tanganku sendiri. Bahkan bila perlu, kalau kamu mau SC juga nggak apa-apa. Aku akan temani kamu. Aku sudah nggak mau menikah lagi, Cit. Apalagi tanpa … cinta,” imbuh Dokter Ardian. Mendengar kata-kata menikah tanpa cinta, Citra pun kini terdiam. Jari-jarinya mengepal kuat pada tempat duduknya dan bibirnya pun semakin mengerucut ke depan. Hanya mendengkus yang bisa ia lakukan saat ini. Ia memalingkan muka ke arah lain, melihat lampu warna warni yang menyala di area pasar malam. “Jangan salah paham dulu. Menikah tanpa cinta bukan berarti aku tidak mencintai kamu loh, Cit. Aku tidak tahu ini perasaan apa. Yang jelas aku senang kamu di dekatku dan menjadi pasangan hidupku sekarang,” imbuh Dokter Ardian ketika melihat Citra memasang muka masam. “Hmm,” balas Citra singkat. Namun, ia tetap enggan menatap Dokter Ardian. Dokter Ardian menghela napas panjang dan dalam lalu mengembuskan-nya dengan pelan
BAB 133 “Nggak usah,” cegah Dokter Ardian sembari menarik tangan Citra hingga Citra terduduk di atas pangkuannya. Kemudian ia mengunci Citra dengan melingkarkan tangan kirinya di pinggang sang istri. “Buat apa pakai sendok dua kalau makanannya cuma satu,” bisik Dokter Ardian di telinga Citra. Citra merasakan udara hangat yang keluar dari bibir Dokter Ardian menyapu permukaan daun telinganya, dan itu membuatnya geli. Ia pun menggelinjang di atas pangkuan Dokter Ardian. “Jangan bergerak. Nanti ada yang bangun,” bisik Dokter Ardian lagi, menggoda di telinga Citra. Seketika wajah Citra pun terasa memanas saat mendengarnya. Ia memang merasakan ada sesuatu yang mendadak keras di bawah bokong-nya. Wajahnya pun tiba-tiba bersemu merah karena malu sendiri. Ia ingin bangkit dan duduk sendiri di kursi lain, tapi Dokter Ardian menahannya dengan memperkuat tangannya yang melingkar di pinggang Citra. “Mas, aku mau duduk sendiri,” pinta Citra dengan tetap berusaha berdiri dari pangkuan Dokter A
BAB 135 Setelah pertempuran sengit di atas ranjang tadi, kini mereka tidur dengan pulas setelah membersihkan diri. Kenapa dibilang sengit? Karena kali ini Dokter Ardian lebih agresif dari sebelumnya. Entah apa yang membuatnya seperti itu. Yang jelas, ia sangat berhati-hati agar tidak menyebut nama Nadia lagi. Namun, sayangnya di tengah tidur nyenyak-nya, Dokter Ardian mengigau dengan lirih, tapi jelas. “Sayang … jangan pergi! Kembalilah …,” lirih Dokter Ardian dengan tetap memejamkan matanya. Citra yang tidur di sampingnya tentu saja bisa mendengar itu karena kebetulan bibir Dokter Ardian berada di samping telinga Citra. Perlahan, Citra pun membuka matanya dan menoleh ke arah Dokter Ardian. Ia mengerutkan keningnya saat mendengar Dokter Ardian menyebut ‘Sayang’ dengan mata terpejam. ‘Sayang? Yang jelas itu bukan aku. Dia tidak pernah sekalipun memanggil-ku ‘Sayang’. Selalu saja begitu. Bercinta-nya denganku, tapi menyebut nama orang lain,’ gumam Citra dalam hati. Namun, kali ini i
BAB 137 Tampaklah nama “Mama” tertera pada layar ponsel Dokter Ardian. Dokter Ardian pun menatap Citra yang duduk di sampingnya. “Angkat!” ujar Dokter Ardian seraya memberikan ponsel-nya pada Citra. Citra mengerutkan keningnya seraya menerima ponsel Dokter Ardian tanpa tahu siapa yang menelepon. Ketika ia melihat nama di layar ponsel, matanya pun tiba-tiba membelalak. “Aku takut, Mas,” ucap Citra ragu-ragu untuk menerima telepon dari Mama mertuanya. “Udah angkat aja. Aku kan lagi nyetir,” sahut Dokter Ardian beralasan. Citra pun menghela napas panjang terlebih dahulu setelah itu ia menggeser tombol hijau pada layar benda pipi itu dengan bibir cemberut. “Assalamu’alaikum, Ma …,” sapa Citra dengan sopan. “Loh, Ardian mana?” tanya Bu Indah heran ketika mendengar suara Citra bukannya Dokter Ardian. “Lagi nyetir, Ma,” jawab Citra. “Kapan kalian jemput Nizam? Ini sudah satu minggu loh. Bukannya Mama nggak mau jaga, tapi tingkahnya itu loh masya Allah … bikin pinggang Mama nyeri,” g
BAB 139 “Denger-denger, Dokter Ardian sedang dekat sama Dokter Herlina. Banyak yang lihat kalau Dokter Herlina hampir setiap hari membuatkan bekal makan siang untuk Dokter Ardian. Ternyata Dokter Ardian orangnya gampang move on ya? Padahal istrinya belum ada satu tahun kan meninggalnya? Sekitar sembilan bulan kalau nggak salah? Anaknya belum campak kan? Uuuuh … kalau sampai Dokter Ardian dan Dokter Herlina menikah, pasti pesta pernikahannya sangat meriah dan mewah. Aku mau datang dengan pakaian terbaik-ku biar bisa dapat gebetan di sana. Kamu juga harus datang, Cit. Kita cari jodoh sama-sama,” cerocos Dewi sembari melipat pakaiannya yang sudah kering tanpa melihat ekspresi wajah Citra yang pias menatapnya. Citra mendengarkan pemaparan Dewi dengan tangan mengepal kuat. “Eh, ngomong-ngomong tumben kamu bisa keluar? anaknya Dokter Ardian siapa yang jaga, Cit?” tanya Dewi seraya menatap Citra. “Eh, oh, anu … sedang di rumah neneknya,” jawab Citra gugup. Tadinya ia mau memberitahu Dewi
BAB 141 Dewi menganggukkan kepalanya dengan tersenyum. Citra menghela napas dan mendengkus pelan. Kemudian Dewi menarik tangan Citra untuk masuk ke dalam toko itu. Di dalam toko, Dewi melihat-lihat celana dalam yang menurutnya lucu dan sexy. Namun, ketika ia akan mengambilnya, niat itu ia urungkan setelah melihat harganya. “Kenapa, Wik? Kok nggak jadi diambil?” tanya Citra. “Hehe. Harganya fantastis. Padahal cuma celana dalam doang loh,” balas Dewi seraya berbisik mendekat ke telinga Citra. Citra mengambil celana dalam itu untuk melihat harganya. Ia pun membelalakkan matanya saat melihat harga lima puluh lima ribu untuk satu potong celana dalam. “Kamu mau beli, Cit?” tanya Dewi. Citra menanggapinya dengan gelengan kepala. Buat apa beli celana dalam mahal-mahal, toh pakainya juga di dalam celana, pikir Citra. “Keluar yuk! Ikut aku ke baby shop,” ajak Citra seraya menarik tangan Dewi keluar dari toko underwear. “Mau beli apaan?” tanya Dewi dengan tetap mengikuti langkah kaki Cit
BAB 143 Setelah mengempengi Nizam, Citra mengajak Nizam pulang karena hari sudah sore. Bu Indah pun mengizinkan dan memesankan taksi online. Sementara itu di rumah sakit, Dokter Ardian tidak segera pulang setelah pekerjaannya selesai. Ia menunggu waktu yang tepat sebelum berangkat ke pasar malam. Ia sangat ingin memastikan kalau wanita yang dilihatnya kemarin Nadia atau bukan. Dokter Herlina sudah berada di parkiran rumah sakit. Ketika melihat mobil Dokter Ardian masih ada, ia pun mengurungkan niatnya untuk pulang. Ia kembali ke poli tepatnya poli kandungan. Sesampainya di depan pintu poli kandungan, ia mengetuk pintu terlebih dahulu. “Iya, masuk!” sahut Dokter Ardian karena tidak tahu siapa yang mengetuk pintu. “Dokter belum pulang? Kenapa?” tanya Dokter Herlina seraya berjalan masuk lalu menutup pintu itu kembali. Beberapa orang yang melihatnya mulai membicarakan mereka. “Lihat deh, itu Dokter Herlina ngapain masuk ke ruang poli kandungan sore-sore? Bukannya jam praktek sudah