BAB 141 Dewi menganggukkan kepalanya dengan tersenyum. Citra menghela napas dan mendengkus pelan. Kemudian Dewi menarik tangan Citra untuk masuk ke dalam toko itu. Di dalam toko, Dewi melihat-lihat celana dalam yang menurutnya lucu dan sexy. Namun, ketika ia akan mengambilnya, niat itu ia urungkan setelah melihat harganya. “Kenapa, Wik? Kok nggak jadi diambil?” tanya Citra. “Hehe. Harganya fantastis. Padahal cuma celana dalam doang loh,” balas Dewi seraya berbisik mendekat ke telinga Citra. Citra mengambil celana dalam itu untuk melihat harganya. Ia pun membelalakkan matanya saat melihat harga lima puluh lima ribu untuk satu potong celana dalam. “Kamu mau beli, Cit?” tanya Dewi. Citra menanggapinya dengan gelengan kepala. Buat apa beli celana dalam mahal-mahal, toh pakainya juga di dalam celana, pikir Citra. “Keluar yuk! Ikut aku ke baby shop,” ajak Citra seraya menarik tangan Dewi keluar dari toko underwear. “Mau beli apaan?” tanya Dewi dengan tetap mengikuti langkah kaki Cit
BAB 143 Setelah mengempengi Nizam, Citra mengajak Nizam pulang karena hari sudah sore. Bu Indah pun mengizinkan dan memesankan taksi online. Sementara itu di rumah sakit, Dokter Ardian tidak segera pulang setelah pekerjaannya selesai. Ia menunggu waktu yang tepat sebelum berangkat ke pasar malam. Ia sangat ingin memastikan kalau wanita yang dilihatnya kemarin Nadia atau bukan. Dokter Herlina sudah berada di parkiran rumah sakit. Ketika melihat mobil Dokter Ardian masih ada, ia pun mengurungkan niatnya untuk pulang. Ia kembali ke poli tepatnya poli kandungan. Sesampainya di depan pintu poli kandungan, ia mengetuk pintu terlebih dahulu. “Iya, masuk!” sahut Dokter Ardian karena tidak tahu siapa yang mengetuk pintu. “Dokter belum pulang? Kenapa?” tanya Dokter Herlina seraya berjalan masuk lalu menutup pintu itu kembali. Beberapa orang yang melihatnya mulai membicarakan mereka. “Lihat deh, itu Dokter Herlina ngapain masuk ke ruang poli kandungan sore-sore? Bukannya jam praktek sudah
BAB 145 “Nggak apa-apa, Mas. Kamu lapar banget ya?” sahut Citra. “Iya,” jawab Dokter Ardian singkat lalu melanjutkan makannya. Setelah itu suasana hening kembali. Tidak ada percakapan di antara mereka. Usai menghabiskan makanannya dan minum air putih, Dokter Ardian menatap Citra yang masih setia menemaninya di meja makan. “Kamu nggak tanya?” tanya Dokter Ardian. “Tanya apa, Mas?” tanya Citra balik. “Kenapa aku pulang terlambat, misalnya,” balas Dokter Ardian. “Aku mengantuk, Mas. Aku mau ke atas dulu. Selamat malam,” pamit Citra menghindari Dokter Ardian. ‘Lebih baik aku nggak tahu apa-apa, Mas. Terserah kamu mau melakukan apa. Aku nggak mau tahu, aku nggak perduli, dan aku nggak mau dikasih tahu. Kalau pun kamu mau berkencan dengan Dokter Herlina, silakan! Aku bertahan karena Nizam dan karena rasa terima kasihku padamu lantaran membayar hutang Ibuku. Abaikan aku. Jauhi aku. Jangan membuatku jatuh cinta kepada-mu, Mas,’ gumam Citra dalam hati dengan berjalan menapaki anak tang
BAB 147 Saat Bidan itu membuka pintu ruang poli kandungan, Dokter Ardian sedang menunduk menatap layar ponsel-nya. Ia mengirim pesan pada Citra kalau akan pulang terlambat karena ada SC cito. “Permisi, Dok,” ucap Bidan itu seraya masuk ke dalam ruang poli kandungan. Dokter Ardian pun segera mengangkat pandangannya untuk menatap Bidan itu. Betapa terkejut-nya ia saat melihat wajah Bidan tersebut. “Nadia,” gumam Dokter Ardian pelan. “Apa, Dok?” sahut Bidan itu karena tidak mendengar suara Dokter Ardian dengan jelas. “Silakan duduk,” ujar Dokter Ardian mempersilakan Bidan itu duduk di hadapannya. Ia menatap wajah Bidan itu dengan sangat lekat. Bidan itu menjadi malu karena Dokter Ardian memandangi-nya terus. Kemudian ia menyerahkan surat rujukan dan partograf di atas meja Dokter Ardian. “Ini, Dok, laporan kemajuan persalinannya,” ucap Bidan itu. Dokter Ardian menerima lalu membacanya. “Nama Anda Lidia Rahayu?” tanya Dokter Ardian setelah membaca surat rujukan Bidan tersebut. “Iy
BAB 149 Sesampainya di lantai dua, Dokter Ardian mengajak Citra masuk ke dalam kamarnya dan menutup serta mengunci pintu kamarnya. “Kenapa dikunci pintunya, Mas? Nizam kan di kamar sebelah,” tanya Citra heran saat melihat Dokter Ardian mengunci pintu. “Menurut-mu?” tanya Dokter Ardian balik sambil mulai melepas kancing atas kemeja-nya. “Mas, kamu mau apa? Kemarin kan sudah?” tanya Citra dengan jantung bertalu-talu. Ia sedang malas dan tidak ingin bercinta sekarang. “Aku gerah habis makan. Lagi pula aku harus ganti baju karena baju ini kotor habis dari rumah sakit,” sahut Dokter Ardian dengan menahan senyum. Bisa-bisanya Citra berpikiran mesum, pikir Dokter Ardian. Citra jadi malu sendiri dibuatnya. “Sekarang katakan, apa salahku sampai-sampai membuat kamu seperti ini padaku? Kalau kamu tidak bicara, aku juga nggak tahu salahku di mana? Aku juga nggak bisa memperbaikinya mulai dari mana, Cit,” tuntut Dokter Ardian seraya melepaskan celananya. Ia menunggu jawaban dari Citra sambil
BAB 151 “Cit, kalau aku ada hubungan spesial sama Dokter Herlina, mungkin sekarang aku sudah menikah dengannya. Di rumah sakit banyak kok dokter single yang bisa aku ajak menikah kapan saja, tapi kan aku milih-nya kamu. Udah ya, jangan marah-marah lagi. Kalau ada yang mengganjal di hati, langsung bicarakan sama aku. Jangan dipendam sendiri terus tiba-tiba ngambek dan marah nggak jelas,” ujar Dokter Ardian mengakhiri diskusinya seraya memegang kedua pipi Citra dengan kedua telapak tangannya. “Iya, Mas,” balas Citra menganggukkan kepalanya dan tersenyum. “Ada lagi?” tanya Dokter Ardian barangkali Citra masih memiliki uneg-uneg yang belum tersampaikan. “Nggak ada,” jawab Citra dengan menggelengkan kepalanya. “Ya sudah, temani Nizam sana. Nanti dia nangis, bangun-bangun nggak lihat kamu di kamar,” ujar Dokter Ardian seraya memberikan kunci kamar yang ia cabut tadi pada Citra. Citra mengangguk lalu tersenyum dan menerima kunci itu. Setelah Citra keluar dari kamar, Dokter Ardian memba
BAB 153 “Lah … justru bagus kan, Mas? Masih saudara pula. Biar dia bisa dekat lagi dengan keponakannya,” sahut Citra di sela makannya. Dokter Ardian mendesah pelan. “Dia genit. Suka cari perhatian dan tebar pesona sama cewek. Sampai sekarang dia belum menikah. Nggak tahu apa masalahnya, padahal dia ganteng,” paparnya. Citra tersenyum tipis. “Waaaah ganteng! Aku mau ke Dokter Daniel aja ya, Mas!” seru Citra sambil melihat ekspresi muka Dokter Ardian. “Ciiitraaaa!” Dokter Ardian menyebut nama Citra dengan penuh penekanan dan mata melotot. “Bercanda, Mas … jangan marah,” balas Citra dengan tersenyum simpul dan menatap Dokter Ardian. Dokter Ardian menatap jam di pergelangan tangannya. Kemudian ia bangkit dengan menyambar tas yang ada di atas kursi sampingnya. “Aku memanasi mobil dulu ya!” pamit Dokter Ardian. Tadinya ia bangun pagi karena hendak ke rumah sakit lebih pagi dari biasanya agar bisa bertemu dengan Bidan Lidia. Ia ingin memastikan sekali lagi kalau dia bukan Nadia. Dengan
BAB 155Citra membalasnya dengan tersenyum. Usai itu ia keluar dari ruang poli anak setelah semuanya selesai. Ketika pintu poli anak sudah ditutup Febri dari dalam, Citra merasa merinding dan bulu kuduknya berdiri. Ia celingak celinguk untuk melihat sekitarnya. Untungnya sudah mulai ada beberapa pasien yang datang. Ia menghela napas lega.Sambil berjalan, Citra mengirim pesan pada Dokter Ardian untuk memberitahukan kalau ia pulang duluan. Namun, tiba-tiba ia menabrak seseorang karena terlalu fokus pada ponsel-nya. Ia pun menatap orang yang ada di hadapannya dan lagi-lagi ia terkejut.“Maaf, maaf, maaf!” seru Citra seraya berlari meninggalkan Bidan Lidia, orang yang ditabrak-nya. Citra benar-benar ketakutan karena mengira Bidan Lidia adalah hantu Nadia.“Nizam … sepertinya Mama kandung kamu rindu kamu, Sayang …,” ucap Citra dengan berjalan cepat keluar dari rumah sakit. Tubuhnya menggigil dan suaranya gemetar.Sesampainya di depan rumah sakit, dengan segera ia masuk ke dalam salah satu