BAB 147 Saat Bidan itu membuka pintu ruang poli kandungan, Dokter Ardian sedang menunduk menatap layar ponsel-nya. Ia mengirim pesan pada Citra kalau akan pulang terlambat karena ada SC cito. “Permisi, Dok,” ucap Bidan itu seraya masuk ke dalam ruang poli kandungan. Dokter Ardian pun segera mengangkat pandangannya untuk menatap Bidan itu. Betapa terkejut-nya ia saat melihat wajah Bidan tersebut. “Nadia,” gumam Dokter Ardian pelan. “Apa, Dok?” sahut Bidan itu karena tidak mendengar suara Dokter Ardian dengan jelas. “Silakan duduk,” ujar Dokter Ardian mempersilakan Bidan itu duduk di hadapannya. Ia menatap wajah Bidan itu dengan sangat lekat. Bidan itu menjadi malu karena Dokter Ardian memandangi-nya terus. Kemudian ia menyerahkan surat rujukan dan partograf di atas meja Dokter Ardian. “Ini, Dok, laporan kemajuan persalinannya,” ucap Bidan itu. Dokter Ardian menerima lalu membacanya. “Nama Anda Lidia Rahayu?” tanya Dokter Ardian setelah membaca surat rujukan Bidan tersebut. “Iy
BAB 149 Sesampainya di lantai dua, Dokter Ardian mengajak Citra masuk ke dalam kamarnya dan menutup serta mengunci pintu kamarnya. “Kenapa dikunci pintunya, Mas? Nizam kan di kamar sebelah,” tanya Citra heran saat melihat Dokter Ardian mengunci pintu. “Menurut-mu?” tanya Dokter Ardian balik sambil mulai melepas kancing atas kemeja-nya. “Mas, kamu mau apa? Kemarin kan sudah?” tanya Citra dengan jantung bertalu-talu. Ia sedang malas dan tidak ingin bercinta sekarang. “Aku gerah habis makan. Lagi pula aku harus ganti baju karena baju ini kotor habis dari rumah sakit,” sahut Dokter Ardian dengan menahan senyum. Bisa-bisanya Citra berpikiran mesum, pikir Dokter Ardian. Citra jadi malu sendiri dibuatnya. “Sekarang katakan, apa salahku sampai-sampai membuat kamu seperti ini padaku? Kalau kamu tidak bicara, aku juga nggak tahu salahku di mana? Aku juga nggak bisa memperbaikinya mulai dari mana, Cit,” tuntut Dokter Ardian seraya melepaskan celananya. Ia menunggu jawaban dari Citra sambil
BAB 151 “Cit, kalau aku ada hubungan spesial sama Dokter Herlina, mungkin sekarang aku sudah menikah dengannya. Di rumah sakit banyak kok dokter single yang bisa aku ajak menikah kapan saja, tapi kan aku milih-nya kamu. Udah ya, jangan marah-marah lagi. Kalau ada yang mengganjal di hati, langsung bicarakan sama aku. Jangan dipendam sendiri terus tiba-tiba ngambek dan marah nggak jelas,” ujar Dokter Ardian mengakhiri diskusinya seraya memegang kedua pipi Citra dengan kedua telapak tangannya. “Iya, Mas,” balas Citra menganggukkan kepalanya dan tersenyum. “Ada lagi?” tanya Dokter Ardian barangkali Citra masih memiliki uneg-uneg yang belum tersampaikan. “Nggak ada,” jawab Citra dengan menggelengkan kepalanya. “Ya sudah, temani Nizam sana. Nanti dia nangis, bangun-bangun nggak lihat kamu di kamar,” ujar Dokter Ardian seraya memberikan kunci kamar yang ia cabut tadi pada Citra. Citra mengangguk lalu tersenyum dan menerima kunci itu. Setelah Citra keluar dari kamar, Dokter Ardian memba
BAB 153 “Lah … justru bagus kan, Mas? Masih saudara pula. Biar dia bisa dekat lagi dengan keponakannya,” sahut Citra di sela makannya. Dokter Ardian mendesah pelan. “Dia genit. Suka cari perhatian dan tebar pesona sama cewek. Sampai sekarang dia belum menikah. Nggak tahu apa masalahnya, padahal dia ganteng,” paparnya. Citra tersenyum tipis. “Waaaah ganteng! Aku mau ke Dokter Daniel aja ya, Mas!” seru Citra sambil melihat ekspresi muka Dokter Ardian. “Ciiitraaaa!” Dokter Ardian menyebut nama Citra dengan penuh penekanan dan mata melotot. “Bercanda, Mas … jangan marah,” balas Citra dengan tersenyum simpul dan menatap Dokter Ardian. Dokter Ardian menatap jam di pergelangan tangannya. Kemudian ia bangkit dengan menyambar tas yang ada di atas kursi sampingnya. “Aku memanasi mobil dulu ya!” pamit Dokter Ardian. Tadinya ia bangun pagi karena hendak ke rumah sakit lebih pagi dari biasanya agar bisa bertemu dengan Bidan Lidia. Ia ingin memastikan sekali lagi kalau dia bukan Nadia. Dengan
BAB 155Citra membalasnya dengan tersenyum. Usai itu ia keluar dari ruang poli anak setelah semuanya selesai. Ketika pintu poli anak sudah ditutup Febri dari dalam, Citra merasa merinding dan bulu kuduknya berdiri. Ia celingak celinguk untuk melihat sekitarnya. Untungnya sudah mulai ada beberapa pasien yang datang. Ia menghela napas lega.Sambil berjalan, Citra mengirim pesan pada Dokter Ardian untuk memberitahukan kalau ia pulang duluan. Namun, tiba-tiba ia menabrak seseorang karena terlalu fokus pada ponsel-nya. Ia pun menatap orang yang ada di hadapannya dan lagi-lagi ia terkejut.“Maaf, maaf, maaf!” seru Citra seraya berlari meninggalkan Bidan Lidia, orang yang ditabrak-nya. Citra benar-benar ketakutan karena mengira Bidan Lidia adalah hantu Nadia.“Nizam … sepertinya Mama kandung kamu rindu kamu, Sayang …,” ucap Citra dengan berjalan cepat keluar dari rumah sakit. Tubuhnya menggigil dan suaranya gemetar.Sesampainya di depan rumah sakit, dengan segera ia masuk ke dalam salah satu
BAB 157“Bagaimana bisa Anda bicara seperti itu? Bagaimana pun, Nizam cucu Anda. Dan Anda maupun Pak Agus tidak pernah menjenguk-nya lagi,” ujar Dokter Ardian. Ia tidak habis pikir kalau keluarga ini sudah melupakan Nizam.“Hahaha. Cucu? Dia bukan cucu kandung-ku. Asal kamu tahu ya, Ardian, Nadia itu bukan Anakku, tapi anak Pak Agus. Aku menikah dengan Pak Agus ketika Nadia masih bayi. Aku merebut Pak Agus dari istrinya saat Nadia dan kembaran-nya masih bayi berusia sepuluh bulan. Kalau Nizam anak Widia, mungkin aku masih perduli. Karena Widia anak kandung-ku. Karena Nizam anak Nadia, aku tidak mengakuinya sebagai cucu-ku. Pergilah! Aku sibuk!” usir Bu Ratih lalu melenggang pergi meninggalkan Dokter Ardian.Dokter Ardian menggemeretakkan giginya. Kemudian ia menghela napas panjang dan mengembuskan-nya dengan kasar lalu masuk ke dalam mobilnya. Setelah itu ia melajukan mobilnya meninggalkan rumah Pak Agus dengan sangat kencang. Ia tidak menyangka kalau Bu Ratih akan tega berkata sepert
BAB 159“Ooooh mau tanya itu?” sahut Dokter Ardian dengan tersenyum. Kemudian ia melepaskan tangan Citra dan mengambil tas yang ada di atas kursi sampingnya.“Aku jawab nanti malam, ya,” imbuh Dokter Ardian dengan mengedipkan sebelah matanya pada Citra. Setelah itu ia mencium kening Citra dan berlalu pergi.“Mas! Kenapa nggak sekarang aja jawabnya?” seru Citra seraya mengejar Dokter Ardian yang berjalan menuju garasi mobil.“Sudah siang. Nanti aku telat. Aku pergi dulu ya. Assalamu’alaikum,” pamit Dokter Ardian lalu masuk ke dalam mobil.Citra menyaksikan mobil Dokter Ardian keluar dari pagar rumah dengan bibir cemberut. Dokter Ardian menyaksikan itu dari kaca spion yang ada di hadapannya dengan tersenyum puas.“Tunggu nanti malam, Cit. Semoga sore ini nggak ada SC.” Dokter Ardian bergumam.Citra masuk ke dalam rumah setelah menutup pintu pagar. Seperti biasa ia akan menemani Nizam bermain sampai lelah dan mengantuk.Setelah Nizam tidur, Citra tidak merasa mengantuk. Ia masih penasara
BAB 161Sesampainya Dokter Ardian di rumah, ia melihat Citra duduk di kursi teras rumah sambil mengajak Nizam berbicara. Ia pun tersenyum senang melihatnya. Pemandangan itu membuat hatinya berbunga-bunga.Ketika melihat mobil Dokter Ardian datang, tiba-tiba bibir Citra mengatup. Senyum di bibirnya pun memudar. Dengan segera ia berdiri dan menggendong Nizam masuk ke dalam rumah.Dokter Ardian merasa heran. Kenapa Citra tidak menyambutnya, tapi malah mengabaikan dan meninggalkannya.“Cit!” panggil Dokter Ardian seraya mengejar Citra. Ia berjalan cepat setelah turun dari mobil.Citra pun semakin mempercepat langkah kakinya saat mendengar suara Dokter Ardian semakin dekat. Ia menaiki anak tangga menuju kamarnya dengan tergesa-gesa. Namun, sayangnya ia kurang hati-hati sehingga tubuhnya oleng dan terjatuh ke belakang. Untungnya Dokter Ardian berada di belakangnya. Dengan sigap, Dokter Ardian melepas tas yang ada di tangannya untuk memegangi tubuh Citra. Tas Dokter Ardian pun jatuh menuruni