Diaz sudah meletakkan foto Irene di tempat yang lebih tersembunyi agar tidak diambil Mila lagi. Dengan kejamnya Mila mau membuang satu-satunya foto Irene agar bisa Diaz kenang.
Malam pukul 8, mereka berada di kamar melakukan kegiatan masing-masing. Mila mengangkat satu kakinya ke atas kursi seperti di warteg. Di mulutnya ada es bungkus yang ia beli di warung untuk camilan saat mengetik cerita.
Diaz sedang duduk di sofa tunggal, di tangannya terdapat sebuah novel untuk referensi membaca. Pria yang memakai setelan piyama kotak-kotak warna biru dengan garis tipis putih sedang melihat Mila cukup lama untuk mengerti perasaan yang mungkin tidak dia ketahui. Apakah mungkin Mila cemburu?
Kepalanya menggeleng cepat. Tidak mungkin Mila cemburu hanya karena foto. Diaz sudah menganalisis kepribadian istrinya dari pertama bertemu. Mila tidak mudah goyah, kecuali menyangkut Revan. "Dia gak mungkin cemburu... " lirihnya menyangkal.
Mila melihat p
Mila hendak menutup pintu kamar melihat Diaz gantian duduk menonton anime. "Mukanya kayak anime ngapain liat anime?" batin Mila memadankan wajah Diaz dengan anime yang tengah dia tonton. Ia menatap lega situasi menegangkan dalam halusinasinya sudah hancur. Mila tidak mau kalau hal tersebut menimpa dirinya. Diambang kecemasan, Mila melanjutkan aktivitas yang terputus. Ia pikir harus ada karakter seperti Diaz yang misterius seperti pembunuh berdarah dingin di novel selanjutnya. Sayang sekali kalau tidak diadaptasi, sedangkan tokoh inspirasi satu atap dengan penulis. Diaz lupa menghubungi Meida karena ponselnya masih dalam mode pengisian daya. Dia naik lagi ke kamar untuk meminta bantuan Mila. "Mila, tolong telepon Mama malam ini pulang gak?" "Gue lagi fokus ... Jangan ganggu." Mila makin cepat mengetik untuk mengalihkan imajinasinya yang mengerikan. "Tolong, pintunya mau ditutup." "Tutup aja. Lo biasa bangun tenga
Diaz memasuki mobil lalu melaju, bukan menuju kantor melainkan tempat lain. Ponselnya berdering walau belum 5 menit dia mengemudi. Sekretasis Diaz yang kerap dipanggil Bayu menghubunginya. Kemungkinan Bayu repot mewakili rapat dengan direktur untuk aliansi. Diaz mengambil AirPods dan memasangnya di dua telinga. "Mereka sudah datang?" "Sudah, Pak. 5 menit lagi saya langsung mengadakan rapat." "Iya. Saya mau ke rumah seseorang, kalau sudah selesai saya kembali ke kantor." "Baik, Pak." Diaz kali ini berharap sekretaris pribadinya dan direktur yang menjalani rapat bisa meyakini perusahaan terkait agar bisa menjalani kerja sama. Waktu itu Diaz menyuruh bagian keamanan untuk membawa pelaku yang sabotasi listrik dan melukai Mila ke Polsek terdekat. Namun setelahnya, Diaz mengajak rundingan dengan pengacara bahwa pelaku tidak perlu mendekam di penjara dikarenakan pasal mengenai merugikan orang lain berupa denda materi
Mila melakukan rutinitasnya sebagai penulis di dalam kamar. Beberapa denting notifikasi pesan masuk dari Diaz ia abaikan karena sebentar lagi mencapai 3000 kata.Mila melirik ke sekian kali dan kebanyakan pesan Diaz seperti pidato, panjang dan lebar. Ia mendesah kesal karena kini ponselnya berdering. Benar, Diaz sepertinya muak pesannya tidak dibalas atau sekadar dibaca. Dengan malas ia menggeser tombol hijau ke kiri dan mengaktifkan loudspeaker agar bisa bicara sambil mengetik."Why?" Mila dapat dengar suara lalu lalang orang bicara di sana."Kamu dikirim pesan kenapa gak balas?" Diaz capai-capai mengetik panjang sampai bawah berkali-kali tapi tidak dibalas. Rasanya sangat kesal, beruntung itu istrinya."Gue lagi ngetik 10 jari, gak mungkin jari kaki gue ikut andil balas pesan dari lo." Mila memang begitu kalau lagi menulis novel. Suaminya sendiri kalau mengganggu akan ia marahi."Luangin waktu sedikit buat balas pesan saya. Gak sampai
Mila mengambil berbagai camilan yang ia inginkan. Dari yang manis sampai pedas, ia ambil semua favoritnya. Rasanya satu troli yang dibawa masih kurang karena sudah penuh.Berbeda jauh dengan Diaz. Dia mengambil barang yang dibutuhkan bersama. Perlengkapan mandi seperti sabun cair, sampo, sikat dan pasta gigi, lilin aroma terapi, dan body lotion. Lalu Diaz pergi ke rak bahan makanan, beberapa daging merah dan sayur-sayuran sudah dia masukkan keranjang. Kemudian Diaz bergerak ke rak makanan dan melihat Mila memilih coklat batang."Mila!" Mereka memang awalnya terpisah untuk belanja barang masing-masing. Namun bertemu Mila bukankah baik bisa langsung ke kasir? Diaz mendekatinya dan melihat ada satu troli penuh di belakang Mila. "itu troli siapa? Kok ditinggal?"Mila yang sedang membungkuk untuk pilih coklat langsung menjawab, "Punya gue."Kedua Diaz menatap dua troli milik Mila bergantian. "Kamu ... Beli semua ini?" Banyak sekali. Apakah se
Mila masih berpikir, apakah benar Diaz memindahkan barang mereka karena merusak pemandangan? Kalau dirinya normal, harusnya tidak. Lagipula mereka duduk menghadap pemandangan di depan, bukan belakang."Lo yakin barang-barang gue aman sampai rumah? Kalau dibawa kabur gimana?" Mila mencoba mengalihkan pembahasan mengapa Diaz memindahkan barang dengan pertanyaan lain."Tenang aja. Saya kan udah kasih alamat ke sopirnya.""Di rumah gak ada siapa-siapa, terus barangnya taruh di depan pintu, gitu?""Vio, gak ada di rumah?" Seingat Diaz hari ini adiknya tidak ada aktivitas karena bekerja dari rumah."Gak. Dia bilang mau makan sama temen di luar, pamit ke gue juga. Bunda sama Tante Mei lagi pergi ke Jember, udah tau belum lo?"Diaz menggeleng. "Oh gitu... "Mila yang keras kepala menyimpulkan Diaz adalah tipe pria yang irit bicara. Mereka memang tidak bisa menjadi suami-istri, namun alangkah baiknya jadi kawan untuk menanamkan chemistry
Setelah mendengar penjelasan dokter, Mila tidak bisa berkata-kata lagi. Dia pasrah. Dokter mengatakan, pergelangan tangan hingga ibu jarinya mengalami cedera sedang dan diharuskan memakai deker agar tidak banyak aktivitas. Jika tangan kiri yang cedera mungkin Mila bisa menerima. Kenyataan buruknya adalah tangan kanan yang cedera dan ia sekarang tidak tahu mau melakukan apa. Bukan hanya itu, Mila diwajibkan mengurangi intensitas menulis novel karena Diaz melaporkan pekerjaannya pada dokter.Setelah keluar dari klinik dengan obat yang harus ia minum selama satu minggu untuk pemulihan sendi.Mila beruntung tidak patah tulang sampai pakai penyangga tangan. Itu lebih sulit beraktivitas. Benar kata Diaz saat di dalam, ia harus bersyukur walaupum hatinya berkecamuk.Setelah masuk mobil Diaz berkata, "Nanti saya tanya Vio. Kamu istirahat di kamar.""Ck, lupain aja masalah tadi. Gue males denger ribut-ribut lagi." Mila tidak mau lagi ada keributan dalam ruma
Menyambut matahari terbit sepertinya sudah lama tidak Mila lakukan. Ia tipe perempuan yang hobi bangun siang dengan pekerjaan yang itu-itu saja ia lakukan.Semalam mereka tidur terpisah seperti biasa. Mila di kasur, sedangkan Diaz di bawah pakai kasur lipat. Mereka saling memunggungi seperti bermusuhan. Tidak ada pembicaraan seperti malam-malam sebelumnya. Keadaan membuat mereka, apalagi Mila, malas membuka mulut.Daripada atmosfer kamar semakin tak terkendali, Mila ingin bangun pagi kali ini digunakan untuk menonton drama dan pemanasan jari tangan. Semalam ia sudah tidak mengetik, tangannya tiba-tiba gatal ingin menyentuh papan ketik.Mila juga pakai headphone supaya tidak mendengar sedikit pun suara dari Diaz. Ia bukan mengabaikan, lebih tepatnya menghindari obrolan. Bisa jadi emosi Mila meledak di hadapan Diaz, itu akan rumit.Diaz sendiri sejak semalam tidak tidur nyenyak. Bayang-bayang ucapan Vio dan Mila sangat mengganggunya. Mila tidak
Sesudah minum segelas air untuk mendorong obat tablet, Mila duduk di kursi kedudukannya sebagai penulis novel. Ingin terima resiko nyeri kembali datang, ia urungkan niat karena takut bukan cedera sendi lagi tapi saraf. Jari-jarinya sangat berharga membuahkan sejumlah uang untuk menghidupi apa pun yang ia inginkan.Mempunyai suami yang belum ia akui cukup menyebalkan karena tidak bisa meminta suatu barang yang cukup menguras kartu ATM. Diaz kaya raya, harusnya tidak pelit membelanjakan uangnya untuk istri sendiri."Ngapain lo liatin gue!" sentak Mila melihat Diaz duduk diam seperti orang bersuluk di atas ranjang sembari menelisiknya.Hanya sentakan seperti itu bukan apa-apa bagi Diaz. Inilah kelebihan yang ada di dalam dirinya, yaitu kesabaran. Hati yang kuat karena selalu beribadah dan berdoa dijauhkan dari segala gangguan terbukti mampu mengatasi Mila.Mila takut Diaz dimasuki semacam roh dari gudang kantor yang berada tidak jauh dari rumah. Lebih parah