"Fadhil, sudah punya calon belum?" Tanya ibuku sembari mendaratkan tubuh di sofa ruang tamu.
Tak ada angin maupun hujan, tiba-tiba ibu datang duduk di sampingku dan langsung mengajukan pertanyaan menohok bagiku.Aku yang tengah membaca buku sontak mendongakkan kepalaku. Terjadilah keheningan beberapa saat di antara kami. Aku hanya terdiam membisu karena bingung harus menjawab seperti apa."Ih, ibu nanya kamu sudah punya calon belum? Malah bengong lagi." Ibuku mempertegas kembali pertanyaannya."Calon istri Bu?" Aku berlagak bodoh, padahal aku tahu ibu memang menginginkan memiliki menantu segera. Ini adalah pertanyaan kesekian kalinya yang ibu ajukan kepadaku selepas aku menyelesaikan studi sarjanaku."Hhhh" terdengar helaan nafas ibu."Iyalah Fadhil. Kamu kan anak sulung ibu. Kamu sudah lulus kuliah, sudah lulus pondok, sekarang kamu sudah mengajar di pesantren juga. Umur kamu juga sudah 25 tahun. Apa kamu tak ada keinginan untuk menikah segera?" Sergah ibu, mungkin dongkol karena aku tak segera memenuhi keinginannya yang menggebu itu.Aku kembali terdiam, menerawang ke arah pintu. Sebenarnya aku sudah memiliki calon istri idamanku. Ia adalah adik tingkatku semasa kuliah dulu. Kami cukup dekat, meskipun masih harus menjaga jarak karena aku harus menjaga image ku yang terkenal sebagai lelaki alim. Meskipun aku merasa diri ini masih terlalu bejat untuk dikatakan sebagai lelaki kalem nan alim.Aku ingin mengatakannya kepada ibu. Tapi sudah pasti akan ibu tolak mentah-mentah. Aku sangat tahu betul kriteria menantu bagi ibu. Ibu sangat menyukai gadis sholihah yang berhijab panjang menjuntai. Tak sampai harus bercadar maupun berniqab, kalau gadis itu penampilannya begitu syar'i, ibu akan begitu menyukainya. Tak hanya dari segi berpenampilan, tapi ibu juga akan melihat dari tutur bicaranya yang lembut nan sopan, tentunya secara akhlak harus memiliki akhlak yang baik.Gadis yang aku sukai itu tak masuk kriteria ibu. Gadis itu berhijab namun tak panjang menjuntai ke seluruh badannya. Cara bicaranya juga ceplas ceplos tapi aku suka. Gadis itu juga masih minim pengetahuan tentang agamanya. Tak hanya itu, aku juga menyukai tubuhnya. Meskipun tertutup aku menerka tubuhnya itu begitu menggoda."Aaarrgghhh. Aku jadi merindukan gadis itu." Jeritku dalam hati."Fadhil! Malah bengong lagi." Suara ibu yang meninggi mengejutkan lamunanku."Bu, Fadhil sudah punya calon." Ucapku dengan tegas dan yakin."Yang bener kamu Dhil? Siapa gadis itu?" Rona bahagia tercetak jelas di wajah ibu.Aku meneguk ludah dengan kasar. Aku sebenarnya belum siap mengatakannya. Tapi kalau terus-terusan didesak seperti ini aku harus mengatakannya. Apapun hasilnya yang penting aku sudah menyampaikannya kepada ibu."Gadis itu..." Ucapanku menggantung. Aku belum sanggup melanjutkannya."Gadis itu adik tingkatku Bu semasa kuliah dulu." Aku menatap raut wajah ibu yang mengerutkan keningnya."Siapa itu Dhil? Ibu kenal?" Tanya ibu."Sepertinya ibu tidak kenal." kataku."Coba mana ibu pengen lihat fotonya, kamu punya nggak?""Ada bu. Sebentar." Aku mengambil ponsel ke kamarku dan segera menghampiri ibu. Aku mencari di galeri ponselku. Kebetulan aku pernah mengambil fotonya diam-diam waktu dia tengah bersantai bersama teman-temannya di gazebo fakultas. Foto paparazi yang aku simpan baik-baik hanya untuk mengingatnya kala aku tengah dilanda rindu.Setelah menemukan apa yang aku cari aku segera menunjukkan foto gadis itu kepada ibu."Ini Bu gadis yang aku maksud."Ibu meraih ponselku. Matanya membelalak mungkin terkejut. Aku mulai khawatir kalau ibu akan menolak gadis pilihanku tanpa melihatnya secara langsung."Aduh Fadhil! Penampilannya aja nggak meyakinkan gini. Ibu maunya gadis sholihah bukan yang seperti ini." Ibu mendecak kesal.Deg!Betul kan, ibu pasti menolaknya langsung. Pupus sudah harapanku. Padahal aku belum pernah jatuh hati kepada seorang gadis. Hanya kepada gadis itu aku merasakan debaran berbeda ketika aku berdekatan dengannya."Tapi Bu, masalah penampilan, aku akan menuntunnya kok Bu nanti. Pelan-pelan aku akan mengajaknya untuk berhijab syar'i sesuai dengan harapan ibu." Aku mencoba merayu ibu dengan harapan ibu mau mewujudkan keinginanku."Sudahlah Fadhil, ibu tak yakin untuk itu. Lagian, ibu sudah punya calon istri untukmu." Ucap ibu begitu santainya.Aku membelalakkan mata. Aku tak menyangka aku harus dijodohkan seperti ini padahal aku sendiri sudah punya calon istri. Meskipun pada kenyataannya aku belum pernah mengungkapkan isi hatiku pada gadis itu."Bu, tapi kan Fadhil sudah memiliki calon istri Bu..gadis ini pilihan Fadhil Bu." Ujarku"Enggak, sudahlah ibu tahu apa yang terbaik buatmu Fadhil. Kita akan kesana untuk melamarnya langsung." Ucap ibu dengan santainya."Apa?" Aku begitu terkejut ibu bahkan ternyata sudah memiliki rencana untuk segera melamar gadis itu. Tapi siapa dia?Aku menetralkan nafas yang sempat tercekat. Dengan helaan nafas pelan aku berusaha bertanya dengan santun kepada ibu yang sudah melahirkanku itu."Dengan siapa ibu akan menjodohkanku?"Ibu mendekatkan diri kepadaku,"Amira.""Amira yang mana Bu?" Begitu banyak nama itu aku tak tahu gadis yang mana yang akan ibu jodohkan untukku."Amira Azizah"Aku menatap intens netra ibu. Nama itu tak asing lagi bagiku. Ada perasaan tak enak bercokol di dalam hati ini. Mungkin pikiranku saja yang terlalu negatif. Aku harus memastikannya kepada ibu."Amira Azizah yang mana Bu?"Keringat dinginku mulai keluar. Aku takut kekhawatiranku berubah jadi kenyataan. Tidak. Aku tak ingin itu terjadi."Sekretarismu dulu waktu kamu menjabat jadi ketua LDK.""Apaaa??????"Aku begitu terkejut mendengar penuturan ibu. Jadi, maksud ibu adalah gadis gendut yang dulu semasa kuliah ia pernah menjadi sekretarisku. Gadis itu memang memiliki kepribadian baik, tutur katanya lembut, dan yang utama adalah ia gadis yang mengenakan hijab panjang menjuntai hingga menutupi tubuh bagian atasnya. Sangat sesuai dengan kriteria yang ibuku inginkan. Tapi tidak dengan bentuk fisiknya yang cukup mengganggu visualku sebagai lelaki. Sungguh, bukan ingin mengolok bentuk ciptaan-Nya. Tapi aku benar-benar tak bisa untuk bersanding dengannya. Bobot tubuhnya yang aku perkirakan lebih dari 80 kilogram dengan tinggi tak cukup mencapai 155 sentimeter jika disandingkan denganku yang bertubuh kurus tapi tinggi. Aku yakin, di pelaminan nanti aku akan jadi bahan olok-olok an. Sungguh, aku belum siap untuk sampai ke tahap itu. Lalu bagaimana nanti aku akan menjalankan malam pertama dengannya. Apa bisa? Apa aku sanggup memberikan nafkah batin kepada gadis gendut itu. Membayangkannya saja aku tak mampu."Ya Allah, apa aku sedang bermimpi?" Gumamku dalam hati.Aku masih melongo, aku masih dalam mode keterkejutan yang sangat tidak kusangka-sangka itu. Aku ingin sekali menolak permintaan ibu untuk menikahi gadis gendut itu. Dia tidak masuk kriteria calon istri bagiku. Hatiku gamang, pasti akan setengah hati ketika harus melakukan pernikahan dengan gadis gendut itu."Ibu nggak mau tahu ya Fadhil, ibu hanya mau kamu menikah dengannya. Titik." Ucap ibu menolak untuk disanggah."Tapi Bu, atas dasar apa ibu memiliki permintaan seperti itu?" Aku masih belum mengiyakan."Atas kebaikan hatinya yang tulus dong. Ibu bisa kok menilainya." Kata ibu sembari bersedekap."Memangnya ibu sudah pernah bertemu dengannya?""Sudah dong. Bahkan ibu berhari-hari tidur di rumahnya. Ibu melihat bagaimana keseharian dia selain kuliah. Bagaimana dia menjamu ibu dengan begitu baiknya. Bagaimana ia memperlakukan ibu dengan baik saat itu. Dan ibu terkesan dengan sikapnya itu." Jelas ibu.Aku mengerutkan dahi tanda aku menyimpan banyak pertanyaan di otakku. Aku menatap ibu mencoba untuk melihat kejujuran di kedua maniknya."Kapan ibu bertemu dengan Amira? Kita berbeda pulau Bu dengannya.""Apa kamu ingat saat kamu mengalami kecelakaan dulu sampai beberapa hari kamu tak sadarkan diri?"Aku mencoba mengingat kejadian lampau itu. Aku memang pernah terserempet mobil kemudian terpental di trotoar jalan sekitar kampus tempatku berkuliah dulu.Aku mengangguk mengiyakan pertanyaan ibu. "Lalu apa Bu hubungannya?""Nah, gadis itu yang menampung ibu selama ibu disana atas perintah Malik, temanmu yang katanya wakil kamu di LDK. Kita tak memiliki sanak saudara di kota itu kan? Tapi gadis itu dengan senang hati membantu semua kebutuhan ibu dan kamu saat itu. Dia yang sibuk kesana kemari mengurus administrasi karena ibu memang tak sanggup jika harus sendirian. Dan ibu terkesan dengan kebaikan hatinya itu." Jelas ibu panjang lebar dengan senyum mengembang di wajahnya.Satu fakta mengejutkan. Aku tak pernah tahu kalau ibu pernah tinggal beberapa hari dengan Amira. Aku memang lupa menanyakan ibu banyak hal selama aku terbaring di rumah sakit dekat kampus kala itu."Tapi kan itu cuma kesan pertama yang ibu lihat karena baru beberapa hari bertemu." Aku masih mencoba untuk kontra dengan ucapan ibu."Justru kesan pertama itulah yang membuat itu sangat yakin dia adalah jodohmu.""Tapi, Bu..." Ucapanku menggantung karena ibu sudah menyahutnya dulu."Dia gendut?" sarkas ibu dengan mata memicing ke arahku.Aku meneguk ludah kasar. Aku tahu pasti ibu akan terus kekeh terhadap permintaannya dan aku tak akan kuasa menolaknya. Memang selama ini aku belum pernah membantah permintaan ibu.Aku mengangguk."Sejak kapan anak ibu menilai seseorang hanya dari fisik saja?" Tatapan tajam ibu berhasil menghunusku.Aku tertegun."Ibu, Fadhil benar-benar tak sanggup Bu jika harus bersanding dengan gadis dengan fisik seperti itu." Aku tertunduk."Benar Fadhil kamu menolaknya dengan alasan ia gendut?"Aku mendongak kemudian mendongakkan kepala sesaat kemudian."Nanti juga kempes sendiri."Aku tertawa dalam hati mendengar perkataan ibu. Kalimatnya terdengar lucu di telingaku. Tetapi karena masih mode serius, aku harus menahannya."Udah ya, ibu tak ingin kamu menolak permintaan ibu. Pikirkan baik-baik ya Fadhil. Kalau kamu masih kekeh untuk menikahi gadis pilihanmu itu, ibu tak akan memberikan restu untuk kalian." Beliau langsung berlalu dari hadapanku.Bagai disambar petir, aku tak bisa hidup tanpa restu ibuku. Tapi kalau aku menikah dengan gadis pilihan ibu, aku tak bisa membayangkannya mungkin saja aku akan jadi ayam geprek tak berbentuk karena tertindih bobot tubuhnya itu.Aku jadi ngilu membayangkan aku terjatuh ketika menggendongnya ala bridal style karena tak kuat menahan beban tubuhnya. Lalu bagaimana caranya aku melakukan hubungan suami istri dengannya. Mungkin aku tak bisa karena tak berselera melihat bentuk fisiknya. Sungguh, berat rasanya bagiku."Ya Allah, apa yang harus aku lakukan?" Aku meraup wajah frustasi.Aku selalu membayangkan menikah dengan Raya. Gadis manis tapi terlihat seksi meskipun ia berpakaian longgar. Namun karena aku dulu pernah tak sengaja melihat jilbabnya tersingkap terkena angin yang menyebabkan bagian dadanya terlihat olehku. Meskipun masih tertutup dengan kemeja yang ia kenakan tapi dari bentuknya saja ukurannya bisa mencapai 40 jika aku perkirakan. Apalagi bagian leher yang sempat kulihat kala itu, kulitnya yang putih bersih dan leher yang terlihat jenjang. Ah, sungguh fantasiku bisa liar hanya karena mengingatnya saja. Sejak saat itulah aku selalu berfantasi membayangkan Raya ada di hari-hariku."Raya, aku ingin memilikimu. Sungguh, aku candu membayangkan tubuhmu saja."Aku memang bejat, tetapi aku selalu berusaha menutupinya dari orang lain. Aku memang pernah menjabat ketua LDK, Lembaga Dakwah Kampus. Aku juga lulusan pesantren. Bahkan aku sekarang sudah menjadi ustadz yang mengajar di pesantren juga. Tapi aku hanya manusia biasa yang punya sisi buruk. Dan sisi burukku itu tak pernah kutunjukkan kepada orang lain. Bahkan kepada keluargaku sendiri. Oleh karena itu, aku tak yakin bisa mencintai Amira dengan tulus. Melihat bentuk tubuhnya saja aku tak berselera.Suara dentingan sendok dan piring beradu memecah keheningan makan malam keluargaku. Kami berlima tengah melakukan makan malam bersama setelah seharian kami tak berkumpul. "Fadhil, gimana? Sudah ada keputusan belum?" Tiba-tiba saja ibu melontarkan pertanyaan itu untukku. Aku menghela nafas kasar. Segitunya ibuku ingin segera aku menikah dengan gadis gendut itu. Aku bahkan tak memikirkannya sama sekali. Di pikiranku hanya ada Raya seorang. "Belum, Bu." Jawabku singkat."Kenapa belum? Sudahlah, kamu nggak usah mikir masalah fisik. Itu semua bisa diubah seiring berjalannya waktu kok." Ucap ibu dengan santainya. Ah, kenapa ibu tak memikirkan hari-hariku yang akan kulewati bersamanya nanti. Ibu hanya mau aku bersanding dengannya saja tanpa memikirkan nasibku kelak. "Iya kan Pak, kita nggak boleh kan memandang segala sesuatu cuma dari fisik yang kelihatan kan?" Ibu berupaya mencari pembelaan dari bapak. "Betul Fadhil. Contohnya ibu kamu. Tuh, dulunya sebelum bapak nikahin, ibu berisi b
Aku duduk termenung di kamar hotel tempatku menginap. Tadi pagi kami sekeluarga sudah sampai di Kota Surabaya. Malam ini aku merasa sangat gusar sekali. Hatiku gamang luar biasa, karena besok pagi aku akan melamar seorang gadis gendut yang tak pernah masuk dalam kriteriaku sama sekali. Segala bentuk persiapan sudah ibu lakukan semaksimal mungkin sebelumnya. Bahkan ibu terlihat sangat antusias melamar menantu idamannya. Bahkan tak segan-segan ibu menyiapkan seserahan lamaran yang banyak sekali. Ibu memesannya beberapa hari yang lalu pada teman ibu di Surabaya yang kebetulan menyediakan jasa hias seserahan, karena tak mungkin juga kami membawa barang banyak ketika di pesawat kalau pesan seserahan di Jambi. Barang seserahan sudah tertata rapi di kamar hotel ini. Beberapa jam yang lalu teman ibu mengirimkannya kesini. Dering ponsel membuyarkan lamunanku. "Rindy? Ngapain malem-malem telpon." "Assalamu'alaikum, Rind. Kenapa?"""Wa'alaikumsalam Masku yang ganteng. Gimana perasaannya n
Kami sudah sampai di kediaman Pak Amir lagi. Memang tak ada dekorasi yang menyambut kedatangan kami. Karena memang ini serba dadakan seperti tahu bulat. Kami hanya ingin melakukan prosesi akad nikah secara sederhana. Orang-orang sudah berbondong-bondong masuk ke dalam rumah Pak Amir. Mereka duduk di karpet yang sudah digelar rapih di ruang tamu yang luas itu. Meja kecil ada di tengah-tengah mereka. Mungkin itu tempatku untuk mengucap ikrar ijab qabul nanti.Perasanku sungguh tak karuan. Karena ini bukanlah pernikahan impianku. Aku hanya ingin menikah dengan Raya tapi justru takdir mengatakan bahwa aku akan menikahi Amira, gadis gendut yang tak pernah kubayangkan sama sekali akan menjadi istriku nanti. "Hei, kenapa kamu melamun?" Tanya ibu.Aku mengerjap. Ternyata sedari tadi aku melamun."Nggak kenapa-kenapa Bu." Ibu mengendikkan bahunya. Huffttt. Ibu, kalau bukan karena permintaan ibu, aku enggan untuk melanjutkan prosesi ini. "Assalamu'alaikum." Sapa seorang pria parubaya."Wa'
Aku belum beranjak dari pintu yang sedari sudah Amira tutup tanpa kusadari karena aku terlalu banyak melamun. "Masa iya aku harus melepas perjakaku malam ini juga?" Batinku sembari menelan ludah kasar. Aku masih terus bergumam dalam hati sampai suara lembut membangunkan ku dari lamunan."Kak Fadhil." serunya."Eh iya Mir." Aku gelagapan. "Mau mandi dulu atau sholat dulu? Tanyanya. "Hah apa katanya? Mandi dulu atau sholat dulu? Maksudnya itu ritual sebelum nganu-nganu?" Gumamku dalam hati. Pikiran jorok itu mulai merasukiku. "Kak...." serunya lagi."Ah iya. Gimana Mir?"Ia tersenyum menampakkan lesung pipinya yang manis. Tuh kan, aku mulai memujinya secara tak langsung. "Kak Fadhil mau mandi dulu atau sholat dulu?" Tanya Amira kembali."Mmm.. mandi dulu aja deh." Tukasku."Baiklah, saya persiapkan dulu baju gantinya. Tapi.." ucapannya menggantung."Kenapa Mir?" Tanyaku. "Saya kan nggak punya baju laki-laki kak. Kalau kakak mau saya pinjamkan baju abang saya dulu gimana?" Aku me
"Ya sudah, kamu duluan tidur saja. Aku mau keluar sebentar cari angin. Aku belum bisa tidur soalnya." Amira mengangguk. Aku segera bangkit untuk menuntaskan hasrat tertunda ini. Aku berencana untuk membaca buku yang sempat kubawa tadi. Semoga saja cara itu berhasil."Awww! Ssshh!" Aku memekik sedikit kencang."Kenapa kak?" Amira dengan cepat turun dari ranjang yang membuat ranjang itu berderit kencang. "Kakiku keseleo nih." Aku mengaduh kesakitan. Aku juga bingung kenapa tiba-tiba saja kakiku malah keseleo."Oh bentar kak. Aku ada minyak urut. Aku ambilkan dulu ya." Sementara aku masih mengaduh kesakitan. "Ssshh!" Desisku tertahan. "Ini kak. Aku urut dulu ya." Amira hendak menyentuh kakiku yang sakit. "Eh, emangnya kamu bisa urut?" Amira mengangguk cepat. Aku sebenarnya tidak begitu yakin akan kemampuannya. Namun kalaupun harus memanggil tukang pijat malam ini sepertinya tidak mungkin. "Ya sudah. Pelan-pelan aja ya." Amira pun mengangguk. Amira dengan ragu-ragu menyentuh kaki
Kini kami sudah sampai di rumah kedua orang tuaku. Mereka sangat bahagia sekali melihat kedatangan kami berdua. Ibu tak henti-hentinya mencubit gemas pipi Amira yang gembul. Sedangkan aku sudah seperti anak tiri yang tak dianggap. Ibu memperlakukan Amira dengan sangat baik. Ia bahkan mengajaknya mengobrol bersama di dapur. Bahkan ibuku juga sudah menyiapkan makanan yang sangat beragam di meja makan dengan porsi dua kali lipat daripada biasanya. "Bu, kok makanannya banyak banget? Emang bakal habis?" Tanyaku pada ibu yang saat itu masih asyik mengobrol dengan menantu barunya. "Kan sekarang ada Amira. Ibu nggak mau ya menantu ibu kekurangan makan disini? Ibu sama bapak ini masih sanggup kasih makan kok." "Tapi kan nggak sebanyak itu juga Bu. Kalau nanti dia tambah gend...?" Ibu menggeplak pahaku dengan centong nasi. "Hus! Kalau bicara bisa nggak sih disaring dulu. Tuh di dapur ada saringan gede. Muat tuh di mulut kamu." Ibuku mendelik menatapku."Sakit lah Bu.""Segitu doang sakit!
POV AuthorSesampainya Fadhil di rumah, Amira sudah menyambutnya di depan pintu. Amira cium punggung tangan Fadhil dengan takzim."Baru pulang kak. Sini aku bawain ke dapur." Amira mengambil kresek plastik yang kubawa. "Ya Allah dari belakang aja bentuknya seperti ini. Bukan seksi lagi tapi ini oversize." Fadhil menatap punggung Amira hingga tak terlihat lagi. Tak berapa lama kemudian, Amira datang kembali membawa secangkir teh dan aneka gorengan berupa pastel, risoles, bahkan bakwan pun ada. Amira meletakkannya di meja ruang tamu. "Ayo mas. Dimakan dulu." Amira tersenyum manis kepada suaminya namun sang suami hanya membalas seadanya. "Dikasih makanan lagi. Lama-lama aku bisa gendut kayak dia." Fadhil menggumam kemudian menggeleng lemah hampir tidak terlihat. "Kamu emang suka masak ya Mir?" Tanya Fadhil di sela-sela ia minum teh dan menikmati aneka gorengan itu yang terasa sangat nikmat di lidahnya. "Iya Kak. Aku emang hobi masak. Emang sih nggak jago kayak ibu, tapi nggak terla
Fadhil pun tak lama berada di Jambi. Ia sudah harus terbang ke Bandung untuk mengajar di pondok pesantren kembali. Ibu Fadhil menyayangkan kepergian anak dan menantunya. Padahal ia masih ingin berlama-lama mengenal sang menantu. Namun karena tugas dan amanah yang sudah diemban oleh anaknya, mau tak mau dia harus merelakan keduanya untuk pindah dari rumah itu. "Kenapa sih cepet banget kalian perginya? Nggak bisa apa ditunda sehari atau dua hari lagi gitu?" Bibir wanita parubaya itu mengerucut. "Ya nggak bisa dong Bu. Fadhil kan harus ngajar anak-anak santri juga. Waktu liburan mereka juga sudah hampir selesai. Jadi Fadhil harus kembali ke pondok lagi. Ya kalau liburan semester lagi, Fadhil pulang kampung kok." Kata Fadhil mengusap punggung ibunya. "Tapi kan waktu ibu mengenal lebih dalam istri kamu belum lama juga Dhil. Masa iya langsung diajak merantau? Kesel deh ibu sama kamu!" Ibunya bersedekap. "Lalu, Amira harus aku tinggal disini begitu Bu?" "Ya nggak gitu juga kali Dhil. Ka