"Apa yang Nyonya inginkan?"Ele menatap ibu kandungnya dengan ekspresi datar. "Sekarang ibu tahu kalau aku masih bertahan hidup. Lalu, Nyonya mau apa?"Dewi Bimantara terdiam. "Tidakkah... Kamu ingin memanggilku Mama?"Ele mengernyit. "Saya tidak berniat. Itu terasa aneh di lidah saya...""Apakah itu artinya kamu menolakku sebagai ibumu?" Mata Dewi berkaca, namun Ele tak tampak terusik."Saya memaafkan Anda." Ujar Ele akhirnya, suaranya melembut. "Tapi saya tidak bisa memanggil Anda sebagai Mama, saya cukup tahu saja jika Anda adalah ibu kandung saya. Saya juga adalah sebuah kesalahan. Jika saya masuk ke dalam kehidupan Nyonya sekarang, bisa saja saya menghancurkan rumah tangga Nyonya yang sempurna. Kehadiran saya tak beda dengan 21 tahun yang lalu, saya tetaplah suatu ancaman bagi rumah tangga Nyonya. Maka demi kebaikan bersama, maka anggaplah..." Ele terhenyak sebentar, sorot matanya meredup. "Anggaplah kita tidak saling kenal. Saya tidak ingin kehidupan Nyonya nantinya akan tersoro
Ashley berbaring di pangkuan Effendy, mendengus kesal melihat tunangannya masih menatap tabnya tanpa terusik sedikitpun. Perut palsunya sudah membuncit, untunglah dia menggunakan perut kulit dengan buatan mahal, sehingga ketika seseorang menyentuh itu akan terasa perut sungguhan."Kamu tidak menyentuh perutku? Hmm?" Ashley menjalari wajah Effendy dengan jarinya, mengagumi profil tampan pria itu yang selalu tampak tanpa cela dari sudut manapun.Effendy bergeming sedikit, dia mengulurkan tangannya, mengusap perut Ashley. Dia sudah sering melakukannya akhir akhir ini."Dia tidak menendang," gumam Effendy, suaranya pelan , dia juga tidak mengatakan kalimat itu dengan serius. "Biasanya bukannya di usia kehamilan seperti ini bayinya akan menendang? Aku biasa melihatnya di iklan saat masih anak-anak.""Biasanya nendang kok, cuma kebetulan saja pas di sentuh kamu tidak," jawab Ashley, mengatur ekspresi sesantai mungkin. "Malam ini tidur bersamaku, mau?"Effendy menyingkirkan tangan Ashley yan
Dewi Bimantara bulan main kecewanya. Wanita itu bahkan masuk ke mansion kediaman Bimantara dengan linglung sehingga para maid langsung menyapa untuk memastikan sang nyonya baik-baik saja. Dewi hanya menggeleng-gelengkan kepala, lalu bertanya dengan suara lemah."Dimana Tuan?""Tuan sedang berada di ruang kerjanya, Nyonya."Dewi mengangguk pelan. Cakra memang sudah lebih banyak kerja di rumah karna tubuhnya yang rentan sakit akhir akhir ini.Dewi menghempaskan tubuh di atas sofa di ruang tamu maha luas itu, tak dapat memalingkan diri dari kebohongan anaknya.Ashley mencurangi Chislon, sehingga lelaki itu melepas isterinya. Eleanor. Mengingat Ele, putrinya yang lain, Dewi teringat akan kehamilan wanita itu. Tidak pernah dia tanyakan siapa ayah dari anak putrinya, karna merasa khawatir Eleanor tidak akan suka di tanyai. Namun melihat pada timeline dan usia kandungan Ele yang sudah membesar, apakah itu anaknya Chislon? Memikirkannya, membuat Dewi semakin pusing.Saat itu, pintu depan man
Eleanor tak ingin melahirkan di rumah sakit Syailendra, dia tidak ingin bertemu dengan Andika, yang akan menghubungkannya dengan Chislon. Dia benar-benar ingin menjauh sepenuhnya dari Chislon dan orang-orangnya. Dia sudah membicarakan dengan sang bunda kalau dia ingin melahirkan di Rumah Sakit Melati saja. Rumah sakit minor di kota mereka. Dan sang bunda mengiyakan.Sejak malam, Ele terus menahan sakit karna kontraksi. Pagi itu kontraksi yang di rasakannya semakin sering, sang bunda memaksanya untuk makan agar dia memiliki cukup energi.Setelah Ele merasa bahwa dia tidak tahan lagi, maka diapun di larikan ke rumah sakit Melati. Sang bunda menghubungi Tristan dan Miranti, mengingat sepasang suami istri itu berpesan untuk menghubungi mereka jika Ele hendak melahirkan.Ele di antar menggunakan mobil wanita itu sendiri, Pak Wiranto, kakak dari sang bunda yang mengemudi.Ketika sampai di sana, Tristan dan Miranti telah menunggu dengan raut cemas.Ele di masukkan ke bangsal bersalin kelas s
Effendy melakukan penerbangan mendadak dari Singapura setelah mendengar kabar bahwa Ashley akan melahirkan malam itu. Dia berjalan dengan tubuh tegap, namun wajahnya tak dapat menyembunyikan sebentuk perasaan aneh. Dia akan menjadi seorang ayah.Ketika dia dan dua bodyguard kepercayaannya tiba di depan ruangan bersalin VVIP rumah sakit Syailendra itu, tidak ada yang menunggu di depan ruangan.Pintu ruangan terbuka, lalu wajah Dewi muncul, wanita itu tersenyum ketika melihat Effendy, meski senyum itu tak sampai ke mata."Persalinannya lancar, masuklah."Effendy berjalan masuk, ada sekelumit rasa bersalah dihatinya karna tak menemani Ashley ketika berjuang melahirkan bayinya. Perjalanan bisnisnya di Singapura memang sangat krusial dan dia mengira Ashley bisa menunggu beberapa Minggu lagi.Saat dia masuk, dilihatnya Ashley berbaring setengah bersandar di headboard ranjang, ada sebuah box bayi disana. Yang ada di dalam ruangan itu hanya Dewi, Ashley, dan seorang suster yang langsung berp
"Bayinya kenapa?" Ashley yang bicara lebih dulu, rasa kantuk yang tadi masih bersarang di matanya lenyap seketika. Wajah Yanti tampak pucat dan gugup. Mereka mendengar Astakara menangis keras. Dengan gusar, Ashley menyenggol tubuh Yanti dan bergegas ke kamar bayi. Wajahnya lebih kepada marah daripada cemas. Kalau terjadi apa-apa dengan Astakara, dia tak tahu senjata apa yang dapat digunakannya lagi untuk mengikat Effendy.Ira menggendong sang bayi yang menangis rewel."Kenapa ?" Tanya Ashley, sedang Dewi langsung mengambil alih menggendong bayi itu. Tubuh Astakara penuh dengan ruam kemerahan."Kenapa ini?" Tanya Dewi."Kami juga tidak tau, Nyonya. Dia sering sekali pup sejak kemarin, cuma yang ini baru muncul ruam merahnya..." Jelas Ira, tampak gugup melihat Ashley yang sudah hendak menerkam orang."Kita bawa ke rumah sakit!" Seru Dewi pula.***Mendengar bahwa putranya di bawa ke rumah sakit, Effendy langsung meninggalkan kantor dan menyusul ke sana.Saat dia tiba di ruangan, tampak
Darmawati sedang memeriksa beberapa data anak di ruangannya, ketika Mila melongok dan berkata, "Bun, Ibu Dewi datang."Darmawati tahu bahwa bisa saja ia menyuruh agar Mila langsung memberitahukan kabar itu pada Ele, mengingat kunjungan Dewi pastilah untuk menjenguk putrinya. Namun mengingat keadaan Ele yang akhir-akhir ini lebih sering diam dan mengurung diri.Darma melepas kacamatanya, "Ajak saja di keruangan ini." Tuturnya pelan.Mila mengangguk, tak lama, Dewi Bimantara muncul. Wanita itu tersenyum pelan, "Sesuai janji saja, kiriman sumbangan akan datang dalam dua hari," ujarnya. Wanita itu berjanji akan menyuplai kebutuhan panti secara sukarela setiap sebulan sekali."Kami sangat berterimakasih untuk itu," ujar Darmawati dengan tulus, "Kebaikan orang-orang seperti Nyonya, kelak akan di balas oleh Tuhan.""Terimakasih." Dewi mengangguk, "Bisakah saya bertemu dengan Emily?""Dia berada di kamarnya,namun..." Wajah Darmawati sedikit tidak baik, "Situasinya tidak baik."Dewi kebingunga
Ele keluar dari Hadasa dengan langkah linglung dan tatapan kosong. Para pekerja dari berbagai divisi sempat melaporkan beberapa hal padanya tentang naskah yang dikirimkan ke email mereka.Ele memberikan beberapa masukan dan akhirnya keluar dari sana. Semenjak naskahnya Sorrow in The Rain di filmkan dan sukses, banyak naskah naskah sastra adiluhung maupun naskah fiksi penggemar yang masuk. Ele merasa sedikit pusing, karnanya dia bermaksud kembali ke apartemennya lebih awal. Ele sudah memutuskan untuk kembali ke apartemennya sendiri alih-alih terus merepotkan sang bunda di panti.Dia melirik ponselnya yang berbunyi, itu adalah telepon dari ibunya, Dewi Bimantara. Nama wanita itu tertampang jelas di layar ponsel Eleanor.Eleanor sudah duduk dibelakang kemudi, memasang seatbelt lalu menerima panggilan itu."Hallo?""Bagaimana Nak? Kamu sehat?""Sehat." Jawab Ele dengan pandangan menembus kaca mobilnya, menerobos ke jalanan di depan."Bagaimana? Apakah kamu bersedia mempertimbangkan saran