Astakara mulai membaik. Effendy membawanya pulang bersama dengan Ashley dan Yanti yang juga turut menjaga di rumah sakit.Bayi itu sudah lebih ceria, meski bobot tubuhnya terlihat berkurang.Eleanor berdiri di teras, menyambut kedatangan mereka di antara para maid yang membungkuk.Effendy tidak meliriknya sama sekali, laki-laki itu berjalan lurus dengan sang putra dalam gendongannya.Para maid juga bahkan banyak yang memandang Ele dengan sinis, terkecuali Maritha yang tetap tersenyum ramah pada sang Nona setiap kali mereka berpapasan.Ele ingin sekali melihat Astakara, dia ingin memastikan bahwa bayinya sudah baik-baik saja. Namun, semua orang rasanya seperti hendak menelannya hidup-hidup.Saat dia pergi ke dapur untuk mengambil minum, Yanti turun ke lantai bawah, dia mengeluarkan beberapa stok ASI yang Ele tahu bukan berasal darinya, ke dalam kulkas. Sang nanny mengambil salah satu kantong ASI dan mulai menyalakan kompor untuk memanaskannya. Dia bersikap seolah-olah Eleanor tidak ada
Eleanor kembali ke apartemennya, merasakan sebuah kekosongan di hatinya sendiri. Lama, dia termenung di dalam ruang tamunya yang hening.Wanita itu yakin, bahwa Astakara adalah Kaisar, putranya yang hilang. Namun dia juga tahu bahwa melawan kekuatan Ashley yang di sokong dengan kekuasaan keluarganya bukan hal yang mudah. Ele telah mencoba selama ini, namun semua usahanya selalu gagal, menemui jalan buntu dan pada akhirnya tidak menghasilkan apapun.Usahanya untuk mengetes DNA pun di persulit oleh rumah sakit, entah mengapa. Ele pernah mengambil air liur Kaisar secara diam -diam saat dia diijinkan membawa bayi itu berjalan-jalan berdua, namun entah mengapa pihak rumah sakit menolak melakukan tes dengan berbagai alasan yang tidak Ele mengerti. Disitulah Ele sadar bahwa koneksi dan kekuatan Bimantara bukanlah hal yang bisa di anggap remeh.Dan untuk menghadapi itu, dia harus mempunyai kekuatan yang sama kuatnya. Abimanyu, jelas tidak. Ibunya, wanita itu telah jelas-jelas menolaknya. Dan
Eleanor akhirnya menepati janjinya menemani Gemmi berbelanja. Dia yang datang menjemput adiknya itu menggunakan mobil pribadi miliknya. Mereka menuju sebuah pusat perbelanjaan dengan perjalanan yang diisi dengan ocehan Gemintang.Ele dapat menilai kalau Gemintang tidak buruk juga, dia hanya besar dengan dimanjakan oleh orangtua dan kakak kakaknya. Tak terasa, mereka tiba juga, berjalan bersama ke dalam pusat perbelanjaan. Gemmi membeli beberapa alat kecantikan, dan juga pakaian pakaian baru yang serba mahal. "Kak, baju ini cocok kayaknya dengan warna kulit kakak," oceh Gemmi ketika dia melihat sebuah gaun berwarna ungu soft. Ele yang sejak tadi telah menjelma sebagai kakak yang sabar itu hanya tersenyum sebentar. "Memangnya kenapa?""Kakak tidak akan menolak kalau aku membelikannya untuk kakak kan?" Pinta Gemmi dengan mata puppy eyes yang membuat Ele tersenyum lebih lebar."Silakan, aku tidak akan menolak."Mata Gemmi menjadi berbinar. Dia pun meraih baju itu dan membawanya bersama
Sekembalinya dari pertemuan dengan Andika, Eleanor berkendara kembali ke apartemennya. Wanita itu memiliki banyak pikiran dalam benaknya, di antara semua keraguannya, dia terus menguatkan diri bahwa dia sudah mengambil pilihan yang benar. Selagi dia berpikir begitu rupa, Ele menyadari sesuatu ketika melirik spion depan mobilnya. Ada dua sepeda motor yang menguntitnya dari jarak dekat.Gadis itu baru tersadar bahwa sejak dia tak lagi menjalin kontrak dengan keluarga Abimanyu, maka segala proteksi yang diberikan laki-laki itu juga telah di hentikan. Pantaslah jika sampai ada dua pengendara motor yang tampaknya berniat jahat itu bisa berada di jarak sedekat ini dengannya.Salah satu dari pengendara itu berhasil menyalipnya, memaksanya berhenti. Ele mengerem mendadak, bersyukur kepalanya tidak terantuk dan luka. Dua orang tinggi besar bertampang preman itu mengetuk jendela kemudi dengan kasar."Buka! Cepat buka!"Ele berpikir untuk tidak membukanya, namun di kejab lain dia melihat salah
"Ini kesalahan..." Eleanor bersuara di antara nafasnya yang tersendat, sementara Effendy telah melepaskan tautan keduanya, hanya matanya yang menatap Ele dalam diam. Tangannya masih merangkul lembut pinggang wanita itu.Hening. Yang terdengar hanya suara detak jam dinding dalam apartemen dan suara nafas mereka yang pelan.Effendy menatapi paras yang sangat dekat dengannya itu, lalu sekali lagi hendak meraih bibirnya, namun itu terhenti karna Ele menahan dadanya."Jangan..." Pinta Ele memohon. Dia sendiri sedang berjuang melawan diri dari rasa rindu dan keinginannya. "Ini tidak benar, Chislon."Effendy akhirnya mencium kening Eleanor lembut, lalu memeluk wanita itu seolah ia adalah benda yang terbuat dari porselen. Mereka diam lagi. Effendy menumpukkan dagunya di atas kepala Ele, menghirup aroma rambut wanita itu yang mengingatkannya pada aroma lemon."Kamu berhasil," gumam Effendy sembari mencium rambut panjang Ele yang tadi telah tergerai karna ke agresifannya tadi."Aku tidak bisa
Effendy menatap Ashley, melihat wanita itu menekuk wajahnya. Kedua orangtuanya telah meninggalkan kediaman Abimanyu. Kini hanya tersisa mereka berdua."Apakah kamu puas?" Effendy menatap Ashley dengan rasa lelah. "Puas apa? Papa hanya untuk ingin kamu memperlakukan aku dengan baik, Mi Amor. Aku adalah ibu dari putramu.""Sejak awal aku sudah mengatakannya, apakah aku harus mengulanginya lagi?" Effendy menekan. "Aku tidak mencintaimu Ashley. Semua yang terjadi di Bali itu adalah kesalahan. Aku menutup mata kalau kamulah yang merencanakan sesuatu dengan minuman itu. Aku terus menyalahkan diri sendiri karna merasa akulah yang sepantasnya bersalah karna tak mampu menolak minuman yang kamu berikan Lily. Aku mempertanggungjawabkan hal yang disebabkan oleh jebakanmu." Tegas Effendy. Dia tahu. Sejak awal dia tahu bahwa ada yang salah dengan minuman yang diberikan Ashley padanya. Dia merasakan hasrat tak biasa yang menggebu dengan segera. Effendy masih mempertahankan akal sehatn
"Apa ini?" Effendy mengernyit. Andika hanya menjawab datar, "Bukalah."Chislon Abimanyu meraih amplop itu, baru saja dia hendak membukanya, ponselnya kembali berdering.Chislon mengeluarkan ponselnya dan melihat si pemanggil. Itu adalah Dewi Bimantara.Merasa tidak biasanya ibunda Ashley menelponnya, Chislon akhirnya mengangkat."Hallo, Ma." Panggilnya luwes. Sejak dulu Chislon memang terbiasa memanggil Dewi seperti itu karna wanita itu sendiri yang memaksanya memanggilnya demikian."Kamu ada waktu sekarang?"Chislon diam-diam menghela napas, "Ada apa Ma?""Mama ingin bicara denganmu. Tidak, ini tidak dengan ayahnya Ashley. Mama hanya ingin bicara empat mata dengan kamu.""Dimana?""Restoran Nafelion,""Aku ke sana."Effendy menutup ponsel, dia melanjutkan gerakannya tadi yang hendak membuka amplop yang di sodorkan oleh Andika, namun dokter muda yang merupakan sahabatnya itu melarang pelan, "Kamu sepertinya ada janji dengan Nyonya Bimantar
Effendy tahu bahwa pergi ke kediaman Bimantara untuk membawa Astakara kembali hanya akan membuat suasana semakin panas.Laki-laki itu akhirnya kembali ke kediamannya. Malam itu setelah membersihkan diri, Effendy mendapati sebuah pesan dari salah satu orang kepercayaannya. Itu adalah sebuah laporan kalau Andika datang mengunjungi apartemen Eleanor, tetapi ia sudah kembali ."Dia benar benar menyukai Ele?" Gumam Effendy dengan hati mendadak tidak suka. Mengingat Andika, dia teringat tentang amplop yang di berikan kawannya itu. Dia membuka, mendapati sebuah flashdisk, juga beberapa berkas bukti pemalsuan surat rumah sakit.Hati laki-laki itu mulai merasa tidak enak. Dia yang awalnya mencibir melihat Andika masih menggunakan flashdisk di zaman inovasi ini, mulai merasa penasaran.Dia mengeluarkan laptop dan memeriksa apa yang ada di sana.Di sana hanya satu file yang tampaknya sebuah rekaman. Ketika dia memutarnya, ia tahu bahwa itu adalah rekaman suara Ashley. "Aku akan berpura-pura ha